Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI korban pelecehan seksual verbal oleh guru tak pernah ada di benak NS, murid perempuan sekolah menengah atas negeri di Pekalongan. NS menceritakan pengalaman kelam itu mulai ia alami sejak duduk di kelas XI. Ketika itu, NS dipanggil salah satu guru bimbingan konseling (BK) di salah satu SMAN di Pekalongan, CS.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut NS (16 tahun), guru laki-laki itu menanyainya seputar ciuman. "Saya langsung ditanya, 'Saya lihat di muka kamu banyak bercak ciuman yang warnanya masih pekat, berarti itu tandanya kamu baru-baru saja, belum lama ini dicium lawan jenis,'" ujar NS menceritakan pengalaman pahitnya pada Minggu, 27 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia tak mengerti dengan bercak merah yang dimaksudkan CS. NS menjawab tak pernah mendapat ciuman oleh lawan jenis. Namun CS memaksa NS jujur. CS berdalih tak akan memberi tahu siapa pun. NS berkukuh tak pernah dicium lawan jenis. Alih-alih berhenti, CS mengganti pertanyaannya. "Itu di tangan kamu, saya lihat ada lendir," kata NS, menirukan ucapan gurunya. NS sontak melihat ke tangannya. "Maaf, lendir apa ya, Pak?" tanyanya.
Setelahnya, CS masih melontarkan pertanyaan serupa. Guru tersebut menanyainya soal masturbasi, periode menstruasi, hingga keadaan keluarganya. Seusai pertemuan, NS melaporkan CS ke guru perpustakaan, yang kemudian menyarankannya memberi tahu wali kelas. Sang wali kelas pun menyarankan NS melapor ke guru BK perempuan.
Guru BK perempuan itu lalu menyarankan NS tak usah menjawab pertanyaan CS dan tak perlu menemui CS apabila dipanggil lagi. CS memanggil NS untuk kedua kalinya saat ia duduk di kelas XII awal. Namun NS enggan menemuinya.
Panggilan ketiga datang dua bulan lalu. NS mengaku mendapatkan pertanyaan bernada serupa dengan sebelumnya. "Tapi ada satu pertanyaan beda, di situ guru tersebut bilang bahwa saya lesbian atau biseksual karena saya tidak mau menjawab pertanyaannya," ujar NS.
Ayah NS, Salim, menyadari bahwa perbuatan CS itu termasuk pelecehan seksual verbal terhadap putrinya sehingga melapor ke Kepolisian Resor Kota Pekalongan. "Mengenai laporan ke polres, belum ada perkembangan lanjutnya," ujar Salim kepada Tempo, Ahad, 27 Oktober 2024.
Polres Kota Pekalongan memang sempat memanggil Salim. Namun, karena mendadak, Salim menyebutkan tak ada aturan. "Kalau menurut laporan, korban ada 32 orang," Salim melanjutkan.
Tak semua korban itu berani bersuara. Menurut Salim, hanya sekitar 20 orang yang mau bercerita mengenai pelecehan seksual verbal oleh CS. Namun, yang lapor ke Polres Pekalongan hanya empat orang. "Menurut korban, bukan hanya verbal, tapi ada juga yang dipegang. Pelaku juga sudah mengakuinya," ujar Salim.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kota Pekalongan Ajun Komisaris Yoyok Agus Waluyo mengatakan polisi tengah memeriksa saksi korban dalam kasus dugaan pelecehan seksual oleh salah satu guru BK di SMAN Pekalongan. "Pemeriksaan rencananya empat orang," ucap Yoyok lewat pesan teks.
Ia menjelaskan bahwa empat korban melaporkan CS atas dugaan tindak pidana pelecehan seksual nonfisik. Namun penyidik baru memeriksa satu korban sebagai saksi. "Penyidik masih kesulitan memeriksa para saksi karena masih pelajar," kata Yoyok. "Waktu penyidik menyesuaikan dengan waktu para saksi."
Antropolog dari Universitas Airlangga, Pinky Saptandari, mengatakan penyebab korban kekerasan seksual, termasuk pelecehan verbal, enggan melapor adalah konstruksi budaya masyarakat yang patriarki. Menurut dia, keadilan bagi korban kekerasan seksual sulit terwujud selama masyarakat dalam dominasi dan hegemoni patriarki. "Apalagi masyarakat juga tidak berpihak kepada korban, diwarnai kecenderungan menyalahkan korban," ucap Pinky.
Penerapan hukum juga terhambat kultur patriarki. "Institusi tidak memproses kasus kekerasan seksual karena alasan 'menjaga nama baik'. Kepentingan korban terabaikan," ujarnya.
Psikolog klinis Gisella Tani Pratiwi mengatakan umumnya korban atau penyintas kekerasan seksual enggan melapor karena diliputi rasa malu, keraguan, dan takut akan beragam hal. Menurut dia, korban juga takut dicap hal-hal negatif apabila bersuara. "Jika gender korban perempuan dan berusia anak atau remaja, biasanya memperlemah status sosialnya, sehingga korban merasa takut akan semakin terpojok jika melapor dan bersuara," tutur Gisella. Menurut dia, terduga pelaku bisa saja sering memberikan manipulasi dan ancaman bagi korban agar merahasiakan perbuatannya.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, Febby Mutiara Nelson, mengatakan, berdasarkan pengalaman pendampingannya, ada sejumlah hal penyebab korban enggan melanjutkan kasus kekerasan seksual. Salah satunya adalah pemberitaan masif oleh media massa. Belum lagi apabila korban diberitakan tidak sebagaimana adanya.
"Membaca komentar yang beragam dari netizen, itu yang membuat mereka enggan," ujar Febby saat dihubungi pada Ahad 27 Oktober 2024. "Stigma dari masyarakat, terkait perempuan yang terkadang dianggap sebagai sumber pelecehan, itu juga merupakan suatu masalah yang mereka hadapi."
Pelecehan seksual secara verbal, kata Febby, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dalam Pasal 5 aturan itu dinyatakan bahwa pelecehan seksual nonfisik dapat dipidana maksimal 9 bulan penjara dengan denda paling banyak Rp 10 juta. Menurut Febby, ada cara tertentu untuk membuktikan kasus pelecehan seksual verbal. Yakni dengan menghadirkan saksi dan keterangan saksi korban. "Terkadang dibutuhkan keterangan ahli bahasa yang akan menerangkan bahwa kalimat tersebut mengandung unsur pelecehan atau tidak."
Koordinator Nasional Forum Pengada Layanan bagi Perempuan Korban Siti Mazumah menilai, dalam kasus dugaan pelecehan seksual di SMAN 3 Pekalongan, korban enggan melapor karena adanya relasi kuasa korban dan pelaku. Sebab, pelaku adalah guru yang memiliki kuasa atas korban selaku muridnya. "Apalagi budaya kita sungkan (enggak enak) atau dianggap enggak sopan kalau melawan orang tua," ujar Zuma—sapaan Siti Mazumah. "Korban juga khawatir tidak dipercaya, pelecehan masih dianggap aib, dan reviktimisasi korban."
Reviktimisasi adalah istilah untuk menyebut seseorang yang sudah menjadi korban dan kembali ditempatkan sebagai korban. Zuma menilai tidak adanya dukungan dari sekolah juga bisa menjadi salah satu penyebab mengapa kasus ini terus terjadi dan korbannya banyak.
Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Maria Ulfah juga berpendapat senada. Ia mengatakan korban pelecehan seksual enggan melapor karena faktor relasi kuasa dengan pelaku. "Korban dalam posisi tidak berdaya karena diancam, diintimidasi oleh pelaku, sehingga takut melaporkan kasus yang dialaminya."
Penyebab kedua, menurut Maria, adalah faktor budaya yang cenderung menyalahkan korban apabila melapor kepada pihak sekolah atau keamanan. "Bahkan, di tingkat kepolisian pun kadang-kadang korban selalu dipersalahkan," tuturnya pada Ahad malam, 27 Oktober 2024.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengapresiasi siswa yang berani membuat laporan pelecehan seksual. Ia berharap, apabila masih ada korban lain, anak tersebut berani melapor. "Jika ada keraguan karena malu, takut aibnya terungkap, takut nama sekolahnya tercoreng, takut tidak hormat sama guru dan berbagai alasan lainnya, sebaiknya mempertimbangkan juga bahwa, jika kasusnya tidak dilaporkan dan tidak ditindaklanjuti, maka dikhawatirkan korbannya akan terus bertambah," kata Nahar, Ahad, 27 Oktober 2024.
Ia menjelaskan, pelecehan seksual fisik dan nonfisik merupakan bagian kekerasan terhadap anak. Ini diatur dalam Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. "Apabila unsur pidananya terpenuhi, maka perbuatan tersebut masuk kategori tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) dan pelakunya dapat dipidana," tutur Nahar. Sanksi bagi pelaku di satuan pendidikan bukan hanya sanksi administratif, tapi jika memenuhi unsur pidana, dapat berlaku hukuman sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
Apa yang Harus Dilakukan Korban Pelecehan Seksual Verbal?
Nahar memberikan sejumlah tip apabila korban mengalami pelecehan verbal. Pertama, korban harus memahami dulu masalahnya dan segera melapor untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Untuk itu, korban perlu berani bicara dan mencari dukungan, dengan menemukan orang atau lembaga yang dapat dipercaya.
"Jangan menyalahkan diri sendiri dan segera bangkit," ujar Nahar. "Berat-ringan dampak kekerasan seksual membutuhkan waktu untuk diselesaikan oleh masing-masing individu dan pastikan untuk pulih."
Ia menyarankan korban mengutamakan kesehatan mental dan emosional. Misalnya dengan konseling, terapi, dan aktivitas yang mampu mengekspresikan emosi. Nahar juga menyarankan korban menghindari hal yang dapat memicu trauma. "Pertimbangkan langkah hukum jika siap dan pastikan mendapatkan pendampingan," kata Nahar.
Zuma juga menyarankan korban mencari bantuan dari lembaga layanan yang biasa mendampingi kasus pelecehan seksual. Hal ini untuk berkonsultasi dan menguatkan korban agar tidak terjadi kasus yang sama untuk kedua kalinya. "Jika takut dan khawatir akan ancaman pelaku, carilah bantuan segera, jangan pendam sendiri kasusmu," tutur Zuma.
Menurut dia, dengan speak up atau berani bersuara akan membantu korban terputus dari rantai kekerasan. Ini juga dapat membantu korban yang lain. "Kasus ini mungkin tidak mudah diselesaikan, tapi yakinlah upaya korban dan kerja-kerja kolaborasi pendampingan kasus akan menguatkan sistem hukum yang lebih ramah kepada korban kekerasan seksual," kata Zuma.
Maria Ulfah menyarankan korban melakukan perekaman apabila memungkinkan. "Minimal perekaman suara, ini bisa menjadi alat bukti. Segera laporkan ke pihak yang berwajib," ujarnya.
Gisella Tani Pratiwi mengatakan, apabila seseorang mendapatkan kekerasan seksual, ia dapat menyadari bahwa dirinya tidak bersalah. "Sadari bahwa perlakukan ini tidak pantas diterima siapa pun," kata Gisella.
Ia pun menyarankan agar korban berani mencari pertolongan kepada orang-orang yang dipercaya. Ini terutama pihak-pihak otoritas atau orang dewasa dalam konteks kekerasan seksual terhadap anak. "Selebihnya, carilah tempat aman untuk melindungi diri jika mungkin," katanya. *
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo