Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menyoroti kelemahan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana atau KUHAP yang berlaku saat ini. Salah satu yang menjadi soroton, yakni perihal sistem pembuktian dalam suatu perkara tindak pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang menjadi tantangan terhadap transparansi dan akses," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBHI Gina Sabrina dalam Diskusi Publik: Masa Depan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, yang dilansir Tempo dari Youtube PBHI Nasional, pada Senin, 7 April 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gina menyebut yang menjadi masalah dewasa ini adalah semua bukti dimonopoli oleh negara, dipegang oleh penyidik, dipegang oleh penuntut umum sehingga akses publik sangat minim. Sebab, bukti-bukti dalam suatu perkara menjadi diskresinya penyidik sehingga menimbulkan ketidaksimbangan dalam proses pembuktian. Untuk mengkoreksi hasil dari pembuktian, pihak berperkara bisa menempuh praperadilan tapi sayangnya, ucap Gina, praperadilan fokusnya hanya pada administratif.
"Misalnya penetapan sah atau tidaknya tersangkanya, kadang hakimnya cuma mengecek dengan sudah dikirimkan belum suratnya, sudah diterima belum salinan sama keluarganya. Kalau dianggap sudah, ya berarti dianggap sah aja gitu penetapan tersangkanya," ujarnya.
Padahal, Gina menjelaskan, sebenarnya ada hal yang lebih dari itu, seperti cara pembuktiannya, apakah bukti didapat dengan cara yang sah, ada tidaknya penyiksaan dalam proses penyidikan, keterangan yang disampaikan benar atau tidak, apakah ada pendampingan dari kuasa hukum.
Perihal masalah monopoli negara atas bukti, Gina mengungkapkan bahwa seringkah kali kasus-kasus narkotika menggunakan buktinya saksi keterangan dari tersangka. Itu yang kemudian dijadikan bukti untuk meneruskan kasusnya ke penuntutan sampai ke pengadilan. Padahal bukti itu pasti merugikan terdakwa, yang mana harusnya memiliki dan mengupayakan bukti-bukti lainnya, yang bisa menjadi pembelaan oleh terdakwa. Namun, dalam prosesnya hal itu tidak terjadi.
Selain monopoli negara atas bukti dan akses publik yang terbata, PBHI menilai masalah krusial lain dalam sistem pembuktian, yakni pembatasan penggunaan BAP tersangka sebagai bukti agar tidak mendiskreditkan terdakwa, serta pembelaan yang tidak setara dan pernyataan dalam sidang yang terbatas menjadi pemghalang transparasi.
Pilihan Editor: RUU KUHAP Baru Ditargetkan Rampung pada Akhir Tahun 2025