ACUNGAN jempol buat TVRI tampaknya hanya cocok buat semusim. Beberapa acara barunya masih layak untuk dipuji, tapi, di sela-sela itu, terselip acara yang tak sedap dipandang mata. Sejumlah penonton yang dihubungi TEMPO terdengar menggerutu. Mereka kecewa, tak lain karena banyaknya suguhan acara sponsor. "Berita yang muncul tampak sekali seperti dibuat-buat," kata seorang pemirsa, jengkel. Pendapat serupa muncul dari penonton siaran daerah. "Yang namanya berita daerah, saya kira hampir semuanya berbau iklan," kata pemerhati dari Bandung. Contoh: acara Varia Pendidikan yang menampilkan kegiatan lembaga pendidikan di Kota Kembang itu. Tapi yang justru tampak adalah berbagai kampus swasta. Seleksi beritanya begitu longgar, hingga acara wisuda di lembaga pendidikan sekretaris pun ditayangkan. TV Medan tampaknya lebih parah. Anak seorang pejabat pemda yang menikah atau dikhitan juga bisa nyelonong ke acara Berita Daerah. Luar biasa. Lain lagi yang menyusup ke dalam acara hiburan. Di Stasiun Pusat Jakarta, perusahaan rekamanlah yang dituding sebagai biang keladi, tapi gaya stasiun daerah lain lagi. Yang menjadi sponsor di sana kebanyakan perusahaan dagang. Di Medan, misalnya. Anda akan melihat seorang penyanyi berlenggak-lenggok di atas sebuah mobil. Ini berarti, sponsornya adalah pedagang mobil. Sementara itu, di Stasiun Bandung, ada siaran wayang golek, yang di depan panggungnya terpampang spanduk iklan sebuah merek kopi. Stasiun Yogyakarta tak kurang jenakanya. Sebuah perusahaan rokok dengan bergairah mensponsori acara Paket Lebaran. Sedemikian bergairahnya, hingga para artis yang tampil bagaikan tenggelam di tengah-tengah iklan rokok. Hal ini memang niscaya, karena sekeliling panggung didominasi oleh spanduk-spanduk sponsor. Tapi, mengapa stasiun TV dibiarkan "terjerumus" seperti itu? Awalnya adalah penghapusan siaran iklan pada tahun 1981. Ketika itu, berdasarkan surat keputusan dari Sekretaria Negara, TVRI pun menetapkan biaya peliputan yang harus ditanggung oleh sumber-sumber berita. Untuk berita pendek -- berkisar antara 1 dan 1,5. menit -- tanpa suara, ditetapkan tarif Rp 50 ribu. Sedangkan untuk berita panjang (sekitar 10 menit, juga tanpa suara) Rp 100 ribu. Kalau diisi suara, tarif berita pendek Rp 80 ribu, panjang Rp 240 ribu. Setelah lewat delapan tahun, tarif itu dianggap tidak sesuai lagi. Maka, Direktur Televisi, bulan lalu, memberlakukan tarif yang baru. Berita pendek tanpa suara sekarang harganya Rp 100 ribu, dan yang panjang Rp 250 ribu. Sedangkan yang bersuara, berita pendeknya Rp 150 ribu, panjang Rp 350 ribu. Menurut Wahyudi, Kepala Seksi Berita TVRI, kenaikan itu terjadi karena biaya produksi melonjak. Film tanpa suara ukuran 33,3 mm, misalnya. Tahun 1981 harganya masih Rp 22.500 per rol, kini menjadi Rp 69 ribu. Begitu juga film yang bisa merekam suara dengan masa putar 10 menit, naik dari Rp 80 ribu ke Rp 276 ribu. Itu baru harga bahan baku. Belum ditambah biaya pemrosesan, editing, dan siaran (karena memakai satelit Palapa). "Siaran TV itu mahal, lho," kata Wahyudi. Nah, sementara siaran mahal, menurut sebuah sumber di TVRI, dana yang diberikan Pemerintah Rp 4 milyar terasa terlalu sedikit. Dan tidak juga mencukupi, kendati Pemda DKI dengan Siaran Programa-2-nya menyodorkan Rp 2 milyar. Tak ada jalan lain, pencarian dana dari luar pun semakin digalakkan. Tapi, tidak semua permintaan diliput oleh TVRI. Tiap hari TVRI Pusat rata-rata menerima 40 surat permiritaan peliputan, yang dipenuhi hanya 25. Kenapa? "Lho, kalau tidak ada news-nya, kami tidak mau meliput," kata Wahyudi serius. Ditegaskannya, untuk acara seperti perkawinan (kecuali perkawinan putra presiden dan wakil presiden), pelantikan pejabat eselon 2, 3, dan 4, serta promosi, tidak akan pernah diliput TVRI Pusat. Alasannya: tidak layak berita. Bahwa TV Medan sampai meliput hajatan keluarga para pejabat pemda, nah, itu lain alasannya. Tentang ini, Kepala TVRI Stasiun Medan H. Kamaruzaman Kasa, terpaksa buka kartu. Katanya, TV Medan terikat oleh bantuan yang diberikan Pemda Sum-Ut sebesar Rp 100 juta setahun. Sehingga, segala kegiatan Pemda bisa langsung diliput tanpa bayaran. Juga acara khitanan dan perkawinan? Menurut Kasa, itu cuma ulah beberapa pejabat saja. "Dan kami tak bisa berbuat apa-apa," kilahnya. Dengan sumber-sumber pendapatan baru itu, Stasiun Medan, yang hanya memperoleh dana Rp 18 juta per bulan dari Pusat, bisalah agak bernapas. Ditambah "pendapatan sampingan" sekitar Rp 6,5 juta per bulan, maka TV Medan mampu membiayai perawatan, di samping meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Kecilnya dana dari Pusat juga dirasakan oleh Gunawan Soebagia, Kepala TVRI Stasiun Bandung. Menurut dia, dana yang diperoleh dari Pusat setiap tahunnya Rp 900 juta. Padahal, untuk membayar gaji, tunjangan, dan PLN, seharusnya TV Bandung memperoleh Rp 1,5 milyar. Untunglah, ada pendapatan sampingan. Namun, selalu saja ada yang tidak beres. Seorang wartawan TVRI mengatakan, masih banyak karyawan humas di daerah yang kurang tanggap. Misalnya, di suatu daerah terjadi bencana banjir. Stasiun TVRI daerah pun datang meliput, tapi orang humas mengatakan dananya tidak ada. Lain halnya kalau ada pejabat yang meninjau lokasi banjir -- entah bupati atau gubernur. Dana itu tiba-tiba tersedia, begitu mudahnya. "Tapi beritanya sudah tidak menarik lagi. Lha wong banjirnya juga sudah surut," gerutu wartawan TV itu. Lha, ya memang.Budi Kusumah, Tommy Tamtomo, Riza Sofyat, Sarluhut Napitupulu, Slamet Subagyo, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini