SETENGAH bangkit dari kursinya Hakim Abunazor Machfudz SH
mengajukan pertanyaan "Betulkah . . . hm, anunya Ludfi masuk ke
. . . Nyai?" Abunazor tampaknya kehabisan kata-kata. Dia
bingung bagaimana caranya memakai bahasa anak-anak untuk kata
"sanggama". Dan yang ditanya, Nyai Atika (6 tahun), tetap
menjawab "Tidak".
Tidak puas dengan jawaban itu hakim membuka toganya. "Barangkali
anak ini takut dengan baju saya." Dengan hanya berkemeja,
Abunazor bertanya lagi. Jawaban tetap sama. Akhirnya palu hakim
tunggal ini kemudian dihentakkan: "Semua tuduhan tidak
terbukti, dan kelima tertuduh dinyatakan bebas."
Petak Umpet
Keputusan tersebut terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 16
Februari lalu. Widi bin Effendi (4 tahun), Erwin bin Effendi (10
tahun), Ludfi bin Effendi (13 tahun), Mohamad Iwan (4 tahun) dan
Imam Syafei (9 tahun) sebelumnya dituduh memperkosa Nyai Atika.
"Vonis bebas," kata Abunazor, "karena saya sama sekali tak
yakin, mereka telah melakukan perbuatan tak senonoh."
Waktu kejadian tersebut -- Agustus 1980 -- Widi dan Iwan masih
berusia 3 tahun. "Tak masuk akal anak seumur itu sudah tahu hal
yang begituan," tambah Abunazor. Apalagi dia melihat Iwan
datang ke pengadilan dengan digendong ayahnya, Sugeng.
Di depan sidang, Atika sendiri mengaku, darah yang ada di celana
dalamnya tak lain akibat terjatuh ketika main petak umpet
bersama Erwin. "Sejak semula," kata Jaksa Ny. Meity A., "saya
tak yakin mereka ini benar-benar melakukan perkosaan." Sejak
permulaan pemeriksaan, semua pihak -- tertuduh dan korban
--selalu mengatakan tidak pernah kejadian apa yang disebut orang
dewasa sebagai "perkosaan". Untuk memuaskan semua pihak keluarga
berkas perkara akhirnya sampai juga ke pengadilan. Tapi jaksa
sendiri yang menuntut bebas.
Atika, ketika diperiksa polisi, 2 September 1980, mengakui telah
melakukan hubungan seks "atas kemauan sendiri" dengan Ludfi,
Erwin dan Syafei. Berita Acara ini disusun oleh Sertu Pol. Herty
Soedinar S. dan Kapten Pol. R.A. Bariah ZA. Dengan Ludfi,
tambahnya, ia melakukan hubungan sebanyak 2 kali, Erwin 3 kali
dan dengan Syafei, 3 kali. Kejadian ini pertama kali terjadi di
bula Juli, 1980, tengah malam, dan siang hari di awal Agustus.
Selain itu, Atika juga mengaku telah berbuat dengan Widi (3
tahun) dan Iwan (3 tahun) masing-masing 2 kali.
Nyonya Anita Rony (24 tahun) dalam pemeriksaan 7 Agustus 1980,
juga ada menyatakan: melihat celana anaknya berdarah. Waktu
ditanya, Atika bilang karena jatuh. Tetapi ketika didesak Atika
mengaku telah melakukan berbuat sesuatu, yang dapat disimpulkan
sebagai hubungan seks dengan teman-temannya. Itulah sebabnya
Anita Rony melapor kepada polisi.
Balok Merah
Visum et Repertum yang dibuat oleh dr. Fuad Nawawi dari Unit
Obstetri Ginekologi RSCM menyebutkan "mulut alat kelamin (vulva)
hematom pada labium minus kiri atas ukuran 1 x « cm. Selaput dara
robekan lama dan tidak berdarah, tampak jar, fibrin, sampai ke
dasar. Mulut leher rahim dan rahim sukar dinilai".
Juga pada pemeriksaan berikutnya (8 Agustus) tidak dijumpai
sperma atau kuman gonokok. Berkenaan dengan keterangan teknis
tersebut, dokter kemudian menyebutkan, ia tak dapat menyimpulkan
adanya persetubuhan baik sekali maupun berulang kali.
Tanda-tanda kekerasan lainnya pun tidak nampak.
Tertuduh dan korban tinggal bertetangga di Jalan Kecubung 7C
Sumur Batu (Jakarta Pusat). Letak perumahan kawasan baru ini
terlalu rapat. Tanggal 7 Agustus tahun lalu, malam hari pukul
01.00 dua orang polisi mengetuk rumah Sugeng. Polisi berkata
bahwa (Iwan dan Syafei) keduanya anak Sugeng, diperlukan
keterangannya.
Sugen, pensuplai besi tua di Pulo Gadung, kaget. "Saya memang
telah bangun, karena waktu saur sudah dekat," ujarnya kemudian.
Polisi juga pergi ke rumah Effendi, yang letaknya berhadapan
dengan rumah Anita Rony. Tiga orang dari 10 orang anak Effendi
yang lelaki semua, Ludfi, Erwin dan Widi, juga harus ke Pos
Polisi Sumur Batu. Singkatnya, bocah-bocah tersebut dituduh
memperkosa Nyai Atika.
Pemeriksaan dimulai poiisi dengan membentur-benturkan kepala
tertuduh. Mereka diangkut ke Siko 701-03 Kemayoran. Selama 4
hari, anak-anak ini kecuali Widi dan Iwan yang masih 3 tahun
waktu itu -- dijebloskan dalam kamar tahanan. Karena Effendi dan
Sugeng minta agar anak-anaknya tidak dicampur dengan tahanan
dewasa. Ludfi, Erwin dan Syafei kemudian dipindah ke tempat
tahanan anak-anak Pamardi Siwi.
Disuruh Telanjang
Ketiganya mendekap di Pamardi siwi sampai 18 hari lamanya. "Hari
pertama, saya disuruh telanjang di depan penghuni lain,"
ceritera Ludfi. Seorang pembina rumah tahanan tersebut kemudian
memerintahkan anak-anak yang lain melakukan gerakan onani
terhadap kelamin Ludfi. Sedangkan Ludfi baru saja Sunat. "Kalau
saya menolak, saya dipukul," ceritera Ludfi. Atau diancam akan
ditembak anunya.
Pistol pembina lain memang telah digencetkan ke kelamin Ludfi.
Interogasi terhadap ketiganya, selalu disertai pukulan dan
tampar. "Tangan saya dijepit pelor," ujar Syafei, "sakit
sekali." Kiriman nasi dari rumah, selalu ditukar dengan nasi
basi. Pembina-pembina yang bernama S, B, dan U, yang rata-rata
berbalok satu atau dua warna merah, paling rajin melakukan
"interogasi".
Kedua orang tua tertuduh gagal membawa cuti Lebaran akhirnya
memang dapat melepaskannya dari tahanan. Caranya? Sugeng mengaku
memberi "uang penglepasan" Rp 20.000. Dan Effendi, Rp 60.000.
"Tetapi itu bukan uang sogok," tukas Sugeng. Effendi juga
berkata: "Saya berikan secara ikhlas, karena saya telah berniat
ucap kaul, kalau saja anak saya bisa keluar, saya akan sedekah."
"Harap tahu perasaan kami sebagai orang tua," ujar Sugeng.
Tetapi kerepotan belum juga usai. Setiap dua kali seminggu,
anak-anak masih harus melapor ke Pamardi Siwi. Setelah
perkaranya masuk kejaksaan, merekapun pindah ke kejaksaan.
Kini, setelah semuanya beres, "kami akan menuntut kembali Nyonya
Anita Rony," kata Effendi. "Nama yang cemar, pikiran yang kusut,
tak bisa dibayar berapa juta pun." Pengacara Bahtiar Nasution
telah mereka hubungi. Kabarnya, keluarga Anita Rony juga tidak
puas akan keputusan pengadilan dan LBH telah dimintai
pikirannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini