SEORANG bocah perempuan berambut pirang, blasteran Batak dan Amerika, Laura Koenig, 4 tahun, tiba-tiba menghilang dari rumah ibunya, Rospita boru Hutagalung, di kawasan Sei Putih Barat, Medan. Pada Sabtu pekan lalu, bocah tersebut dijemput ayahnya, seorang Amerika, William Ernest Koenig untuk menghadiri sebuah pesta perkawinan. Ternyata sampai Senin pekan ini keduanya tak kembali. Peristiwa itu itu hanyalah buntut dari kasus rebutan anak antara Koenig dan Rospita, yang pekan-pekan ini masih disidangkan Pengadilan Negeri Medan. Koenig yang segera akan pulang ke negerinya, selain mengugat cerai Rospita, juga menuntut agar Laura ikut bersamanya. Anehnya, Koenig, 51 ahun, ia tidak mempedulikan dua anaknya yang lain, Bryden, 3 tahun, dan Roby, 2 bulan, yang juga lahir dari rahim Rospita. Ia, misalnya, tetap minta Bryden ikut ibunya. Sementara itu, si bungsu Roby, yang ditudingnya sebagai anak perbuatan "serong" istrinya, malah tidak disinggung-singgungnya sama sekali. Pada mulanya Koenig mengajak Rospita, 25 tahun, ke Amerika. Maklum, visa konsultan Medan Urban Development Project (MUDP) ini berakhir 1 November mendatang. Tapi, Rospita menolak karena Koenig mengajukan syarat Bryden dan Roby harus ditinggalkan. Bryden dan Roby, sejak semula, memang tak disukai Koenig. Kedua anak tak berdosa itu, salahnya, lebih mirip ibunya yang bersuku Batak, ketimbang bapaknya yang bule. "Hanya Laura yang mirip bule," kata pengacara Koenig, Amar Rasjid, kepada TEMPO. Karena itu pula, dari semula hanya Laura yang didaftarkannya sebagai warga negara AS. Dan khusus Roby, jelas-jelas dituduhnya bukan dari bibitnya. Rospita tentu saja membantah keras tuduhan "serong" itu. Selain bersumpah Roby adalah buah cintanya dengan Koenig, ia juga menuding suaminyalah yang suka menyeleweng. "Di Amerika saja ia sudah dua kali kawin," katanya kepada TEMPO. Di Medan pun, katanya, Koenig gemar ber-other woman -- bahkan pada Januari 1988 "permainan" Koenig sempat jadi urusan berwajib. Berdasarkan itu melalui Pengacara K.H. Sitinjak, Rospita menggugat balik di persidangan. Walau bersedia menerima perceraian, ia menuntut biaya hidup Rp 180 juta untuk lima tahun. Dasarnya, Koenig biasa memberinya biaya hidup Rp 3 juta sebulan, sejak mereka menikah pada 1985 di Kantor Catatan Sipil, Medan. Koenig, menurut Amar Rasjid, sebenarnya bersedia menyantuni Rospita dan kedua anaknya. Karena itu Koenig merelakan harta bersama mereka berupa dua petak rumah di Medan dan sebuah di Pinangsori, Tapanuli Tengah -- desa kelahiran Rospita -- dikuasai bininya. Dengan imbalan harta tersebut, Koenig merasa tak perlu lagi membayar biaya hidup Rospita. Persoalan yang lebih berat adalah nasib Laura. Rospita bersikeras tetap akan memelihara anaknya itu. Sebab, katanya, Laura dilahirkan, 7 Maret 1985, ketika ia masih "kumpul kebo" dengan Koenig mereka menikah pada 17 Juli 1985. Artinya, secara hukum, Laura adalah anak ibunya. "Aku akan mempertahankannya sampai mati," kata Rospita. Sebaliknya, Amar Rasjid menganggap Koenig lebih berhak terhadap Laura. Sebab menurut undang-undang No. 62/1958, seorang anak hasil perkawinan campuran antarnegara ikut kewarganegaraan ayahnya. Selain itu, Laura juga memiliki sertifikat orang AS yang lahir di luar negeri dari konsul AS di Medan. Bahkan bocah ini juga punya paspor AS yang visanya di Indonesia akan berakhir pada 7 November mendatang. Kedua dokumen itu tak dipunyai kedua adiknya. Siapa yang benar dalam perebutan anak itu belum sempat diputuskan hakim. Kini Laura hilang bersama ayahnya. Bahkan, Senin pekan ini, Koenig tak masuk kantornya di Medan. Hanya saja di daftar penumpang udara yang barangkat dari Bandara Polonia Medan dalam dua hari ini tak tercatat nama Koenig dan Laura. Tinggalah Bryden dan Roby, yang tiba-tiba kehilangan kakaknya. Padahal selama ini, Laura sangat menyayangi kedua adiknya itu. Wartawan TEMPO, yang mendatangi rumah mereka pekan lalu, menyaksikan Laura dan Bryden mengoda si bungsu yang lagi diteteki ibunya. Irwan E. Siregar, BL (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini