Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pangula-ula si kambing hitam

Bongsu marbun tewas dibunuh sejumlah penduduk sihikkit, tarutung. korban dicurigai sebagai pangula-ula (ilmu hitam) yang jadi penyebab kematian beberapa penduduk. kepala desa & ketua adat terlibat.

16 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MATAHARI terik. Sekitar 300 perempuan dan anak-anak serta beberapa lelaki mengepung kantor Polsek Onan Ganjang. Mereka berteriak, minta tujuh pemuda yang ditahan segera dilepas. "Kalau tidak, akan kami bakar kantor polisi ini". Minggu awal Mei lalu, mereka jalan kaki dari Desa Sihikkit ke Polsek itu, sejauh tujuh kilometer. Atas desakan massa itu, Kapolsek Letda R. Siahaan membawa tahanan keluar. Mereka: Darman Sihombing, Mariel Marbun Rusden Lumban Gaol, Tambaudin Sihombing, Kenalan Marbun, Hotman Aritonang, dan Binsar Marbun. "Mereka sehat-sehat saja," katanya. "Untuk sementara, mereka menginap di sini untuk ditanyai." Mereka tak sabar. Karena SSB di Polsek rusak, Siahaan mengirim kurir ke Polres Tarutung - 80 km dari Onan Ganjang. Ia minta bantuan. Malamnya, lima belas polisi dari Tarutung datang. Dan penduduk Sihikkit yang sudah beringas itu bisa ditenteramkan . Para tahanan, malam itu juga, dibawa ke Tarutung. Mereka dituduh membunuh Bongsu Marbun, 45 tahun. Lelaki ini lama dicurigai sebagai pangula-ula alias pemilik ilmu hitam. Dan korbannya, menurut mereka, banyak. Bongsu baru tujuh bulan mudik ke Sihikkit. Sebelumnya ia merantau enam tahun di Tanjungkarang, berdagang kelapa dan pisang. Lalu hijrah ke Bengkulu, setahun. November tahun lalu ia pulang, karena orangtuanya sakit-sakitan. Tapi kehadiran kembali Bongsu yang tamatan STM Dolok Sanggul itu tak disenangi penduduk. "Mereka takut kena guna-guna. Ibu pernah mengusirnya ketika dia masuk warung ini," tutur gadis penunggu warung di simpang jalan ke desa. Dan setiap kali ada orang sakit atau meninggal, Bongsu jadi kambing hitam. Sabar Marbun, pengetua adat Desa Sihikkit, juga percaya bahwa Bongsu Marbun adalah pangula-ula. "Dengan mengacungkan telunjuk saja dia dapat membunuh. Orang yang ditepuk bahunya bisa lumpuh," katanya. Gara-gara pengetua adat menuduh seperti itu, penduduk sekampung jadi percaya. Suatu hari, ketika seorang perempuan meninggal saat melahirkan, penduduk yakin itu gara-gara Bongsu. Apalagi urinya tak keluar bertepatan dengan datangnya Tiorma boru Hombing, istri Bongsu. Sejak itu penduduk sepakat untuk membunuh Bongsu . Sebelumnya, Marulak Marbun, Sekretaris Desa Sihikkit, melaporkan secara tertulis kepada Polsek Onan Ganjang: pada 1971 Bongsu diusir dari Sihikkit karena suka mengguna-gunal orang. Laporan itu tentu sulit dibuktikan. Tapi Bongsu, bekas mandor yang berkumis dan senang berpakaian rapi itu, memang sering sesumbar punya "ilmu". Lelaki bertubuh jangkung dan berkulit bersih itu juga mengaku "jelmaan" Yesus. Mungkin lagi teler, sebab ia suka minum. Dan ia memang pintar bicara. Beberapa jam sebelum tewas, ia minum tuak di sebuah pakter di pinggir desa. Dalam perjalanan pulang, mengigau: dialah yang mengguna-gunai orang. "Terserah kalau kalian mau membunuh saya," begitu katanya. Bongsu ditemukan polisi, Sabtu 2 Mei lalu, pukul 17.00, di jembatan Aek Simangumbak. Dia jadi mayat, tak jauh dari desanya. Muka dan kepalanya remuk. Giginya rontok. Lehernya menggelembung biru. Biji mata kanan melotot, yang kiri terbenam. Tujuh pemuda yang dicurigai tadi mengaku. Mereka, bersama kepala desa dan pengetua adat, ditahan. Bongsu main guna-guna? "Sulit dibuktikan. Tapi pembunuhnya mengaku, bukti-buktinya juga cukup," kata Letkol Tarzan Tampubolon, Kapolres Tapanuli Utara. Keluarga korban membantah Bongsu suka guna-guna. "Tak mungkin anakku jadi pangula-ula," ujar Petrus Marbun, 90 tahun, ayah Almarhum. "Ayah rajin ke gereja dan rajin membaca Injil," tutur Asbeth, 13 tahun, salah seorang anak Bongsu, sambil menyeka air matanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus