DUA tukang becak yang biasa mangkal di Jalan Johar Baru, Jakarta Pusat, Sastro, 21 tahun dan Padi, 25 tahun, minggu-minggu ini diseret ke pengadilan. Mereka dituduh -- tak tanggungtanggung -- menganiaya mayor TNI-AD, Karmen Butar-Butar, hingga korban meninggal. Ternyata, di persidangan Rabu pekan lalu, kedua tukang becak itu menyangkal pengakuannya di berita acara pemeriksaan (BAP). Sebab, kata mereka, BAP itu mereka tanda tangani karena terpaksa. "Klien saya sebenarnya jadi kambing hitam saja meskipun belum terbukti secara yuridis," kata pengacara mereka, R. Rambe, kepada TEMPO. Sebenarnya tak hanya Rambe yang ragu. Nyonya Karmen sendiri juga tak percaya kedua pengemudi becak itu berani membunuh suaminya. Nyonya Karmen, yang pernah mengadukan kasus itu ke DPR, malah curiga suaminya mati akibat penganiayaan pihak lain. Sebab, sebelum meninggal, kata Nyonya Karmen, suaminya, yang Kepala Seksi Analisa Teknik Dislitbang AD itu, sempat menyebut beberapa nama orang yang ikut memukulinya. Apalagi, menurut Nyonya Karmen, setelah suaminya tewas ia sempat kena teror, baik lewat telepon maupun surat, yang tak mungkin dilakukan oleh hanya tukang becak. Melalui telepon seseorang sempat mengancamnya, "Kalau masih mengungkit-ungkit kematian suami Ibu, maka keluarga Ibu tidak terjamin keselamatannya." Pernah pula ia menerima surat ancaman yang disampaikan melalui tukang semir sepatu. Isinya: "Anaknya akan diculik dan diperkosa." Pada Kamis malam, 8 Desember 1988 menurut BAP, terjadi keributan kecil di Jalan Johar Baru V gara-gara seorang warga asal Ambon, Jhony Pattikawa bertengkar dengan seorang tukang becak. Konon, Jhony, yang ketika itu lagi mabuk, tak mau membayar ongkos becak yang ditumpanginya. Ia bahkan merampas becak tersebut. Tentu saja si pengemudi becak, Ratno, tak menerima. Bersama kakaknya, Gimin ia mendatangi Jhony untuk meminta becaknya kembali. Tapi, masih menurut berita acara, mereka malah dipukuli Jhony hingga kepala Gimin bocor. Gara-gara itu kerusuhan meluas. Sekitar 200 orang tukang becak berkumpul, dan hendak menyerbu rumah Jhony. Hansip Syahroni, yang mengetahui keributan itu, segera melapor ke Kepala Keamanan Johar Baru, Mayor Karmen. Berkat Karmen turun tanganlah kerusuhan itu bisa diredam. Sekitar pukul 22.00 Karmen pulang ke rumahnya. Ia sempat mengantarkan istrinya ke Rumah Sakit St. Carolus untuk menemani anaknya, Nina, yang dirawat di situ karena sakit tifus. Sekembali dari rumah sakit, Karmen sempat menonton TVRI sebentar, sebelum tertidur di kursi tamu rumahnya. Selagi ia tertidur, menurut BAP, tukang becak kembali bergerak mencari Jhony Pattikawa. Yang dicari ternyata sedang tak ada di rumah. Sebagai pelampiasan, rumah yang ditempati Jhony, milik Nyonya Mustamu, dilempari tukang becak dengan batu. "Jangan! Jangan dilempari," teriak seseorang melarang perusakan itu. Tapi, tukang becak yang lagi marah itu malah mengepung lelaki setinggi 170 sentimeter, yang tak lain dari Karmen itu. Rupanya. tukang becak mengira laki-laki itu teman Jhony. Seorang tukang becak bernama Surip belum tertangkap -- memukulkan balok kayu ke kepala Karmen. Korban jatuh. Padi lalu memukul korban dengan martil disusul pukulan batu oleh Kumpul -- juga belum tertangkap -- ke bagian muka korban. Tanpa dikomando lagi, masih menurut BAP, Sastro ikut-ikutan melempari korban dengan batu. Lalu berturut-turut timpukan batu dilakukan Yono, Jolo, dan Toridi -- semuanya dari Tegal dan belum tertangkap. Dalam keadaan babak belur Karmen dilarikan ke rumah sakit. Menurut istri Karmen, dini hari itu juga, polisi datang ke rumahnya dan mengajak anaknya, Joni, bersama tetangga, ke RS Cipto Mangunkusumo. Tapi di rumah sakit itu Joni tak lagi mengenali wajah ayahnya. Wajah Karmen, ketika itu, penuh darah. Kepala dan lehernya robek, kupingnya hancur dan bola mata kirinya keluar. Korban yang di rumah sakit itu disebut Mr. X, hanya bisa dikenali anaknya dari pakaian, dan bekas koreng di kakinya. Kesokan harinya Nyonya Karmen memindahkan suaminya ke RSPAD Gatot Subroto. Ketika Karmen sempat siuman, katanya, suaminya membantah bahwa dirinya dikeroyok tukang becak. Bahkan suaminya itu, kata Nyonya Karmen, sempat menyebut nama pelaku-pelaku sebenarnya. sebelum ia meninggal, enam hari kemudian dalam usia 49 tahun. Selain dari pengakuan suaminya, Nyonya Karmen menyebut berbagai keganjilan dalam kasus itu. Misalnya, mengapa Sukarna dan beberapa tetangga yang mengantarkan korban ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo mendaftarkan suaminya sebagai orang tak dikenal atau Mr. X. Selain itu. katanya, ia juga menemukan empat pasang sandal tak dikenal di depan rumahnya. "Saya punya firasat buruk suami saya dibunuh komplotan lain," kata Nyona Karmen, yang mengaku telah melaporkan kasus itu ke Garnizun, Bakorstanas, Wakasad, dan DPR. Di persidangan selain kedua terdakwa, saksi Hansip Syahroni, yang di BAP menyaku melihat pengeroyokan terhadap korhan dari jarak 25 meter, juga mencabut keterangannya. Ia, katanya, ragu apa benar melihat Padi memukulkan martil ke korban. Sementara itu, Nyonya Karmen, yang didampingi Pengacara Johnson Panjaitan dan Jayusman, menyatakan siap menjadi saksi dalam kasus tersebut. "Kalau hakim berkenan memberikan kesempatan kepada saya," kata istri korban.Widi Yarmanto, Rustam FM dan Ardian (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini