Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pelor dan pukulan untuk anak-anak

Lima orang anak di bawah umur dituduh memperkosa gadis 6 thn, pengadilan negeri jakarta pusat memutuskan bebas. namun 5 anak tertuduh disiksa dalam tahanan polisi.

28 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETENGAH bangkit dari kursinya Hakim Abunazor Machfudz SH mengajukan pertanyaan "Betulkah . . . hm, anunya Ludfi masuk ke . . . Nyai?" Abunazor tampaknya kehabisan kata-kata. Dia bingung bagaimana caranya memakai bahasa anak-anak untuk kata "sanggama". Dan yang ditanya, Nyai Atika (6 tahun), tetap menjawab "Tidak". Tidak puas dengan jawaban itu hakim membuka toganya. "Barangkali anak ini takut dengan baju saya." Dengan hanya berkemeja, Abunazor bertanya lagi. Jawaban tetap sama. Akhirnya palu hakim tunggal ini kemudian dihentakkan: "Semua tuduhan tidak terbukti, dan kelima tertuduh dinyatakan bebas." Petak Umpet Keputusan tersebut terjadi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 16 Februari lalu. Widi bin Effendi (4 tahun), Erwin bin Effendi (10 tahun), Ludfi bin Effendi (13 tahun), Mohamad Iwan (4 tahun) dan Imam Syafei (9 tahun) sebelumnya dituduh memperkosa Nyai Atika. "Vonis bebas," kata Abunazor, "karena saya sama sekali tak yakin, mereka telah melakukan perbuatan tak senonoh." Waktu kejadian tersebut -- Agustus 1980 -- Widi dan Iwan masih berusia 3 tahun. "Tak masuk akal anak seumur itu sudah tahu hal yang begituan," tambah Abunazor. Apalagi dia melihat Iwan datang ke pengadilan dengan digendong ayahnya, Sugeng. Di depan sidang, Atika sendiri mengaku, darah yang ada di celana dalamnya tak lain akibat terjatuh ketika main petak umpet bersama Erwin. "Sejak semula," kata Jaksa Ny. Meity A., "saya tak yakin mereka ini benar-benar melakukan perkosaan." Sejak permulaan pemeriksaan, semua pihak -- tertuduh dan korban --selalu mengatakan tidak pernah kejadian apa yang disebut orang dewasa sebagai "perkosaan". Untuk memuaskan semua pihak keluarga berkas perkara akhirnya sampai juga ke pengadilan. Tapi jaksa sendiri yang menuntut bebas. Atika, ketika diperiksa polisi, 2 September 1980, mengakui telah melakukan hubungan seks "atas kemauan sendiri" dengan Ludfi, Erwin dan Syafei. Berita Acara ini disusun oleh Sertu Pol. Herty Soedinar S. dan Kapten Pol. R.A. Bariah ZA. Dengan Ludfi, tambahnya, ia melakukan hubungan sebanyak 2 kali, Erwin 3 kali dan dengan Syafei, 3 kali. Kejadian ini pertama kali terjadi di bula Juli, 1980, tengah malam, dan siang hari di awal Agustus. Selain itu, Atika juga mengaku telah berbuat dengan Widi (3 tahun) dan Iwan (3 tahun) masing-masing 2 kali. Nyonya Anita Rony (24 tahun) dalam pemeriksaan 7 Agustus 1980, juga ada menyatakan: melihat celana anaknya berdarah. Waktu ditanya, Atika bilang karena jatuh. Tetapi ketika didesak Atika mengaku telah melakukan berbuat sesuatu, yang dapat disimpulkan sebagai hubungan seks dengan teman-temannya. Itulah sebabnya Anita Rony melapor kepada polisi. Balok Merah Visum et Repertum yang dibuat oleh dr. Fuad Nawawi dari Unit Obstetri Ginekologi RSCM menyebutkan "mulut alat kelamin (vulva) hematom pada labium minus kiri atas ukuran 1 x « cm. Selaput dara robekan lama dan tidak berdarah, tampak jar, fibrin, sampai ke dasar. Mulut leher rahim dan rahim sukar dinilai". Juga pada pemeriksaan berikutnya (8 Agustus) tidak dijumpai sperma atau kuman gonokok. Berkenaan dengan keterangan teknis tersebut, dokter kemudian menyebutkan, ia tak dapat menyimpulkan adanya persetubuhan baik sekali maupun berulang kali. Tanda-tanda kekerasan lainnya pun tidak nampak. Tertuduh dan korban tinggal bertetangga di Jalan Kecubung 7C Sumur Batu (Jakarta Pusat). Letak perumahan kawasan baru ini terlalu rapat. Tanggal 7 Agustus tahun lalu, malam hari pukul 01.00 dua orang polisi mengetuk rumah Sugeng. Polisi berkata bahwa (Iwan dan Syafei) keduanya anak Sugeng, diperlukan keterangannya. Sugen, pensuplai besi tua di Pulo Gadung, kaget. "Saya memang telah bangun, karena waktu saur sudah dekat," ujarnya kemudian. Polisi juga pergi ke rumah Effendi, yang letaknya berhadapan dengan rumah Anita Rony. Tiga orang dari 10 orang anak Effendi yang lelaki semua, Ludfi, Erwin dan Widi, juga harus ke Pos Polisi Sumur Batu. Singkatnya, bocah-bocah tersebut dituduh memperkosa Nyai Atika. Pemeriksaan dimulai poiisi dengan membentur-benturkan kepala tertuduh. Mereka diangkut ke Siko 701-03 Kemayoran. Selama 4 hari, anak-anak ini kecuali Widi dan Iwan yang masih 3 tahun waktu itu -- dijebloskan dalam kamar tahanan. Karena Effendi dan Sugeng minta agar anak-anaknya tidak dicampur dengan tahanan dewasa. Ludfi, Erwin dan Syafei kemudian dipindah ke tempat tahanan anak-anak Pamardi Siwi. Disuruh Telanjang Ketiganya mendekap di Pamardi siwi sampai 18 hari lamanya. "Hari pertama, saya disuruh telanjang di depan penghuni lain," ceritera Ludfi. Seorang pembina rumah tahanan tersebut kemudian memerintahkan anak-anak yang lain melakukan gerakan onani terhadap kelamin Ludfi. Sedangkan Ludfi baru saja Sunat. "Kalau saya menolak, saya dipukul," ceritera Ludfi. Atau diancam akan ditembak anunya. Pistol pembina lain memang telah digencetkan ke kelamin Ludfi. Interogasi terhadap ketiganya, selalu disertai pukulan dan tampar. "Tangan saya dijepit pelor," ujar Syafei, "sakit sekali." Kiriman nasi dari rumah, selalu ditukar dengan nasi basi. Pembina-pembina yang bernama S, B, dan U, yang rata-rata berbalok satu atau dua warna merah, paling rajin melakukan "interogasi". Kedua orang tua tertuduh gagal membawa cuti Lebaran akhirnya memang dapat melepaskannya dari tahanan. Caranya? Sugeng mengaku memberi "uang penglepasan" Rp 20.000. Dan Effendi, Rp 60.000. "Tetapi itu bukan uang sogok," tukas Sugeng. Effendi juga berkata: "Saya berikan secara ikhlas, karena saya telah berniat ucap kaul, kalau saja anak saya bisa keluar, saya akan sedekah." "Harap tahu perasaan kami sebagai orang tua," ujar Sugeng. Tetapi kerepotan belum juga usai. Setiap dua kali seminggu, anak-anak masih harus melapor ke Pamardi Siwi. Setelah perkaranya masuk kejaksaan, merekapun pindah ke kejaksaan. Kini, setelah semuanya beres, "kami akan menuntut kembali Nyonya Anita Rony," kata Effendi. "Nama yang cemar, pikiran yang kusut, tak bisa dibayar berapa juta pun." Pengacara Bahtiar Nasution telah mereka hubungi. Kabarnya, keluarga Anita Rony juga tidak puas akan keputusan pengadilan dan LBH telah dimintai pikirannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus