SEPINTAS bangunan yang diteduhi beberapa cabang pohon di Jalan Adityawarman 45, Jakarta Selatan, itu mirip rumah biasa. Yang menandai gedung itu sebagai sebuah kantor hanya sebuah papan nama yang tidak terlalu besar, bertuliskan "Komisi Ombudsman Nasional" komplet dengan lambangnya.
Papan nama ala kadarnya itu mencerminkan nasib lembaga yang dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid tersebut. Seperti Komisi Hukum Nasional (KHN), selama ini Komisi Ombudsman tampak merana. Dana yang di- berikan pemerintah buat lembaga ini tak begitu besar. Tahun lalu, Komisi Ombudsman mendapat kucuran duit Rp 2 miliar. Dana ini terbilang kecil karena untuk menyewa rumah, eh kantor, saja dibutuhkan duit Rp 120 juta tiap tahunnya. Belum lagi dana yang diperlukan buat listrik, telepon, dan juga biaya operasional sehari-hari serta gaji para anggota dan karyawannya.
Itu sebabnya, untuk tahun anggaran 2004, Komisi Ombudsman mengajukan anggaran Rp 13 miliar kepada pemerintah. Disetujui? Seperti dana untuk KHN, belum ada kepastian. "Anggaran itu masih dibicarakan di Departemen Keuangan," ujar Antonius Sujata, Ketua Komisi Ombudsman Nasional.
Sebenarnya fungsi lembaga tersebut cukup penting. Komisi Ombudsman bertugas melakukan pengawasan ter-hadap proses pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara untuk mendorong terwujudnya pemerintahan yang baik.
Selama ini, sambutan masyarakat terhadap Komisi Ombudsman juga cukup besar. Setiap hari, staf Ombudsman menerima banyak laporan masyarakat tentang pelayanan umum penyelenggara negara. Laporan itu disampaikan secara lisan, melalui telepon, atau secara tertulis jika masalahnya terlalu berat. Tahun lalu, lembaga ini menerima 500 keluhan masyarakat. Jumlah itu meningkat dari tahun se-belumnya (hanya 373 laporan). Hingga 2003, tercatat 1.121 keluhan masyarakat yang masuk ke Komisi Ombudsman. Sebagian besar laporan yang masuk adalah keluhan tentang pelayanan lembaga penegak hukum. Sebanyak 32 persen di antaranya keluhan terhadap pelayanan umum di pengadilan, 16 persen keluhan tentang lembaga kepolisian, 9 persen terhadap kejaksaan, dan sisanya tentang kekecewaan terhadap sejumlah lembaga lain.
Selain menerima keluhan, staf Ombudsman memberikan saran dan rekomendasi. Sebagian laporan itu diteruskan kepada instansi pemerintah terkait. Dari 216 rekomendasi yang dikeluarkan selama 2003, sebanyak 113 atau 52 persen di antaranya mendapat tanggapan dari instansi terkait. Hanya, tanggapan tersebut bukan berupa penyelesaian masalah secara tuntas. "Harus diakui, selama ini, kami kurang bergigi," tutur Sujata.
Untuk memperkuat posisi Komisi Ombudsman, idealnya lembaga ini dibentuk lewat undang-undang. Malah, di Thailand, komisi semacam ini ditetapkan keberadaannya lewat konstitusi. Sejauh ini, Dewan Perwakilan Rakyat juga telah menyiapkan rancangan undang-undang tentang Komisi Ombudsman. Hanya, usul inisiatif parlemen ini belum pernah dibahas dengan pemerintah. Bahkan, menurut Sujata, pemerintah pun belum menunjuk wakilnya untuk pembahasan RUU tersebut.
Melihat gelagat seperti itu, Teten Masduki, salah seorang anggota Komisi Ombudsman, hanya bisa mengelus dada. "Seperti yang terjadi dengan KHN, kami kurang mendapat perhatian dari pemerintah," katanya.
Endri Kurniawati, Juli Hantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini