Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berita Tempo Plus

Opal, ternyata pilih bulu?

Pimpinan pabrik kertas PT Karya Tulada diseret ke pn Tangerang. mereka terbukti mencuri listrik, akibatnya PLN rugi Rp 1,5 milyar. sepuluh perusahaan termasuk PT Sandratex tak diadili.

11 April 1992 | 00.00 WIB

Opal, ternyata pilih bulu?
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ANCAMAN pihak kejaksaan akan menyeret pencuri listrik, khususnya pengusaha pabrik, dengan Undang-Undang Anti Korupsi, menjadi kenyataan. Sejak pertengahan bulan ini, kejaksaan menyeret lima terdakwa, di antaranya, pimpinan pabrik kertas PT Karya Tulada ke Pengadilan Negeri Tanggerang dengan tuduhan korupsi, penggelapan, dan pencurian. Mereka itu adalah Anton Rustandi (Direktur Utama PT Karya Tulada), Iwan Tanjaya (Manajer PT Karya Tulada), A.Y. Mustamu (pensiunan pegawai PLN), Awi (sopir, yang merangkap tukang mengundurkan meteran listrik), dan Aho (perantara yang mengenalkan Mustamu dengan pimpinan Karya Tulada). Menurut Jaksa Togar Hutabarat dan Darmono, pencurian itu dilakukan lima terdakwa sejak empat tahun lalu. Akibatnya, negara (PLN) menderita kerugian Rp 1,5 milyar. Karya Tulada, selama empat tahun, seharusnya membayar Rp 2,5 milyar. Tapi dengan cara mencuri itu, PT Tulada hanya membayar rekening listrik Rp 1 milyar. Para terdakwa itu, kecuali Anton Rustadi, menurut jaksa, tertangkap basah oleh petugas gabungan dari Tim OPAL (Operasi pencurian aliran listrik), dan Opsin (Operasi intelijen kejaksaan), saat beraksi mengundurkan meteran litrik di gardu listrik milik pabrik PT Karya Tulada, Tangerang, pada 26 Oktober 1991. Operasi itu dilakukan setelah Presiden Soeharto menginstruksikan agar para pencuri listrik ditindak tanpa pandang bulu berdasar Undang-Undang Anti Korupsi. Malam itu, persis malam Minggu, menurut tuduhan jaksa dan keterangan saksi, sebuah mobil kijang dengan kecepatan tinggi memasuki halaman belakang pabrik kertas Karya Tulada. Dua orang, yakni Mustamu (pensiunan pegawai PLN) dan Awi, tampak turun dan langsung memasuki gardu listrik. Pada saat itu, tak seperti biasanya, lampu sorot pabrik di sekitar gardu padam. Dari dalam mobil ada dua orang lagi -- yang belakangan diketahui bernama Iwan Tanjaya dan Aho -- mengawasi lingkungan sekitar. Gerakgerik mereka diam-diam diawasi oleh dua petugas PLN, Abi Santoso dan Winarno, serta Kamarudin dari Kejaksaan Agung. Dalam pengintaian itu, Kamarudin bahkan sampai memanjat pohon di samping tembok pabrik. "Kami bertiga sudah mengintai selama 11 malam, sejak pukul 22.00 sampai pukul 02.00 dini hari," ujar Abi Santoso. Barulah pada malam ke12 mereka memergoki mangsa. "Semua yang ada dalam pabrik harap menyerah, pabrik sudah dikepung, dan kami tahu apa yang sedang kalian kerjakan!" teriak Abi. Mendengar teriakan itu, Iwan Tanjaya menghampiri mereka. "Ada apa pak?" tanya Iwan. "Ah pura-pura tidak tahu, suruh saja yang dalam gardu itu keluar," balas Kamarudin dan Abi. Setelah dijelaskan bahwa mereka adalah tim pemburu pencuri listrik, baru Iwan sadar sudah terjebak. "Mereka minta berdamai, tapi tak kami ladeni," tutur Abi di hadapan Hakim Ketua Abdul Razak. Saat dilakukan pemeriksaan di dalam gardu, tim menemukan tas plastik berisi tang potong, segel plastik, segel timah, kawat timah, dan tusuk gigi. Di hadapan hakim, Mustamu mengakui, dengan alat-alat itulah ia mencuri setrum. Pencurian setrum di Karya Tulada itu, kata Mustamu, sudah dilakukannya atas pesanan Direktur Utama Karya Tulada, Anton Rustadi, sejak Juni 1986. Setiap pertengahan bulan, sebelum petugas PLN datang mengecek meteran, ia memundurkan angka "kwh", dengan cara memutus kawat segel. Setelah tutup kwh meter dibuka, angka kwh dimundurkan dengan menggunakan tusuk gigi. "Kami memundurkan sampai pada angka yang diminta Pak Anton," tutur Mustamu. Setelah selesai, tutup kwh meter disegel dengan segel timah palsu. Untuk merapikan pekerjaan, segel palsu tersebut ditaburi debu, dengan maksud agar terlihat seperti segel lama, yang tak pernah tersentuh. "Tujuannya untuk mengelabui petugas PLN, agar tak curiga," ujar Mustamu. Pekerjaan serupa, katanya, juga dilakukannya terhadap sekitar 17 perusahaan di Tangerang, di antaranya, PT Sandratex dan PT Komet. Kepada tim kejaksaan, Mustamu mengaku membeli segel palsu itu dari Apin. Dari nama terakhir inilah kabarnya sindikat pencurian listrik itu terbongkar -- sayang, saksi kunci ini sekarang menurut jaksa tidak dapat dibawa ke sidang karena menderita gangguan ingatan. Berdasar pengakuan Apin, ia telah melayani sepuluh pabrik. Sementara itu, menurut sebuah sumber TEMPO di PLN, pada pertengahan 1991, PLN menyerahkan sepuluh nama perusahaan yang tertangkap OPAL ke Kejaksaan Agung. Antara lain Sandratex, Sapto Selaras, Tifico, Dong Joe, Es Lar Utama, Muara Agung, Pioneer Chemical, Indonesia Raya, Kedawung, dan Kyoeun Indonesia. Hanya saja sampai kini, ke sepuluh perusahaan lain itu belum dihadapkan ke sidang. Bahkan, menurut sumber TEMPO, beberapa perkara perusahaan itu, termasuk perkara pencurian terbesar oleh PT Sandratex, tidak akan pernah diadili alias sudah dideponir kejaksaan. Pihak Sandratex kabarnya hanya diwajibkan melunasi kerugian negara sebesar Rp 2,1 milyar -- uang itu sudah dibayar pabrik tekstil tersebut. Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Soesandhi, membantah kabar deponir tersebut. Yang benar, kata Soesandhi, hingga kini pemeriksaan yang dilakukan kejaksaan terhadap pabrikpabrik itu belum selesai. "Modus operandi mereka lebih canggih dari perusahaan yang kini disidangkan," ujar Soesandi, di selasela acara buka puasa bersama di Kejaksaan Agung Kamis pekan lalu. Namun, Soesandi mengakui bahwa kejaksaan agak kesulitan menjerat pabrik-pabrik itu dengan pasal korupsi. Apalagi ada perusahaan, seperti Sandratex, sudah membayar lunas denda (sebesar Rp 2,1 milyar) yang dijatuhkan PLN. Artinya, kerugian negara sudah terbayar. "Undang-undang korupsi mengandung empat unsur. Jika satu saja unsur tak terpenuhi, ia tak bisa dipidanakan," kata Soesandi. Kalau begitu, tidakkah OPAL menjadi pandang bulu? Aries Margono, Siti Nurbaiti, dan Andy Reza Rohadian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus