Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lolongan dan isak tangis perempuan terdengar kencang dari sebuah kamar di lantai 9 Gedung Ebony, salah satu gedung di kompleks Apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan. Senin pekan lalu itu, sekitar pukul 22.00, Ami—demikian perempuan yang sehari-hari bekerja di perusahaan swasta—tengah meriung dengan adik lelakinya, Inal. Kamar mereka terletak sekitar 15 meter dari Unit E 09 AT—demikian "nomor" tempat asal suara tersebut. Mendengar lolongan yang makin keras, keduanya keluar dari kamar.
Di lorong apartemen, mereka bertemu dengan dua pria—juga penghuni apartemen. Ternyata mereka pun mendengar teriakan perempuan dari kamar itu. "Dia berteriak-teriak minta ampun... jangan, jangan...," kata Ami kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Hampir sekitar satu jam mereka mendengar pekikan perempuan itu sebelum semuanya senyap. "Seperti pertengkaran suami-istri," Ami menambahkan.
Penasaran terhadap teriakan yang tiba-tiba menghilang itu, keempat orang tersebut kemudian mendatangi kamar yang belakangan diketahui dihuni perempuan bernama Holly Angela, 36 tahun. Mereka mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada jawaban. Waswas terhadap apa yang terjadi di dalam kamar, lewat intercom, mereka memanggil petugas keamanan gedung. Dalam hitungan menit, dua petugas muncul, tapi keduanya rupanya juga tak berani membuka paksa pintu apartemen berwarna putih itu.
Dalam keadaan kebingungan lantaran sang empunya kamar tak juga membuka pintu itulah muncul dua pria mengaku kerabat Holly, yakni Sulaiman dan Umar Hasan. Kepada petugas keamanan, mereka menyatakan Holly ada di dalam kamar itu, sedang disiksa. Kabar penyiksaan itu mereka dapat dari Kushandani, ibu angkat Holly, yang ditelepon Holly. Atas perintah Kushandani itu juga keduanya meluncur ke apartemen yang terletak sepelemparan batu dari Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata tersebut. Bersama-sama, mereka kemudian menjebol pintu kamar Holly. "Ditendang pakai kaki," ujar Ami.
Di dalam kamar berukuran 5 x 6 meter itu, mereka mendapati Holly tertelungkup. Tubuh perempuan berkulit putih dan berhidung mancung itu bersimbah darah. Tangan dan kakinya terikat tali, sementara lehernya terlilit erat kabel charger telepon seluler.
Di dalam kamar itu, Holly tak sendiri. Seorang pria bertubuh gempal dan berkulit sawo matang berdiri di dekatnya. Ia rupanya kaget melihat sejumlah orang masuk ke kamar itu. "Tangkap dia!" salah seorang pendobrak pintu berteriak. Sang pria—yang diduga penganiaya Holly—panik. Dengan cepat ia berlari, membuka pintu balkon, dan, hup, melompat. Dalam hitungan detik, tubuhnya meluncur dari ketinggian sekitar 30 meter dan menghantam tanah. "Dia seperti lupa kalau sedang di lantai 9," kata Ami.
Malam itu, dengan taksi, Sulaiman dan Umar membawa Holly ke Rumah Sakit Tria Dipa di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan. Tapi, belum lagi sampai tempat tujuan, perempuan itu tewas. Hal yang sama terjadi pada pria yang meloncat dari kamarnya. Menurut polisi, yang malam itu meluncur ke tempat kejadian, pria X—demikian istilah polisi—tewas karena kepalanya remuk.
Tewasnya Holly menjadi pembicaraan setelah media memuat fotonya bersanding dengan seorang pria yang ternyata "bukan pria biasa". Dia Gatot Subianto, pejabat eselon I Badan Pemeriksa Keuangan yang juga auditor utama. Di lembaga audit negara, Gatot membidangi pemeriksaan keuangan lembaga penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi, serta Tentara Nasional Indonesia. Dia juga auditor proyek simulator kemudi di Korps Lalu Lintas, yang ternyata sarat penyelewengan. Saat pembunuhan, Gatot tengah mendapat tugas ke Australia, mengaudit Kedutaan Besar Republik Indonesia.
Foto Gatot bersanding dengan Holly diperoleh polisi di apartemen Holly. Kepada Tempo, sejumlah penghuni apartemen menyatakan tak pernah melihat Gatot. "Tapi saya pernah lihat pria yang tewas itu. Dia pernah berduaan makan dengan Holly," ujar seorang pedagang kepada Tempo. Polisi memang sudah menyebarkan foto Mr X.
Tinggal di Gedung Ebony sejak sekitar dua tahun lalu, Holly tak banyak dikenal orang. "Dia jarang bersosialisasi," ucap seorang perempuan yang tinggal selantai dengan Holly. Seorang pemilik restoran di apartemen itu mengaku Holly kerap makan di tempatnya. "Walau tertutup, dia ramah," ujarnya. Sehari sebelum pembunuhan, kata dia, Holly memesan dua porsi makanan dan dua bungkus rokok ke restorannya. "Padahal, setahu saya, suaminya sedang di luar negeri," tuturnya.
Dari penelusuran Tempo, Holly membeli apartemen di Unit E 09 pada Mei 2011. Apartemen seharga sekitar Rp 350 juta itu juga atas nama dirinya, Holly Angela Hayu Winanti. "Dia mengaku tinggal sendiri. Tidak ada catatan suami atau siapa anaknya," kata Rita, manajer pengelola sehari-hari Apartemen Kalibata.
Tak satu pun penghuni lantai 9 yang ditemui Tempo mengetahui pekerjaan Holly sehari-hari. Tapi, dari sejumlah sumber, Tempo mendapat informasi Holly bekerja di sebuah tempat hiburan di kawasan Jakarta Kota. "Di tempat itu juga dia berkenalan dengan Gatot," ujar sumber ini.
Keluarga Holly di Semarang menutup rapat-rapat rumah mereka dari kejaran wartawan. Ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, Ketua RT 04 RW 07 Desa Karang Tengah, Tuntang, Semarang, Sugiharto, menyebutkan orang tua Holly memang tertutup perihal anak semata wayang mereka yang bekerja di Jakarta itu. "Namanya Niken Hayu Winanti, Holly itu nama bekennya di Jakarta," ucap Sugiharto. Menurut dia, di Desa Karang Tengah ini tinggal ibu kandung Niken dan ayah tirinya. Bersama mereka, tinggal pula dua anak Holly, masing-masing berusia 21 tahun dan 13 tahun. Keduanya, kata Sugiharto, dari hasil perkawinan Niken dengan suami pertama.
Sejumlah sumber Tempo di Jakarta menyebutkan Holly adalah istri siri Gatot. Pernikahan ini, menurut sumber Tempo, tanpa setahu istri Gatot, yang membuat sang istri mengadu ke atasan Gatot di BPK. Di Semarang, pekan lalu, adik Holly, Prabu, membenarkan bahwa kakaknya adalah istri Gatot. Namun dia enggan menjelaskan sejak kapan Gatot menikahi Holly. "Dia ibu rumah tangga biasa," ujar Prabu.
Anggota BPK, Ali Masykur Musa, tak membantah atau mengiyakan perihal informasi pernikahan Gatot dan Holly. Wakil Ketua BPK yang juga anggota Majelis Kode Etik, Hasan Bisri Hasan, menyatakan pihaknya akan menanyakan perihal Holly kepada Gatot begitu yang bersangkutan pulang dari Australia.
Sampai kini polisi belum bisa mengungkap apa yang melatarbelakangi pembunuhan Holly. Polisi juga menyatakan belum menemukan hubungan pembunuhan ini dengan Gatot. Menurut Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Rikwanto, pembunuh Holly tak meninggalkan jejak secuil pun. "Tak ada dompet atau kartu tanda pengenal yang ditemukan di tempat kejadian," katanya. Pekan lalu Tempo mendatangi kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jenazah Mr X masih tersimpan di sana. Belum ada yang datang dan mengaku kenal atau sebagai kerabatnya.
Polisi juga sudah memeriksa Sulaiman, Umar Hasan, dan beberapa orang lainnya yang mendobrak pintu kamar Holly. "Semua tak mengenal tersangka pelaku," ujar Rikwanto. Satu-satunya "petunjuk" adalah yang melekat di kaki kanan Mr X: sebuah tato berwarna hijau. Dari mengobrak-abrik kamar Holly, polisi juga tak menemukan identitas Mr X. Dari kamar itu, selain menemukan foto Holly dan Gatot, polisi menemukan sarung tangan berlumur darah dan sepotong pipa sepanjang sekitar 50 sentimeter. Polisi juga "mengambil jejak" sepatu Mr X di lantai apartemen. "Kami menduga ini pembunuhan berencana," kata Rikwanto.
Sejumlah isu sempat berembus kencang perihal motif pembunuhan ini, termasuk mengaitkan dengan tugas Gatot yang memegang audit kasus-kasus besar. Tapi polisi menyebutkan belum ada bukti soal ini. Kendati demikian, Rikwanto menyatakan akan memeriksa Gatot begitu ia pulang ke Tanah Air. Adapun sejumlah penghuni Apartemen Kalibata percaya pembunuhan itu tak lebih dari dampak praktek "cinta terlarang" yang sering terjadi di sana. "Banyak perselingkuhan di sini, dan pembunuhan Holly itu salah satu akibatnya," ujar Ronald, salah satu penghuni Apartemen Kalibata.
Febriyan, Linda Trianita (Jakarta), Sohirin (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo