GEBRAKAN Pengadilan Tinggi Medan memangkas pengacara yang merangkap sebagai pegawai negeri di wilayah itu membuahkan hasil. Sebanyak 26 orang pengacara praktek dan enam advokat di Kota Medan belum lama ini mundur dari status pegawai negeri. Sisanya, 57 pegawai praktek dan 8 advokat dianggap mundur dari status pengacara atau memilih tetap menjadi pegawai negeri. Pilihan pahit itu terpaksa ditempuh pengacara yang berdwifungsi tersebut akibat ultimatum Ketua Pengadilan Tinggi Medan, Djazuli Bachar. Lewat surat tertanggal 5 November lalu, Djazuli menentukan batas waktu 15 Desember bagi pengacara dwifungsi untuk menentukan sikap: menjadi pegawai negeri atau pengacara. Jika sampai tanggal itu si pegawai negeri yang pengacara tak menentukan pilihannya, mereka dianggap tetap menjadi pegawai negeri dan mundur dari profesi pengacara. Ultimatum itu semula menimbulkan reaksi keras. Sebab, tak kurang dari 97 orang penasihat hukum -- 31 orang di antaranya adalah dosen FH USU Medan -- bakal terpangkas penertiban tersebut. Selama ini 83 orang dari mereka menjadi pengacara praktek (dari 234 orang pengacara praktek) dan 14 orang berpraktek sebagai advokat (dari 60 advokat) di Medan. Bahkan Ikatan Pengacara Penasihat Hukum Indonesia (Ikappin) Medan melayangkan protes ke Menteri Kehakiman. Ikappin -- sebanyak 90 orang dari 120 anggotanya adalah pegawai negeri -- menuntut agar edaran Djazuli itu dicabut. "Pokoknya, kami akan bertahan menjadi pengacara sekaligus pegawai negeri," kata Ketua Umum Ikappin Medan, H. Muthalib Sembiring, yang juga dosen FH USU (TEMPO, 3 Desember 1988). Ternyata, ketika batas waktu ultimatum terlampaui, 26 pengacara praktek dan enam orang advokat tegas menyatakan sikapnya. Mereka memilih dunia pengacara dan mundur dari pegawai negeri. Sisanya, 57 pengacara dan 8 orang advokat sama sekali tak menyatakan sikap, alias tetap "mendua". Berdasarkan itu, Djazuli menganggap mereka yang tak menentukan sikapnya itu tetap memilih menjadi pegawai negeri dan melepaskan "baju" kepengacaraannya. Djazuli pun melayangkan surat, tertanggal 23 Desember 1988, ke seluruh pengadilan negeri di Sumatera Utara, yang memutuskan izin praktek mereka itu tak berlaku lagi sejak 16 Desember 1988. Artinya, para pengacara "rangkap" itu tak diperkenankan mendaftarkan perkara baru. Nasib perkara yang sedang ditangani para pengacara itu, menurut Djazuli, tetap bisa dilanjutkan dengan izin khusus darinya. "Saya hanya melaksanakan kebijaksanaan Menteri Kehakiman tentang penertiban pengacara," katanya. Ke-57 orang pengacara tadi -- dua orang di antaranya telah meninggal dunia masih beranggapan bahwa ultimatum Djazuli itu tak berdasarkan hukum, sehingga merasa tak perlu menanggapinya. Sebagian lainnya tetap merasa jabatan rangkapnya selaku dosen yang pengacara harus dibedakan dengan pegawai negeri di Kanwil atau Dinas Pemerintah Daerah. Sebab, selain tugas rangkap itu saling mengisi, "dalam seminggu kami juga hanya mengajar selama empat jam," kata Syahmenan, yang hingga kini masih menanti tanggapan Menteri Kehakiman atas surat protes mereka. Penantian Syahmenan itu agaknya bakal sia-sia. Sebab, di Jakarta, Ketua Muda Bidang Peradilan Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Indroharto menegaskan sikap pemerintah, yang tegas melarang pegawai negeri dan ABRI merangkap menjadi pengacara. "Apa jadinya kalau si pengacara harus membela perkara yang ternyata bertentangan dengan kepentingan instansinya atau pemerintah?" kata Indroharto. Selain itu, menurut Indroharto, penertiban jabatan rangkap itu dimaksudkan untuk mengatur distribusi dan jumlah pengacara pada daerah-daerah tertentu. "Secara bertahap larangan pegawai negeri merangkap pengacara itu akan diberlakukan juga di daerah lainnya," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini