Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pembebasan: Agama Ageming Aji ...

Aloysius Pieris, S.J., Yesuit dari Sri Lanka, pemikir terdepan dalam ikhtiar pengarahan kembali teologi kristen, khususnya di timur. bukunya: an Asian Theology Of Liberation, menunjukkan analisanya.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAUS pulang. Kita tidak tahu adalah seseorang -- misalnya di Yogya -- pernah mengutip, untuk dia, potongan dari syair Wedatama itu. Mungkin tidak. Tapi siapa tahu perlu. Seorang teman punya interpretasi abad ke-20 tentang kalimat yang tak mudah ditafsir itu. yang menurut dia layak dikemukakan kepada seorang Paus abad ini. Agama, kata teman itu menafsirkan, bisa memberi kita harkat. Namun, harkat itu bergantung pada sesuai atau tidaknya ageman itu bagi pribadi kita. Baju A cuma akan menggelikan bila dipakai oleh pribadi yang tak sesuai dengan A. Bahwa dengan demikian "yang benar" dan "yang tidak benar" jadi nampak tak bisa diperdebatkan, mungkin. Tapi memang kita kini tak bisa lepas lagi dari perbedaan dalam memilih tata keimanan. Terutama di Asia, sebuah benua yang kompleks, tempat begitu beragam agama hadir dan Kristen datang kemudian. "Asia adalah tempat lahir semua agama skriptual, termasuk tempat lahir agma Kristen," tulis seorang Yesuit dari Sri langka, Aloysius Pieris, S.J. "Namun, agama Kristen meninggalkan Asia sangat dini, dan memaksa kembali masuk beberapa abad kemudian sebagai orang asing . . yang secara terus-menerus tak hendak dilayani oleh Asia." Jika nada Pieris terasa masygul, jangan salah sangka. Ia kini pemikir terde pan dalam ikhtiar pengarahan kembali teologi Kristen, khususnya di Timur. Bukunya yang kini terbit dalam versi Inggris, An Asian Theology of liberation menunjukkan betapa pentingnya ia didengar. Ia tinggal di Gonawala-Kelaniya. Ia mengenal baik agama-agama sebelum Kristen yang jadi imannya. Pieris sangat fasih berbicara tentang Budhisme. Ia memang bukan orang asing, dan bukan dengan gundah seorang asing pula bila ia berkata "Gautama sang Budhi dan Muhammad sang Nabi merupakan nama yang jadi sebutan di rumah-rumah tapi Yesus sang Kristus nyaris tak menggugah mayoritas luas orang Asia." Setelall empat abad kehadiran misionaris, umat Kristen Asia cuma 3% dari seluruh penduduk. Maka, apa makna kehadiran Kristen di sini? Pieris tak berbicara tentang kekalahan dan kemenangan. Juga tidak tentang pembaptisan. Ia menampik ajaran yang disebutnya sebagai teologi "Kristus-melawan agama-agama", yakni ketika di abad ke-16 dan sesudahnya kaum misionaris Barat datang untuk menaklukkan agama-agama non-Kristen, yang dihubungkan dengan "kemelaratan moral" bangsa-bangsa yang dijajah. Kristus yang dihadirkan adalah "Kristus Kolonial". salib yang dibawa adalah "salih yang memalukan". Pieris juga menolak "Kristus Neo Kolonial", yang dibawa ke Asia di akhir tahun '60-an. Para pembawa panji "modernisasi" dan "pembangunan" kali ini datang buat mengalahkan agama-agama nonKristen, yang dikaitkan dengan "kemiskinan material" Asia. Yang diwedarkan adalah teladan pembangunan model Barat, dan Asia akhirnya jadi bayang-bayang yang mengejar tiruan mereka yang kaya. Yang menarik Pieris pun menampik "Kristus" dalam konsep yang dibawa oleh sebagian penyeru teologi pembebasan. Ia kagum kepada para pelopor teologi pembebasan Amerika Latin, tapi ia mengecam mereka yang ingin menelikung agama-agama non-Kristen, yang mereka hubungkan dengan "kemiskinan struktural" Dunia Ketiga. Bagi Pieris, semangat teologi Amerika Latin itu hanya berdasarkan kepada Marxisme dan Injil yang ditafsirkan dari perspektif Barat: keduanya melihat Dunia Timur sebagai sesuatu yang rusak dan perlu diselamatkan. Bahkan Marx melihat kolonialisme Inggris di India juga sebagai pembawa "peradaban". Bagi Asia, semua itu hanya sederet kekeliruan. Kristen di Asia justru berkesempatan besar untuk "ikut-serta secara rendah hati dalam pengalaman pembebasan secara non-Kristen". Sebab, bagi Pieris, tak ada satu agama yang bisa dikecam ataupun diunggulkan. Setiap agama, katanya, "sekaligus adalah tanda dan kontratanda dari kerajaan Tuhan." Ketika sebuah agama diluncurkan, ia memerlukan perumusan ideologis -- dan ini sekaligus menjeratnya dalam konsep-konsep tapi juga memhuatnya kukuh. Ketika sebuah agama membangun institusi-institusi, ia mengekang daya pembebasannya sendiri tapi sebaliknya juga memeliharanya. Agama, kata Pieris, bisa jadi cara untuk kemerdekaan atau juga untuk perbudakan. Apa jadinya sebuah agama -- terutama di Asia -- dapat dilihat dari caranya menghadapi lingkungan yang luas ini: kemelaratan. Namun, kemelaratan punya dua makna. Yang pertama ialah kemiskinan yang dipaksakan, ketika banyak orang jadi jelata akibat kekuasaan mereka yang serakah. Yang kedua ialah kemiskinan sebagai sebuah status ketika "seseorang punya yang perlu tapi tak punya yang berlebih". Yesus, kata Pieris, memilih kemiskinan yang kedua itu. Bagi Pieris, itulah makna ketika Yesus menemui Yahya Pembaptis di Sungai Yordan, untuk minta dibaptiskan. Ia tak menampik nabi yang mendahuluinya itu, dan bila Yahya Pembaptislah yang dipilihnya, itu karena nabi ini adalah contoh hidup yang tak berpunya yang dengan lantang mengecam kemewahan dan kerakusan di Istana -- sampai akhirnya ia dipancung. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus