Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Setelah teror di beijing

Pembantaian oleh tentara pembebasan rakyat cina di beijing pada 4 juni 1989 untuk sementara bisa mendatangkan "stabilitas" dan "keamanan & ketertiban". tetapi untuk jangka panjang pesan itu menggema.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOTA-kota besar di seluruh pelosok Cina kini dilanda ketakutan terhadap "tindak pembersihan" yang dilancar kan Deng Xiaoping, Yang Shangkun, dan Li Peng. Ribuan mahasiswa, cendekiawan, dan pekerja yang selama dua bulan lebih ikut serta dalam gerakan menuntut pembaruan dan demokrasi kini ditangkap dan "diadili" oleh pihak berwajib. Televisi, radio, dan surat kabar menyiarkan berita tentang "pengakuan bersalah" oleh sejumlah orang "kontrarevolusioner" yang hendak membuat Cina menjadi negara "borjuis liberal". Pembangkang terkemuka Fang Lizhi kini meminta suaka politik di Kedutaan Besar Amerika di Beijing. Semua kejadian di atas mengingatkan dunia pada peristiwa serupa 10 tahun yang lalu, tatkala Gerakan Tembok Demokrasi mekar di Beijing. Ketika itu pun gerakan ditumpas habis karena dianggap terlalu "kebarat-baratan". Tetapi peristiwa 4 Juni 1989 -- ketika Tentara Pembebasan Rakyat mengubah diri menjadi tentara pembantaian rakyat -- akan mengingatkan banyak pengamat pada kejadian 20 tahun lalu, yakni Revolusi Kebudayaan. Hal yang mengerikan kali ini -- seperti halnya dahulu -- ialah bahwa gerakan pembersihan dilancarkan oleh sekelompok pemimpin tua yang tetap ingin mempertahankan "kemurnian" revolusi dan kesucian budaya Cina, bebas dari pengaruh-pengaruh asing. Xenophobia merajalela. Media massa Barat bagian terbesar memusatkan pemberitaan di Cina akhir-akhir ini sebagai gerakan "pro demokrasi". Tetapi yang dipertaruhkan oleh para mahasiswa, cendekiawan, dan pekerja kantor di Beijing, Shanghai, Kanton, Wuhan, dan sejumlah besar kota lain di seluruh RRC adalah gerakan pembersihan terhadap korupsi dan kerakusan di kalangan pemimpin Partai Komunis Cina. Selang lebih dari 10 tahun terakhir ini, semua kalangan pimpinan (termasuk Zhao Ziyang yang kini dikucilkan dari pimpinan partai) terlibat dalam permainan penyalahgunaan jabatan. Mahasiswa, cendekiawan, dan pekerja kantor kecewa bahwa Partai Komunis Cina tak kuasa menahan korupsi dan kerakusan anggota keluarga atau famili mereka masing-masing. Anak Deng Xiaoping terlibat dalam bisnis yang menggiurkan anak Yang Shangkun menguasai Tentara ke-27 yang membantai mahasiswa subuh 4 Juni yang lalu anak Li Peng terlibat dalam skandal manipulasi barang impor mewah di Pulau Hainan. Kalau pemimpin dan anak-anak "revolusioner" menikmati hak istimewa yang demikian mencolok, siapakah sebenarnya yang layak dicap sebagai "Orang-Orang kontrarevolusioner"? Partai Komunis -- apalagi Partai Komunis Cina -- sudah terlalu lama memikul beban hipokrisi sepanjang 10 tahun lebih. Seorang mahasiswa atau cendekiawan yang paling lugu pun akan tahu, betapa gaya hidup pemimpin partai beserta kerabatnya menyalahgunakan mitos dan etos revolusi Cina untuk kepentingan mereka masing-masing. Oleh karena itu, masalah pokok yang lahir sejak pertengahan April 1989 yang lalu bukanlah naluri untuk memperluas ruang gerak demokrasi di Cina, apalagi keinginan untuk meniru-niru demokrasi politik di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat. Semua mahasiswa dan cendekiawan Cina sudah tahu sejak akhir 1987, bahwa pembaruan ekonomi menurut keterbukaan politik yang selektif. Kemacetan investasi dan perdagangan Cina sejak pertengahan tahun 1987 adalah karena tidak mampunya birokrasi pemerintah menyelenggarakan tugas-tugas skala besar yang dituntut oleh derasnya arus modal asing. Dalam hal itu, Cina tahun 1980-an adalah korban dari "gerakan pembersihan" Revolusi Kebudayaan 1966-1976, yang menghabiskan tenaga menengah yang diperlukan untuk mengelola negara modern dengan segala perangkat dan perlengkapan yang diperlukannya. Mahasiswa dan cendekiawan Cina mencatat bahwa sebuah penyakit kebudayaan Cina lama, yakni kerakusan dan permainan "sistem famili", justru kambuh pada saat 17.000 perusahaan bangkrut dan 20.000 proyek investasi terpaksa ditutup karena terlalu boros atau akibat kebocoran-kebocoran yang dilakukan keluarga dan klik tokoh-tokoh partai. Barangkali salah perhitungan mahasiswa dan cendekiawan Cina adalah dalam menggunakan semboyan-semboyan atau lambang-lambang yang diambil akibat hadirnya teknologi "gelombang ketiga": patung Dewi Kemerdekaan yang terlalu mirip dengan patung Liberty di New York, kutipan-kutipan dari buah pemikiran Thomas Jefferson dan Abraham Lincoln. Bagi para pemimpin tua Cina yang dibesarkan dalam pemikiran semangat Yenan tahun 1920-an dan 1930-an, tak ada yang lebih menjijikkan daripada melihat anak-anak ingusan itu memuja-muja budaya dari negara yang pernah mempermalukan Cina 55-60 tahun yang lalu. Boleh jadi, Deng Xiaoping menyesalkan keputusannya 10 tahun lalu untuk mengirim 70.000 pemuda-pemudi Cina menimba ilmu di luar negeri. Hikmah dari peristiwa dan teror mental yang sedang melanda Cina bagi semua pemimpin negara sedang berkembang ialah bahwa paham atau ideologi apa pun senantiasa diuji terus-menerus melalui prestasi-prestasi pemerintah, partai berkuasa, atau tokoh-tokoh pimpinannya. Sangat mudah untuk menuduh pembangkang sebagai "pengacau kontrarevolusioner" atau "orang sok pintar yang terlalu lama belajar di luar negeri". Memang ada kepuasan batin untuk menampilkan sikap yang menegaskan perlunya "kebudayaan nasional" dan "kemurnian ideologi sendiri" dipelihara. Tetapi sikap menyalahkan ideologi dan budaya asing tak akan dapat menutupi persoalan pokok: perlunya wibawa moral serta rapuhnya kewenangan yang berlandaskan kekuatan ajaran dan senjata. Teror di Beijing dan kota-kota lain di Cina untuk sementara bisa mendatangkan "stabilitas" dan "keamanan dan ketertiban". Tetapi untuk jangka waktu panjang, pesan yang dicetuskan mahasiswa, cendekiawan, dan pekerja Cina selama Mei-Juni 1989 terus menggema ke mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus