Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suara anak-anak kalangan atas

Ypac & sos desa taruna karya bakti ria pembangunan mengundang rombongan anak berbakat dari austria, die wiener sangerknaben di jakarta. mereka tampil profesional. para penonton kecewa, tiketnya habis.

24 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN mata malu-malu, 27 anak berseragam kelasi berbaris maju ke panggung. Ketika tersenyum, anak-anak itu, sambil mengangkat bahu, masih suka menutup mulutnya dengan tangan. Lazimnya bocah yang masih kikuk. Begitu konduktor atau choirmaster Peter Marschick memulai aba-aba, kawanan bocah itu berubah bertampang serius, berdiri tegap, dan tangan masing-masing lurus ke bagian bawah belakang tubuh. Mata mereka yang bening itu hanya tertuju kepada konduktor. Dan melantunlah Come Ye Sons of Art dari Henry Purcell. Demikianlah awal malam pertama Die Wiener Sangerknaben alias The Viena Boy's Choir bermain di Ruang Flores Hotel Borobudur Jakarta, Jumat malam pekan silam. Esoknya mereka tampil lagi, setelah Sabtu paginya diterima Ibu Tien Soeharto di Istana Merdeka. Cuma, banyak yang menyayangkan, rombongan anak-anak berbakat dari Austria dengan vokal murni itu hanya tampil dua malam. Mau bagaimana lagi? Jadwal tur keliling ke Asia Pasifik memang ketat. Minggu malam mereka sudah harus terbang ke Australia. Itu pun paginya sempat ikut misa dan koor di Gereja Katedral Jakarta. Dan pelayanan istimewa (pesawat terbang, hotel kelas satu, dan diterima Ibu Negara) yang mereka dapat dari panitia tampaknya laik. Lantaran penampilan mereka juga prima. Bahkan seorang di antaranya, bernama Max, memiliki suara colarolussa soprano, jenis langka yang sanggup membawakan nomor klasik berirama tinggi dan cepat seperti dalam sebagian karya Mozart dan Beethoven. Tarif mereka ke sini juga relatif murah: US$ 14.200. "Kami mendapatkan harga khusus. Mereka tahu, pertunjukan di sini untuk amal," tutur Nyonya C.M. Prayuni Witono, ketua panitia. Die Wiener Sangerknaben bermain di sini dikehendaki oleh dua badan sosial, YPAC dan SOS Desa Taruna Karya Bakti Ria Pembangunan. Dana yang masuk diharapkan Rp 100 juta. Tapi, akibat pelayanan first class tadi, biaya penyelenggaraannya jadi Rp 60 juta. Karcis yang dijual untuk malam pertama Rp 100 ribu per lembar, termasuk makan malam. Esoknya harga karcis bervariasi: Rp 50 ribu, Rp 40 ribu, Rp 30 ribu, dan Rp 20 ribu. Kendati mahal, larisnya bukan main. "Kami ini banyak mengecewakan calon penonton," kata Nyonya Witono. "Tapi tempatnya kan terbatas. Banyak calon penonton yang bersedia berdiri, tapi saya tolak. Nggak enak, sudah bayar kok berdiri." Pada malam kedua disediakan 1.100 kursi. Ini lumayan, ketimbang 900 kursi ketika tiga tahun lalu mereka tampil di Hotel Hilton Jakarta. Pelayanan istimewa buat anak-anak itu juga wajar. Mereka itu bintang yang tampil secara profesional -- dalam arti penuh tanggung jawab. Sehingga sampai nomor-nomor pada ujung akhir pertunjukan dari W.A. Mozart, Franz Schubert, Peter Marschick, dan Johan Strauss, serta selingan sebelum itu berupa opera komedi Monsieur and Madame Denis karya Jacques Offenbach, seluruhnya nyaris hadir tanpa cacat. Kalau ada kelemahan, bentuknya adalah sebagian di antaranya tampak ada yang mulai mengantuk. Ini pun karena salah panitia, yang mendahulukan dinner dari pertunjukan. Mestinya, seperti di Malaysia, pertunjukan dulu baru makan. Anak-anak itu sudah terbiasa mengikuti jadwal tidur ketat di asrama. Mereka diharamkan melek melewati pukul sembilan malam. Asrama mereka, berupa kompleks kastil bernama Palais Ausgarten, mengharuskan mereka tidur awal, bangun pukul 06.30. Selanjutnya berangkat sekolah. Antara 13.00 dan 14.00 jam istirahat. Kemudian latihan menyanyi selama dua jam. Sehabis mengerjakan tugas sekolah, disusul makan malam, istirahat, lalu tidur. Begitu setiap hari. Berat? Kata Johann Niernberger, 13 tahun, "Saya tidak merasa berat. Habis, kalau liburan akhir minggu, saya kan bisa tidur sepuasnya di rumah orangtua saya." Sabtu dan Minggu hari libur mereka. Main sepak bola atau melakukan keriaan sebagaimana layaknya anak-anak juga dibolehkan selama jam istirahat dan sejauh tetap di lingkungan asrama. Di luar, dalam kesempatan tur, umpamanya, ada juga yang bisa bandel. Seperti suatu hari, dalam sebuah perlawatan ke Amerika Latin. Ada dua anak ingin tahu panjang kertas toilet. Satu anak memegang rol kertas itu di lantai 8 hotel tempat mereka menginap, satunya mengulur ke bawah, berteriak-teriak, "Panjangnya lebih dari satu tingkat, ulur terus." Tamu-tamu hotel yang lain hanya terlolong-lolong melihat ulah mereka. Demikian cerita Rudolf Schwarz, pembimbing rombongan. "Tapi mereka umumnya tidak merepotkan," tambahnya. Berdasarkan tradisi sejak berdirinya Die Wiener Sangerknaben 1489, anak-anak tetap boleh di asrama Palais Ausgarten hanya sampai usia 14 tahun. Sesudah usia itu, suara mereka berubah. Untuk masuk, kecuali harus bersaing ketat dengan kandidat lain dari seluruh negeri, umur seorang calon tak boleh kurang dari tujuh tahun. Pencarian bakat dilakukan melalui iklan di koran, dua sampai tiga kali setahun. Pelamarnya ratusan, padahal yang diterima setahun 30 anak. Semuanya lelaki, datang dari pelbagai kalangan. Yang datang ke sini adalah kelompok yang mendapat giliran ke Asia Pasifik seperempat dari seluruh armada Sangerknaben yang sedang tur keliling dunia. Tiga kelompok lain ke Jerman, Amerika, dan Inggris Raya. Ini kegiatan rutin, sehingga tiap tahun ada 60-70 pergelaran yang mereka buat. Hasilnya untuk kelangsungan grup, termasuk menjamin seluruh biaya anak-anak itu selama di Palais Ausgarten. Anak-anak itu sendiri tak menerima honor. "Kami mandiri, tidak diberi subsidi oleh pemerintah," tutur Schwarz.Laporan Sri Pudyastuti R.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum