LHOKSEUMAWE, Aceh Utara, gawat! Sekitar 125 santri, lengkap dengan golok, tombak, dan batu-batu di tangan, berjejer siaga menjaga Pesantren Sirajul Kari dan siap mati syahid. Suasana semakin mencekam karena para santri putri bergiliran pula melakukan salat dhuha. Ada musuh yang akan menyerbu pesantren itu? Ternyata tidak. Para santri itu siap mempertaruhkan nyawanya untuk menghadang eksekusi pengadilan atas tanah pesantren tersebut, yang sedianya akan dilaksanakan pada 8 Juni lalu. Untunglah, tak seorang pun eksekutor penadilan yan muncul ke lokasi itu, sehingga "perang sabil" seperti yang diperkirakan tak terjadi. Rupanya, muspida setempat mempertimbangkan surat pemimpin Pesantren Sirajul Kari, Tengku Muhammad Kari, sehari sebelumnya, dengan kepala dingin. Surat yang ditujukan ke Muspida Aceh Utara itu menyebutkan bahwa mereka siap mati syahid jika eksekusi tetap dilakukan. Pada hari itu juga muspida rapat mendadak. Putusannya, Dandim Aceh Utara menelepon pengadilan asar menunda eksekusi itu. Ketua Pengadilan Negeri Lhokseumawe, Suharjo S.P., ternyata juga tak menganggap imbauan itu mencampuri urusan judikatif. "Muspida hanya memberi sinyal karena menyangkut soal keagamaan," kata Suharjo kepada TEMPO. Sebenarnya kasus itu hanya soal pribadi Muhammad Kari. Tengku itu sejak 1975 menanami 1,5 hektar tanah di Bukit Indah, Blang Pulo, Lhokseumawe, yang sejak 1954 hingga 1972 digarap Tengku Gadeng bin Rahman. Entah kenapa kemudian Gadeng menelantarkan tanah tersebut. Belakangan, pada 1983, Mobil Oil Indonesia membebaskan lokasi itu untuk dijadikan perumahan. Semula Gadeng diam saja. Barulah ketika Kari terdaftar sebagai penerima ganti rugi, ia mengklaim sebagai orang yang berhak atas duit senilai Rp 32 juta. Akhirnya pembayaran ditunda, karena Gadeng menggugat ke pengadilan. Ternyata, Pengadilan Negeri Lhokseumawe pada 29 Mei 1984 menolak gugatan itu. Sebab, Gadeng telah bertahun-tahun meninggalkan tanah tersebut. Di tingkat banding balik Gadeng yang dimenangkan hakim. Kali ini alasan hakim tanah itu dulunya dipinjam oleh Kari dari Gadeng. Berdasarkan itu, hakim banding menetapkan Gadeng-lah yang berhak menerima ganti rugi. Posisi Gadeng semakin kukuh karena Mahkamah Agung (MA) pada 27 Maret 1986 pun menguatkan putusan banding itu. Tapi kesulitan muncul. Soalnya, perumahan Mobil Oil telah berdiri di atas tanah itu, dan ganti rugi telah pula diterima Kari setelah ia menang di Pengadilan Negeri. Demi keadilan tentu saja harta Kari harus disita. Sepetak kebun Kari berikut pesantren berukuran 34 x 67,5 meter tadi menjadi sasaran pelelangan. Anehnya, tanah Tengku Imum Rajab, abang kandung Kari, juga terkena, walaupun ia tak ikut menerima ganti rugi itu. Pelelangan pada 20 Juni 1987 itu dimenangkan Ramli Puteh, yang kebetulan juga penasihat hukum Gadeng, dengan harga Rp 10 juta. Sejak itu Ramli sempat berkali-kali memohon eksekusi hingga peristiwa 8 Juni itu. Padahal, sudah dua kali ia membayar eksekusi, total senilai Rp 700 ribu. Kendati masih gagal, pihak pengadilan tetap bertekad melaksanakan eksekusi itu. Hanya saja, Suharjo belum bisa memastikan, kapan waktunya. Pihak muspida seperti dikatakan Sekda Aceh Utara, Ismail Mataryam, juga berencana akan mem bujuk Kari agar mau berjiwa besar menerima putusan pengadilan itu. Agaknya tak segampang itu melunakkan sikap Kari. Ia, yang kini mengajukan peninjauan kembali ke MA, menganggap ganti rugi itu murni haknya. Sebab, katanya, tanah sengketa tersebut memang bertahun-tahun tak bertuan. "Memperta hankan hak itu wajib hukumnya," katanya seraya mengutip Quran.Bersihar Lubis & Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini