Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia dijuluki "bapak para hakim". M. Yahya Harahap, 82 tahun, memang bukan hakim sembarangan. Bekas hakim agung ini dikenal sebagai pemikir dan penulis buku tentang hukum. Buku Yahya tak hanya menjadi pegangan mahasiswa hukum, tapi juga menjadi rujukan para hakim di Indonesia. Salah satu bukunya yang terkenal adalah yang membahas perihal ahli waris, yakni sebuah buku yang memiliki judul panjang, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Dalam kasus bebasnya Sudjiono Timan ini, Komisi Yudisial juga memerlukan penjelasan Yahya. Kamis pekan lalu, Komisi Yudisial sudah memanggil Yahya, meminta penjelasannya tentang seputar putusan hakim agung yang mengabulkan PK Sudjiono Timan. Jumat pekan lalu, wartawan Tempo Maria Rita mewawancarai Yahya.
Apa pendapat Anda mengenai dikabulkannya PK Sudjiono Timan?
Telah terjadi kecerobohan di Mahkamah Agung dalam menangani kasus PK itu. Seharusnya MA merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 6 Tahun 1988, yang tidak membuka pintu pengajuan PK oleh siapa pun kecuali terpidana. Ahli waris berhak mengajukan permohonan PK hanya jika terpidana menjalani hukuman. Sedangkan Sudjiono sama sekali tidak mematuhi hukum. Ini kecerobohan….
Apa pengertian ahli waris yang Anda tulis dalam buku Anda dan konteks pengajuan PK untuk kasus pidana?
Pengertian ahli waris di sini jangan diartikan dalam konteks perdata atau kewarisan. Di buku yang saya tulis pada 1985 dan sudah dipakai oleh semua orang, ahli waris murni dalam arti biologis. Ini syarat formal tentang siapa yang berhak, siapa yang dapat mengajukan permohonan PK. Siapa yang memiliki kapasitas mengajukan permohonan PK, yaitu terpidana atau ahli waris. Saya mempergunakan rasio bahwa ahli waris lebih mampu memikirkan nasib terpidana. Kalau terpidana, ia bisa putus asa, bisa segala macam.
Apakah ada dasar hukum ahli waris dapat mengajukan permohonan PK, sementara terpidana buron?
Di buku saya katakan, syaratnya terpidana mematuhi penegakan hukum. Kalau orang yang dipidana tidak mematuhi hukum, ahli waris tidak terbuka hak orisinalnya untuk mengajukan permohonan PK. Kalau dia melarikan diri, dia tidak tunduk pada penegakan hukum. Ahli waris tidak bisa mengajukan permohonan PK.
Pendapat Anda di buku itu dipakai istri Sudjiono Timan untuk mengajukan permohonan PK. Namun dimaknai berbeda?
Silakan pergunakan buku saya, karena buku itu saya tulis untuk umum. Bagi mereka boleh mengatakan ini doktrin, tapi ambillah secara benar. Kalau mau mengambil itu, tolong diambil secara utuh. Kalau dia lari, menjalani hukuman? Tidak. Malah mengolok-olok, melecehkan. Hak untuk mengajukan upaya hukum apa pun hanya diberikan kepada yang menaati hukum. Makanya sudah tepat adanya SEMA Nomor 6 Tahun 1988.
Tapi bukankah SEMA Nomor 6 Tahun 1988 sudah dicabut? Diganti Sema Nomor 1 Tahun 2012, yang menyatakan ahli waris bisa mengajukan permohonan PK?
Saya tidak tahu itu dicabut. Memang sudah semakin brengsek. Kemarin juga sudah saya jelaskan hal ini ke Komisi Yudisial. Saya dipanggil untuk memberikan keterangan mengenai ahli waris dalam buku saya itu. Saya jelaskan memang di sini MA lalai. Sema Nomor 6 Tahun 1988 menyebutkan terpidana in absentia tidak bisa mengajukan upaya hukum apa pun, banding, kasasi, PK. Cuma Komisi Yudisial bilang Sema itu sudah dicabut, diubah.
Bagaimana pendapat Anda dengan pencabutan Sema itu?
Di Komisi Yudisial saya katakan, pencabutan Sema Tahun 1988 ini benar-benar mencurigakan.
Apakah Sema ini pernah dijadikan rujukan?
Saat saya mewakili pemerintah dalam kasus Century melawan Rifat (Rifat Ali Rizvi, mantan pemilik Bank Century yang buron) dan pengacaranya dari Australia, salah satu yang menjadi perdebatan dan saya pertahankan mati-matian kebenarannya adalah Sema Nomor 6 Tahun 1988 itu. Rifat tak berhak mengajukan permohonan PK karena dia buron. Itu bukan pelanggaran hak asasi karena pengacaranya yang dari Australia bilang itu pelanggaran hak asasi terhadap Rifat. Hak asasi masyarakat Indonesia dilanggar. Bagi saya, itu prinsipil.
Apa konteks pada masa itu sehingga Sema ini dibuat? Bukankah waktu itu Anda hakim agung?
Saya hakim agung dari 1982 sampai 2000. Pada waktu itu semua koruptor lari. Lalu para pengacara mereka mengajukan upaya hukum. Pengadilan-pengadilan negeri membuka kemungkinan dan memberi hak kepada penasihat hukum untuk bertindak mengajukan upaya hukum, apakah itu banding, kasasi, PK, tapi terdakwanya in absentia, kabur. Ini kan pelecehan badan peradilan.
Jadi, menurut Anda, apa terjadi dengan adanya Sema 2012 ini?
Akan berkembang pelecehan, penghinaan badan peradilan seperti dulu sebelum ada Sema 1988.
Lalu apa yang harus dilakukan sekarang?
Sema Nomor 1 Tahun 2012 dihapus, dibawa ke rapat pleno. Ini sangat urgen. Karena dulu Sema 1988 ini dibuat dengan tujuannya sangat besar, supaya tidak terjadi pelecahan dan penghinaan. Bukan hanya kepada badan peradilan, melainkan juga bangsa Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo