Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pembantu Sang Jenderal

Seorang istri petinggi polisi dilaporkan melakukan penganiayaan dan penyekapan terhadap 17 orang yang bekerja di rumahnya. Dijerat dengan pasal berlapis.

3 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Agus Lewier berdiri di depan rumah Brigadir Jenderal Purnawirawan Mangisi Situmorang. Tangannya menenteng sebuah foto perempuan. Berkali-kali ia mengetuk pintu pagar setinggi sekitar 2,5 meter, tapi tak ada tanda-tanda pintu akan dibuka. "Saya khawatir terhadap nasibnya. Saya ingin mengajaknya pulang," ujar pria 59 tahun itu sembari menunjukkan foto yang dibawanya, yang bergambar wajah sang istri.

Istrinya, Marlina, kata Agus, bekerja di rumah keluarga Mangisi. Selasa pekan lalu itu, hampir satu jam bapak lima anak ini berdiri di pintu gerbang rumah Mangisi di kompleks Duta Pakuan, Bogor. Perjalanan panjang ditempuh Agus dari desanya di Doka Barat, Kecamatan Aru Selatan, Maluku Tenggara, hingga terbang ke Jakarta.

Agus berangkat ke Bogor setelah media massa ramai memberitakan perihal anak ketiganya, Yuliana, yang mengalami penyiksaan dan penyekapan selama tiga bulan di rumah Mangisi Situmorang. "Bupati prihatin terhadap nasib keluarga kami sehingga membiayai perjalanan saya ke sini," ucap Agus, yang sehari-hari bekerja sebagai tukang reparasi barang elektronik.

Petang itu upayanya membawa pulang sang istri gagal. Dengan langkah gontai, Agus meninggalkan rumah berukuran sekitar 800 meter persegi yang di atas pagarnya melingkar-lingkar kawat berduri itu.

1 1 1

Bersama sang ibu, Yuliana meninggalkan Desa Doku pada November 2013. Sempat bekerja beberapa bulan di Medan, ibu dan anak itu lalu berangkat ke Jakarta. Di sana mereka kemudian bekerja di rumah Mangisi Situmorang.

Menurut Agus, pada pertengahan Januari lalu, ia mendapat pesan pendek dari Yuliana. Isinya: "Bapak, kalau sayang saya, tolong bawa saya dari rumah ini. Saya disiksa."

Agus lantas menghubungi Jemik, kerabatnya di Bogor. Berbekal alamat yang diberikan Yuliana, Jemik mendatangi rumah Mangisi Situmorang. Mutiara, istri Mangisi, membantah ada nama Yuliana di rumahnya. Jemik pun angkat kaki. Sebulan kemudian, Agus menghubungi Jemik. Ia meminta kerabatnya itu mendatangi lagi alamat yang diberikan Yuliana.

Pada 14 Februari lalu, Jemik kembali ke rumah Mangisi Situmorang. Kali ini ia tidak sendirian, ditemani 17 temannya. Di sana, bersama ketua rukun tetangga setempat, mereka mendatangi rumah Mangisi Situmorang.

Kali ini tuan rumah tak berkutik. Namun mereka tak mau begitu saja melepaskan gadis itu. Mutiara meminta Rp 6 juta sebagai uang tebusan. "Permintaan itu kami tolak," kata Syarief Hidayat, petugas keamanan di sebuah kantor di kawasan Jambu Dua, Bogor, yang ikut mendampingi Jemik menjemput Yuliana, kepada Tempo.

Akhirnya Mutiara menyerah, melepaskan Yuliana. Malam itu mereka kemudian melapor ke Kepolisian Resor Bogor. Kepada polisi, perempuan 17 tahun ini menunjukkan bagian tubuhnya yang kerap jadi bulan-bulanan Mutiara. "Saya sering dicakar dan ditampar," ujar lulusan sekolah menengah kejuruan kelautan itu. Yang mengejutkan polisi, Yuliana mengungkapkan bahwa di rumah itu juga ada 16 orang lain yang nasibnya sama seperti dirinya. Dari Yuliana, mereka tahu Marlina bekerja di tempat kerabat Mangisi Situmorang di Medan.

Menurut sumber Tempo, saat itu polisi memang antusias menangani pengaduan Yuliana. Tapi, begitu mereka mengetahui rumah itu milik seorang jenderal polisi, pengusutan langsung "mendingin". Melihat ini, para pembebas Yuliana meminta Markas Besar Kepolisian RI turun tangan. Mereka juga meminta Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Bogor Raya menjadi kuasa hukum Yuliana. Kepada Tempo, Direktur LBH Keadilan Bogor Raya Sugeng Teguh Santoso menyatakan, begitu ditunjuk menjadi kuasa hukum Yuliana, ia langsung meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban melindungi perempuan itu. "Dia saksi penting kasus ini," ujar Sugeng.

Rabu, 19 Februari lalu, sejumlah polisi mendatangi rumah Mangisi Situmorang. Pensiunan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Polri ini tak berkutik. Dari rumah itu, polisi mengeluarkan 16 orang, lima di antaranya laki-laki. Di luar itu, ada bayi perempuan berumur empat bulan, anak pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja di rumah Mangisi.

Dari 16 orang tersebut, menurut LBH Keadilan, empat di antaranya berumur 13-18 tahun. "Mereka masuk kategori anak-anak," kata Sugeng. Seperti Yuliana, semuanya mengaku tak pernah mendapat bayaran selama bekerja di rumah berlantai tiga itu. Upah baru diberikan Mutiara ketika polisi membebaskan mereka. "Ibu galak sekali. Saya beberapa kali dipukul," ujar Istiqomah, 26 tahun.

Kepada Tempo, yang menemuinya di Polres Bogor, Istiqomah mengaku terdampar di rumah Mutiara setelah dibawa seorang perempuan yang dikenalnya di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Saat itu perempuan asal Desa Sendang Krajan, Ponorogo, ini berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. "Saya dijanjikan gaji Rp 800 ribu per bulan," kata Istiqomah.

Di rumah itu, pekerjaan Istiqomah serabutan: mencuci piring, mengepel, dan membersihkan apa pun yang diperintahkan Mutiara. "Saya pernah ditampar, dijambak, sampai kalung saya putus," ujar Istiqomah. Pernah suatu ketika ia berniat berhenti. "Ibu murka. Saya dibentak dan disuruh bayar Rp 1 juta," kata perempuan lulusan sekolah dasar ini.

Di rumah berlantai tiga itu, 12 pembantu perempuan ditempatkan di sebuah kamar di lantai dua, sedangkan lima pembantu pria di lantai tiga. Mutiara mengunci pagar rumahnya sepanjang hari dan melarang mereka keluar dari rumah sekali pun.

Para pembantu itu, tanpa terkecuali, mesti bangun pukul empat pagi setiap hari dan baru boleh beristirahat pukul 12 malam. "Tidak ada yang punya handphone. Semua disita," ujar Sri Rahma, pekerja asal Bima. Menurut Sri, Mutiara kerap memerintahkan para pekerjanya membersihkan barang-barang yang sebelumnya sudah dibersihkan pekerja lain. "Tidak ada yang berani melawan. Kami takut," katanya. Kepada Tempo, seorang pekerja lain bercerita, begitu saat itu tahu Yuliana menelepon seseorang, Mutiara mengamuk dan menghancurkan telepon selulernya.

Seperti Yuliana dan Istiqomah, para pekerja mengaku sampai di rumah Mutiara dibawa seseorang yang mereka kenal di Terminal Pulogadung. Mereka rata-rata dijanjikan mendapat upah Rp 600-800 ribu. Marcel (bukan nama sebenarnya), teman Yuliana yang sama-sama berangkat dari Medan, bercerita, saat tiba di Pulogadung, mereka didatangi seorang perempuan bernama Ani dan ditawari pekerjaan. "Karena bingung, kami menurut saja," ucap Marcel.

Mereka lalu dibawa ke rumah Mutiara. "Saya menolak bekerja di sana," ujar Marcel. Sejumlah pekerja yang diwawancarai Tempo juga menyebut nama Ani. Menurut seorang penyelidik, para pekerja itu memang dibawa calo yang berkeliaran di Pulogadung. "Mereka ada yang memiliki warung di sana," kata sang penyelidik.

Pekan lalu, saat ditemui Tempo, seorang warga yang rumahnya hanya berjarak sekitar tiga meter dari dinding rumah Situmorang mengaku beberapa kali mendengar suara perempuan berteriak-teriak mengaduh pada malam hari. "Saya tidak tahu apa itu suara pembantu yang dipukuli," ujarnya.

Kamis pekan lalu, saat Tempo mencari sosok Ani di Pulogadung, sejumlah pemilik warung menyatakan tak mengenal perempuan itu. Mereka juga seperti saling memberi kode untuk tidak berbicara kepada Tempo.

1 1 1

Selasa pekan lalu, setelah polisi memeriksa 24 saksi, Mutiara akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Kepala Polres Bogor Ajun Komisaris Besar Bahtiar Ujang Purnama, Mutiara dijerat dengan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 44 Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga, dan Pasal 80 Undang-Undang Perlindungan Anak. Jika terbukti melakukan kejahatan memperdagangkan orang, dia bisa dihukum hingga 15 tahun.

Mutiara menampik jika ia disebut melakukan penyiksaan seperti dilaporkan bekas pembantunya. Demikian juga Mangisi­ Situmorang. "Kami sudah anggap mereka keluarga sendiri. Jika ada kesalahan yang fatal, baru kami beri peringatan tegas," ujar bapak tiga anak itu. Menurut dia, luka yang terdapat di wajah Yuliana itu akibat ia berkelahi dengan pembantu lain. Sebagian pembantu itu, kata Mangisi, juga akan dipekerjakan di peternakan ikan lelenya.

Menurut Sugeng Teguh, Mangisi seharusnya juga ditetapkan sebagai tersangka. "Dia melakukan pembiaran. Ini kan kejadiannya di rumahnya," ujarnya. Sugeng meminta polisi tak terpengaruh oleh kedudukan Mangisi sebagai pensiunan petinggi polisi.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bogor Kota Ajun Komisaris Condro Sasongko menyatakan pihaknya bekerja profesional menangani kasus ini. "Tidak ada tekanan," katanya. "Penyelidikan kasus ini masih terus berjalan."

Ini bukan pertama kalinya Mangisi Situmorang diduga melakukan kejahatan terhadap pembantu. Pada Maret 2012, keluarganya juga dilaporkan menyekap empat pembantu rumah tangga asal Nusa Tenggara Timur.

Kepada Tempo pekan lalu, Maha Katy, pengacara yang dua tahun lalu menangani kasus itu, bercerita, para pembantu tersebut ditemukan penduduk bersembunyi ketakutan di sekitar rumah warga. "Mereka bilang ada 20 orang yang bekerja di rumah Situmorang," ucap Maha Katy.

Maha Katy melaporkan kasus penyekapan itu ke Polres Bogor. Namun ia kecewa karena prosesnya tak berlanjut ke pengadilan. "Diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga Situmorang berjanji tak akan mengulangi perbuatan mereka lagi," katanya.

LRB, Yuliawati (Jakarta), Sidik Permana (Bogor)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus