Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Novel Si Bekas

Bekas penjahat pasar baru, menulis novel di mingguan singgalang, mengisahkan pengalamannya di penjara. (krim)

14 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENULIS novel berjudul Pasrah itu memang Aladin Banuali, yang pada akhir tahun 1960-an dikenal sebagai "hantu" di daerah pertokoan Pasar Baru, Jakarta Pusat. Novel yang dimuat sejak pertengahan Maret lalu di Singgalang, mingguan yang terbit di Kota Padang, itu rupanya memang mengisahkan pengalaman pribadi penulisnya. Seperti diakui Aladin, novel yang ditulisnya selama dalam penjara itu diilhami kesetiaan dan kepasrahan istrinya. Bahwa, "Betapa jahatnya pun si suami di luar rumah tapi sang istri selalu menyambut kedatangannya di rumah dengan senyum dan hati terbuka. Saya mengalami itu dan menuliskannya," ucap laki-laki 45 tahun kelahiran Koto Laweh, Solok, itu. Dengan bumbu di sana sini dan diperankan tokoh Nurman, Aladin mengungkapkan petualangannya di dunia hitam dalam novel itu. Dimulai ketika ia minggat dari bangku SMEP, "karena tak betah dengan peraturan sekolah dan ingin hidup sendiri." Mula-mula, mengembara di Pakanbaru, Riau, lalu ke Medan. Tanpa menyebutkan sebab yang jelas, ia mengaku tahun 1959 "pernah mendekam enam bulan di LP Pancur Batu, Medan". Dalam keadaan belum menentu, 1962 ia menikahi Nurmadiah di Medan. Tapi empat tahun kemudian, setelah mempunyai dua anak, ia menikahi Nurmiah, gadis kampung kelahirannya. Istrinya yang kedua inilah yang menyertai dia merantau ke Jakarta, 1968. Di Ibu Kota, setelah kandas dalam beberapa usaha, ia mulai mengenal liku-liku Jakarta. Maka, sepeda-sepeda motor, dan isi mobil-mobil yang diparkir di Pasar Baru pun tak aman. "Bersama Panggabean, saya waktu itu dijuluki 'hantu' Pasar Baru," tutur Aladin. Panggabean, katanya, sudah lebih dulu sadar dan kini memilih hidup sebagai pendeta. Sang "hantu" akhirnya roboh kena dua peluru polisi yang menembus paha dan betisnya. Ia pun menghuni LP Glodok, enam bulan. "Untung, saya tidak cacat," kata ayah delapan anak (tiga dari Nurmadiah dan lima dari Nurmiah) dan kakek seorang cucu itu sambil menunjukkan bekas luka itu. Keluar dari LP Glodok, Aladin tiba-tiba muncul di rumah kediaman gubernur DKI, ketika itu Ali Sadikin. Di hadapan Ali Sadikin, ia mengungkapkan siapa dirinya sambil meminta pekerjaan. "Kalau memang mau tobat, kamu saya beri pekerjaan. Tapi kalau diulang lagi, saya sendiri yang akan menembak kamu," begitu jawab Ali Sadikin seperti ditirukan Aladin. Dan pekerjaan yang diberikan kepadanya adalah sebagai anggota keamanan khusus Proyek Senen dan sekitarnya. Selama empat tahun hingga awal 1974, ia turut mengamankan daerah pertokoan itu. Tapi katanya, kalau yang kecurian itu pedagang atau orang kaya, "biasanya saya biarkan saja - toh mereka tak akan jatuh melarat." Ia mengakhiri tugasnya di Proyek Senen setelah pasar ini terbakar dalam peristiw Malari, 15 Tanuari 1974. Dari Senen ia dimutasikan untuk menjaga Bina Ria, Ancol. Hanya dua tahun di tempat hiburan itu. Suatu hari ia memusatkan tekadnya: daripada makan uang dari tempat yang banyak maksiatnya, lebih baik makan hasil rampokan. Sasaran utamanya adalah toko-toko emas. Bersama sahabatnya, Buyung Platina (sekarang di Nusakambangan), "pertama kali yang jadi sasaran adalah toko emas di Pasar Jatinegara, 4 kg emas," ujar anak petani bawang putih itu. Ia mengaku bebas berkeliaran meskipun petugas mencarinya di mana-mana. Ia ditangkap setelah dengan sukarela menyerahkan diri kepada seorang polisi. "Di Pengadilan Jakarta Pusat, saya divonis 5 tahun penjara," tuturnya. Tapi, begitu palu dipukulkan, "dalam hati saya berdoa: andai kata hukuman ini tidak adil, saya mohon agar Tuhan membebaskan saya dari tahanan dan keluar dari pengadilan ini dengan selamat." Mungkin doanya terkabul. Yang pasti, Aladin mengaku, ia langsung meninggalkan ruang pengadilan dengan bebas, tanpa seorang pun menghalangi, sampai ia berkumpul dengan anak istrinya di rumah. Hanya, keesokannya koran-koran menulis tentang "hilangnya pesakitan secara seketika setelah divonis." Perampokan demi perampokan kembali dilakukannya, tetap bersama Buyung Platina. Dengan modal beberapa kilo emas, akhirnya ia pulang ke Koto Laweh, tanpa sembunyi-sembunyi. Pihak kepolisian Padang dan Jakarta sia-sia menangkapnya. Tapi ketika pada akhirnya ia dipanggil kakeknya yang menyuruhnya menyerah, Aladin langsung ke Jakarta. Tanggal 7 Mei 1977, ia menyerahkan diri langsung ke Kapolri waktu itu, Widodo Budidarmo. Langsung pula ia dititipkan di LP Cipinang. Setahun di Cipinang, ia rindu pada anak dan istrinya di Medan. "Dengan sedikit mengangkat tangan, saya meninggalkan penjara itu dengan tenang," kata Aladin, mengungkapkan kisahnya. Sebelum berangkat ia, katanya, sempat pamit pada Jaksa Agung Ali Said dan Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja. Tapi di kampung ia hanya dua bulan. Ia mendatangi kantor polisi Solok dan minta diantar ke Jakarta. "Pengadilan kemudlan menjatuhkan hukuman 3 tahun penjara, ditambah 5 tahun sebelum kabur," kata laki-laki bertato itu, mengisahkan kenangannya. Kembali jadi penghuni LP Cipinang, ia sempat berkenalan dengan Kusni Kasdut dan tokoh-tokoh dunia gelap lainnya. Dua tahun di sini ia minta dipindahkan ke LP Muara Padang. Dua tahun kemudian dipindahkan pula ke Bukittinggi. Di sinilah, suatu kali Ali Said, yang kini menteri kehakiman, mengunjungi Aladin. "Tutuplah mata terhadap pintu LP ini, sadarlah dan ingatlah pada Tuhan," nasihat Ali Said yang rupanya dipatuhi Aladin. Akhir Desember 1983 ia dinyatakan bebas. Januari lalu ia menghadap Gubernur Azwar Anas. Sambil minta kredit untuk berusaha, Aladin menunjukkan dua naskah novelnya Pasrah dan Cinta dalam Darurat. Kredit belum ditanggapi. Tapi setelah membalik-balik novel itu, Azwar menyarankan agar diserahkan kepada Pengarang A.A. Navis. Setelah direvisi di sana-sini, dimuatlah novel itu. Sehari-hari kini Aladin adalah petani di kampung kelahirannya. Hidup dengan Nurmiah dan anak-anaknya (Nurmadiah dan anak-anaknya hidup di Jakarta), ia kini rajin bersembahyang. Ia tengah mempersiapkan kebun jeruk dan rambutan. "Karena kebun cengkih saya dulu banyak yang mati mungkin karena dibeli dengan uang tidak halal," katanya. Benarkah ia dulu bisa menghilang? Ia membantah. Tapi diakuinya ia pernah mengaji. pada kiai-kiai di Aceh, Banten, dan Cirebon. "Apabila Tuhan menghendaki, apa pun bisa terjadi - jangankan menghilang, bisa lebih dari itu," katanya tersenyum. Karena itu pula ia tak pernah merasa dirinya terasing dari orang-orang sekitarnya. "Orang boleh berkata saya bekas penjahat, tapi mungkin Tuhan berpendapat lain," tambah laki-laki yang kini selalu berpeci itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus