DI ruang sidang, jaksa memang tak selayaknya menjatuhkan vonis. Lain halnya di luar sidang seperti dilakukan Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono. Ia, pekan lalu, menjatuhkan hukuman yaitu memecat anak buahnya, M. Siagian dan Rahmat Hasan, masing-masing jaksa dan bendaharawan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Sanksi yang dijatuhkan Sukarton ternyata bukan berhenti sampai pemecatan. Kedua aparat itu akan disidik dan diseret ke pengadilan dengan tuduhan korupsi. "Yah, itu kan merupakan perbuatan yang sangat tercela," kata Sukarton. "Makanya, saya berikan hukuman yang setimpal." Kedua abdi penegak hukum itu dipersalahkan indisipliner dan melanggar PP 30 tahun 1980. Persisnya, keduanya dicurigai bertanggung jawab atas menguapnya barang bukti berupa uang Rp 46,84 juta. Mereka, menurut Sukarton, terbukti melakukan kesalahan. Karenanya, Siagian dan Rahmat dipecat, tanpa menunggu pemeriksaan di pengadilan. Namun, hukuman yang menyangkut masa depan dan periuk nasi keluarga kedua aparatnya itu ternyata dijatuhkan setelah lewat proses panjang. Kejaksaan Agung, katanya, telah memeriksa semua pihak yang terlibat langsung dengan penanganan barang bukti. Seperti dikatakan Abdul Wirahadikusumah, Jaksa Agung Muda bidang Pengawasan Umum, kedua tersangka itu terbukti indisipliner. "Keterangan para saksi juga memberikan arah yang jelas, bahwa keduanya bersalah," kata Abdul Wirahadikusumah. Abdul Wirahadikusumah juga membeberkan lika-liku Kejaksaan Agung menelusuri perjalanan barang bukti kasus perjudian yang melibatkan tersangka A. Luk dan kawan-kawan. Mulanya kasus perjudian -- hasil penggerebekan polisi di markas perjudian di bilangan Jakarta Kota -- diserahkan polisi kepada Kejaksaan Tinggi Jakarta, Februari tahun lalu. Berkas perkara itu dilengkapi pula dengan barang bukti berupa sejumlah peralatan perjudian dan uang tunai Rp 51.130.700 dan US$4.750. Setelah disegel, sebulan kemudian, barang bukti diterimakan kepada Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat. Barang bukti itu kemudian disimpan oleh Rahmat Hasan. Rupanya, 24 Maret 1988, Jaksa M. Siagian diam-diam meminjam barang bukti yang disegel itu kepada Rahmat Hasan. Katanya, itu untuk keperluan penyidikan. Nah, ketika uang dikembalikan, seminggu kemudian, kata Abdul Wirahadikusumah, alat bukti itu sebenarnya sudah berubah. Sayang, Rahmat tak memeriksanya lagi. "Inilah kesalahan Rahmat," katanya. Kebetulan pula, ketika itu Siagian dan Suryadi ditunjuk menjadi jaksa penuntut umum. Untuk kedua kalinya, Siagian meminjam uang barang bukti itu kepada Rahmat selama dua bulan, Agustus tahun lalu. Semuanya tak disertai tanda terima peminjaman. Rupanya, sulap-menyulap barang bukti itu terjadi pada waktu "peminjaman" barang bukti. Bundelan uang puluhan ribu di bagian tengah disulap menjadi kertas putih polos. Uang puluhan ribu asli hanya untuk tutup di bagian luar gepokan rupiah itu. Kemudian berbagai pertanyaan muncul. Mengapa kasus perjudian itu tak kunjung masuk pengadilan. Bahkan, sampai kemudian jaksa itu dipindah ke Kejaksaan Tinggi Jakarta, September 88. Kasus judi itu tak pernah disidangkan. Anehnya, menurut pemeriksaan seperti diungkap Jaksa Agung Muda Abdul, Siagian sering bertandang menemui Rahmat -- juga dengan istri bendaharawan itu -- di kantor. Makanya, ia menilai bahwa yang paling bertanggung jawab adalah Siagian dan Rahmat. Sementara itu, Jaksa Oldy G.S. Wotulo, yang akhirnya menggelar barang bukti itu di pengadilan Maret lalu, dinyatakan bersih. Di samping itu, pihak Kejaksaan Agung juga melacak catatan reputasi Siagian. Jaksa yang satu ini dikenal suka berjudi, menolak mengikuti pendidikan keahlian, dan -- yang tak kurang menjengkelkan -- terlibat kasus penipuan mobil. Rahmat sendiri merasa heran tiba-tiba ia disangkutkan dengan kasus pencurian barang bukti itu. Ketika ditemui di rumahnya yang amat sederhana di suatu gang yang kumuh di kawasan Tanjung Barat, Jakarta Selatan, ia kelihatan lesu. "Saya tidak bisa membela diri," kata Rahmat, "karena, waktu diperiksa, saya shock." Kepada TEMPO Rahmat mengaku tak melakukan perbuatan serendah itu. "Buat apa saya korbankan masa kerja saya selama 25 tahun? Saya ini cuma korban Siagian."Agus Basri, Agung Firmansyah (Jakarta), dan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini