Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nasib Bagong di Kali Adem

Kejaksaan Agung terus mengusut korupsi pengadaan kapal penyeberangan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Melibatkan pejabat yang juga tersangkut perkara korupsi bus Transjakarta.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerbang kusam berkarat menjulang tinggi menutupi bangunan tua berlantai dua kantor PT Sanur Marindo Shipyard di Jalan Kalimantan, Mintaragen, Tegal, Jawa Tengah. Tak terlihat kesibukan luar biasa di perusahaan pembuat kapal katamaran milik Dinas Perhubungan pemerintah DKI Jakarta itu tatkala Tempo mendatanginya beberapa waktu lalu.

Di dalam galangan seluas sekitar dua kali lapangan sepak bola, sebuah kapal perintis bercat putih teronggok di sebuah kolam, ditemani dua kapal yang belum dicat: satu tugboat (penarik tongkang) dan satu kapal kecil untuk memancing. Raungan mesin dan bunyi besi beradu terdengar sesekali di ujung timur kolam. Di sana terlihat beberapa pekerja.

Ketika Tempo mencoba mendekat ke para pekerja, seorang petugas—bernama Joko—melarang. Dengan nada halus ia meminta Tempo pergi karena hari itu, menurut Joko, petinggi perusahaan tak ada. Direktur Utama PT Sanur, Amru Bentara Siregar, sedang berada di Jakarta. Begitu pula Direktur Galangan Aida Mirzani Siregar, yang merupakan adik kandung Amru. Adapun Manajer Pemasaran PT Sanur, Catur Tri, jarang datang ke galangan. "Pak Catur juga lebih sering di Jakarta," kata Joko.

Nama PT Sanur kini kerap muncul di media. Bukan lantaran kehebatannya membuat kapal, melainkan karena tersangkut proyek pengadaan kapal katamaran yang tengah disidik Kejaksaan Agung. Proyek kapal itu diduga sarat penggelembungan harga dan kongkalikong.

Kejaksaan sudah menetapkan tiga pejabat Dinas Perhubungan dalam kasus ini. Mereka adalah Sekretaris Dinas Perhubungan DKI Jakarta Dradjat Adhyaksa, Kepala Sarana Prasarana Dinas Perhubungan Kamaru Zaman, dan Kepala Unit Angkatan Air Dinas Perhubungan Tri Hendro. Selain itu, Kejaksaan menciduk pemilik sekaligus Direktur Utama PT Sanur, Amru Bentara Siregar. "Mereka diduga melakukan korupsi secara bersama-sama," ujar Kepala Subdirektorat Penyidikan Kejaksaan Agung Sarjono Turin.

PT Sanur adalah galangan kapal terbesar di Tegal. Didirikan pada 1997, perusahaan keluarga itu pernah mengalami masa keemasan pada 2002-2007. Ketika itu jumlah karyawannya sampai 150 orang dan mampu mengerjakan enam-tujuh kapal sekaligus. Sebagian besar proyek PT Sanur memang berasal dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

Untuk membuat satu kapal jenis perintis dan katamaran, Sanur membutuhkan waktu tujuh bulan hingga satu tahun, tergantung tingkat kerumitan desain dan besarnya kapal. Satu kapal ditangani oleh 25 pekerja. Memasuki 2008, Sanur mulai sepi order. Kondisi itu semakin parah sejak tiga tahun lalu, yang membuat perusahaan tersebut merumahkan sebagian besar pekerjanya. "Sekarang tinggal 50 orang. Kalau masuk kerja hanya nongkrong," kata Joko.

Cerita Joko ini dibenarkan oleh Ijah, warga kampung sekitar galangan PT Sanur. Menurut perempuan paruh baya itu, pada saat Sanur jaya, banyak warga kampungnya yang bekerja di perusahaan itu. Kini satu per satu memilih keluar karena tak digaji. "Sebelah rumah ini sekarang jadi sales rokok," ujarnya menunjuk tetangganya.

Soal kasus yang membelit perusahaan dan bosnya, Joko enggan banyak bicara. Pria yang sudah 12 tahun bekerja di PT Sanur ini mengaku hanya mendengar sekilas soal kasus itu. "Tapi kasusnya seperti apa, saya kurang paham," kata Joko.

* * * *

Pengusutan korupsi pengadaan katamaran berawal dari peristiwa meledaknya kapal Paus milik Dinas Perhubungan DKI Jakarta pada Agustus tahun lalu. Penyelidikan meledaknya kapal pengangkut penumpang dari Dermaga Kali Adem, Penjaringan, Jakarta Utara, ke Kepulauan Seribu itu pun merembet hingga kemudian ditemukan ketidakberesan pengadaan kapal-kapal di instansi tersebut.

Saat itu Kejaksaan Agung sedang menyidik kasus yang juga membelit Dinas Perhubungan: korupsi bus Transjakarta dengan tersangka kepala dinasnya, Udar Pristono, serta bawahannya, Dradjat Adhyaksa. Dradjat bersama dua rekannya dan pemilik perusahaan pembuat kapal pun ditetapkan sebagai tersangka pada Oktober tahun lalu. "Dalam pengembangan kasus Transjakarta, kami menemukan kapal itu bermasalah," kata Sarjono Turin.

Temuan Kejaksaan Agung menunjukkan adanya penggelembungan anggaran. Selain itu, kondisi kapal tak sesuai dengan spesifikasi. Contohnya dari sisi kecepatan. Kapal berbahan dasar aluminium itu hanya mampu mencapai kecepatan kurang dari 10 knot (18 kilometer per jam). Padahal, berdasarkan spesifikasi dari Dinas Perhubungan, kapal itu semestinya bisa mencapai kecepatan maksimum 25 knot (36 kilometer per jam).

Kapal bermesin ganda masing-masing berkekuatan 1.100 tenaga kuda itu juga tak bisa berlayar lama seperti klaim Dinas Perhubungan yang mencapai 2 hari nonstop. Jika berlayar lama, kapal akan bergetar kencang. Ini jelas tak ideal—sekaligus berbahaya—untuk berlayar ke pulau-pulau terdepan di Kepulauan Seribu, seperti Pulau Sabira dan Kelapa. Lambung kapal juga diduga tak kuat menahan beban 200 penumpang. Jika dipaksakan, kapal itu kemungkinan besar tenggelam. "Kami telah menguji kapal tersebut," ujar Sarjono.

Soal penggelembungan harga, Sarjono mengatakan, Kejaksaan belum bisa memastikan karena masih menunggu hasil perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Namun dia memperkirakan pemerintah DKI Jakarta mengalami kerugian yang besar dari proyek dengan anggaran Rp 25 miliar itu. "Kami memperkirakan total loss," ujarnya. Sumber Tempo lain di Kejaksaan menyebutkan bahwa penyidik juga tengah menelusuri keterlibatan pejabat lain, yang posisinya lebih tinggi daripada mereka yang sudah menjadi tersangka, dalam kasus korupsi ini.

Baik Dradjat, Kamaru, maupun Tri Hendro tak mau berkomentar banyak tentang kasus ini. Ketiganya selalu menghindari wartawan setelah diperiksa di Kejaksaan Agung. Namun Kamaru sempat membantah anggapan bahwa kapal itu bermasalah. Menurut dia, proses tender sudah sesuai dengan prosedur yang ada. Demikian juga kondisi kapal. "Kapalnya masih bagus, kok, dan laik jalan," katanya.

* * * *

Proyek pengadaan kapal katamaran berawal dari tingginya minat masyarakat mengunjungi Kepulauan Seribu. Salah seorang pengusaha perkapalan mengatakan, banyaknya pengunjung kepulauan di utara Jakarta itu terjadi sejak 2010. Saat itu, menurut dia, dalam sehari saja jumlah penumpang yang terangkut bisa mencapai 300-an orang. "Jumlah kapal yang melayani angkutan memang hanya sedikit, dua di antaranya milik Dinas Perhubungan yang dioperasikan perusahaan swasta," ujarnya.

Pada akhir 2010, sejumlah perusahaan sebenarnya menawarkan diri menjalin kerja sama dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Skemanya, saat itu, Dinas yang menyediakan kapal, pihak swasta yang menjadi operator harian. Seorang pengusaha kepada Tempo menyatakan pihaknya juga sempat mengajukan skema tersebut kepada Kamaru dan Dradjat.

Dia meminta Dinas mengadakan lima kapal katamaran yang akan digunakan sebagai pengangkut penumpang dari Dermaga Kali Adem, Penjaringan, Jakarta Utara, menuju Pulau Pramuka dan Tidung. Dari pulau itu, nantinya penumpang yang hendak menuju pulau-pulau lain akan diangkut dengan kapal kecil yang saat ini sudah dimiliki Dinas Perhubungan.

Skema itu ditolak oleh Kamaru dan Dradjat tanpa alasan yang jelas. Namun, belakangan, Dinas Perhubungan mengadakan tender pengadaan kapal berjenis katamaran. Dinas rupanya juga ingin mengoperasikan sendiri kapal itu. Pengusaha ini mengaku sempat mendapat penawaran dari seorang broker yang menjadi utusan Kamaru dan Dradjat untuk menggarap kapal itu pada pertengahan 2012. "Saya tolak karena Kamaru cs minta fee sepuluh persen," ujarnya.

Selain karena komisi, pengusaha itu mengaku tak menyanggupi karena tenggat yang diberikan terlalu pendek. Menurut dia, Dinas Perhubungan menargetkan kapal selesai pada akhir 2012 atau sekitar enam bulan pengerjaan. "Itu tak cukup," katanya. Menurut dia, spesifikasi bahan kapal dari aluminium membuat proses pembangunan kapal memakan waktu yang lebih lama dibanding jika memakai bahan baku baja atau fiber. "Aluminium itu membentuknya lebih sulit. Paling cepat satu tahun. Bahkan bisa sampai satu setengah tahun," ujarnya.

Proses tender katamaran ternyata berjalan tak mulus. Selain PT Sanur, tak ada satu pun perusahaan yang menyanggupi ikut tender itu. Seorang pegawai Dinas Perhubungan mengatakan Kamaru akhirnya membuat dokumen penawaran palsu dari dua perusahaan lain supaya seolah-olah tender dilakukan mengikuti prosedur yang benar.

Nah, menurut pegawai itu, dua perusahaan tersebut lalu "didiskualifikasi" pada saat-saat terakhir karena dianggap tak memenuhi persyaratan administratif. Akhirnya PT Sanur pun menang dengan penawaran Rp 23,6 miliar. "Kalau tendernya benar, seharusnya digugurkan di tahap seleksi administratif dan tendernya diulang karena hanya satu perusahaan yang lolos," ujarnya.

Pemenangan PT Sanur, menurut sumber itu, diduga karena adanya kedekatan Kamaru dengan Amru Bentara. Apalagi PT Sanur saat itu sedang membutuhkan suntikan dana segar karena hampir bangkrut.

Dalam perjalanannya, proses pengadaan katamaran ternyata molor. Kapal yang seharusnya selesai pada Desember 2012 baru diserahkan pada akhir 2013. Nahasnya, sejak diserahkan, kapal tersebut ternyata tak layak dioperasikan. "Sejak diserahkan sampai sekarang paling cuma jalan sepuluh kali," kata seorang pejabat Dinas Perhubungan lainnya.

Kapal katamaran itu rupanya kerap rusak. Dinas juga kesulitan memperbaiki karena suku cadang tak tersedia di pasar dan harus memesan dari pabrik. Bukan hanya itu, kapal yang ditargetkan mampu mencapai kecepatan maksimal 25 knot atau 48 kilometer per jam ternyata hanya mampu berjalan 7-10 knot atau 13-18 kilometer per jam.

Kini kapal itu teronggok di Dermaga Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara. Bodinya yang putih mulus tanpa karat sekilas memang tak menyiratkan kapal itu bermasalah. Interiornya masih terlihat baru. Bangku berbalut beludru biru-hitam berjejer rapi di ruang penumpang lantai satu dan dua. Untuk setiap tiga baris kursi, sebuah televisi berukuran sekitar 24 inci menempel di tiang tengah kapal. "Kami menyebutnya Bagong karena badannya besar," ujar seorang anak buah kapal kepada Tempo. Status Bagong sebagai alat bukti membuatnya tak bisa ke mana-mana.

Febriyan, Istman M.,Syailendra P. (Jakarta), Dinda Leo (Tegal)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus