Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Paten Setelah Hak Cipta

Keempat Fraksi DPR sepakat untuk memberlakukan UU paten yang terdiri atas 16 bab dan 134 pasal, pada 1 Agustus 1990. Melindungi hak atas penemuan baru, khususnya teknologi di bidang industri.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH revolusi di bidang perlindungan hak-hak intelektual telah lahir. Jumat pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat, setelah melalui pembahasan alot, sejak RUU diserahkan pemerintah 30 Januari lalu, akhirnya menyetujui Rancangan Undang-Undang Paten disahkan jadi undang-undang. Saking alotnya produk hukum penting itu, Menteri Ismail Saleh sampai perlu melakukan "lobi-lobi pojok" untuk mengegolkan RUU ini. Dan akhirnya keempat fraksi DPR juga sepakat untuk memberlakukan UU Paten, yang terdiri atas 16 bab dan 134 pasal itu, pada 1 Agustus 1990 nanti. Dengan UU Paten, semakin lengkaplah perangkat hukum yang melindungi intellectual property rights di Indonesia. Sebelumnya, sudah ada UU Hak Cipta 1987 yang melindungi masalah copyrights (hak cipta) atas film, rekaman video, kaset lagu, buku, dan pekerjaan seni lainnya. Sedangkan UU Paten yang termasuk dalam industrial property rights melindungi hak atas penemuan baru, khususnya teknologi di bidang industri. Kini perlindungan terhadap para penemu dalam dan luar negeri lebih pasti. Seorang penemu dapat mendaftarkan temuannya di kantor paten. Setelah diperiksa pemeriksa paten selambat-lambatnya enam bulan, kantor paten akan mengumumkan hak paten seseorang. Hak paten itu akan berlaku sampai 14 tahun -- dan dapat diperpanjang sampai dua tahun. Selama jangka waktu itu si penemu bisa menikmati hasil temuannya. Setelah 16 tahun, hak paten itu akan menjadi milik umum (public domain). Artinya, masyarakat tak perlu lagi membayar royalti untuk menjiplak paten itu. Ada lagi yang disebut paten sederhana. Maksudnya, penemuan-penemuan yang tak memerlukan biaya tinggi dan teknologi tinggi: alat penggiling kopi, mesin parut kelapa, dan lainnya. Berbeda dengan paten biasa, hak paten sederhana hanya berusia lima tahun. Seperti juga Undang-Undang Hak Cipta yang mengancam pembajak dengan hukuman berat, undang-undang baru ini juga mencantumkan ancaman serius bagi pembajak paten. Seorang pelanggar hak paten, menurut Undang-Undang Paten, bisa dipenjara 7 tahun dan denda Rp 100 juta sama dengan pembajak hak cipta. Ancaman juga berlaku untuk aparat kantor paten yang membocorkan suatu temuan. Aparat itu bisa dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 70 juta. Kendati bisa menjadi "surga" bagi perusahaan-perusahaan multinasional, toh Undang-Undang Paten tak melupakan kepentingan nasional. Tak semua penemuan, misalnya, bisa didaftarkan ke kantor paten. Penemuan tentang proses dan produksi makanan, jenis, atau varietas tanaman atau hewan tak bisa dipatenkan. Selain itu, metode pemeriksaan pada manusia atau hewan, dan penemuan tentang teori serta metode ilmu pengetahuan dan matematika, juga tak bisa dimintakan paten. Yang tak juga terkena paten adalah obat. Sebab, obat yang menyangkut hajat hidup orang banyak bisa dipastikan harganya akan "melambung" jika dipatenkan. Suatu barang yang dinilai sangat penting untuk perkembangan industri ternyata masih boleh diimpor dengan aturan yang akan dituangkan dalam peraturan pemerintah. Dan itu, "tidak dianggap sebagai pelanggaran, sekalipun terhadap barang atau proses untuk membuat barang tersebut telah diberikan patennya di Indonesia," ujar Ismail Saleh dalarl sambutannya di DPR, Jumat pekan lalu. Barang yang termasuk dalam jenis ini antara lain integrated circuit alias chip -- unit pengolah data pada komputer. Pengamat hak-hak intelektual, Todung Mulya Lubis, menilai masih ada hal penting yang lolos dari jangkauan UU Paten. Yaitu perihal kontrak lisensi. Selama ini pemilik lisensi di luar negeri, menurut Mulya, terlalu banyak diuntungkan dalam kontrak dengan partnernya di Indonesia. Prof. Dr. Ir. Achmad Baihaki M.Sc., guru besar Universitas Padjadjaran Bandung, melihat riset di bidang pertanian akan tetap tersendat-sendat karena pemtatasan UndangUndang Paten. Pasalnya, penemuan tentang jenis atau varietas baru tanaman atau hewan tak dapat dipatenkan. Ini tak akan merangsang swasta melakukan riset ke bidang-bidang potensial tadi. "Saya hanya setuju bila pasal itu berlaku untuk penemuan lembaga pemerintah, tapi tidak untuk swasta," ujar Baihaki. Sebaliknya, ilmuwan seperti Ir. Rahardi Ramelan, Deputi Ketua Bidang Peng-kajian Industri Badan Pengembangan dan Pengkajian Teknologi (BPPT), menyambut gembira lahirnya UU Paten. Hanya saja, Rahardi mengingatkan pentingnya tenaga-tenaga penguji paten patent examiner. "Patent examiner ini harus ahli betul. Dia harus tahu, apa betul barang yang diajukan itu belum pernah didaftar orang lain," katanya. Selama ini, katanya, Indonesia selalu membeli lisensi yang harganya cukup mahal. Padahal harga paten teknologi itu di luar negeri jauh lebih murah. Dengan Paten itu. Indonesia sudah bisa mengembangkan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan. Yang juga lega tentulah bekas Duta Besar AS di Jakarta, Paul Wolfowitz. Dalam berbagai kesempatan Wolfowitz sering mengingatkan Indonesia akan pentingnya perlindungan hak intelektual. Walhasil, UU Paten yang baru lahir ini seperti dikatakan Ismail Saleh, memang sebuah keputusan politik. Karena UU Paten ini merupakan, "cerminan kita untuk memiliki landasan yuridis, pigura hukum, pagar, dan arah bagi kegiatan kita di bidang teknologi dan industri," ujar Ismail Saleh. Karena keputusan politik, tentu saja kita harus maklum kalau untuk sementara yang akan menikmati undang-undang itu adalah perusahaan-perusahaan dari negara industri. Sementara ini saja, sampai akhir 1988, dalam catatan, ada 13.250 pemohon paten di sini -- 96 persen di antaranya berasal dari luar negeri. Mudah-mudahan generasi mendatang bisa menjadi tuan rumah di kantor patennya sendiri. Karni Ilyas, Toriq Hadad, Ahmadie Thaha, dan Tri Budianto S. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus