Pelacur yang berkeliaran di Bandung dikenai pasal pengembara. Hakim mengada-ada? JALANAN di Kota Bandung akhir-akhir ini mulai lengang dari kupu-kupu malam. Bahkan beberapa bursa seks yang dulu ramai dikunjungi hidung belang, seperti Tegalega, kini sepi. Pasalnya, Pengadilan Negeri Bandung dalam tiga bulan terakhir ini mematahkan sayap kupu-kupu malam itu dengan pasal 505 KUHP. Berdasarkan pasal yang sebenarnya ditujukan untuk pengembara (gelandangan) itu, pengadilan memvonis pelacur 2 sampai 3 bulan kurungan. Padahal, sebelumnya, dengan pasal peraturan daerah (perda), paling banter para pelacur itu hanya kena 7 hari kurungan atau denda Rp 5 ribu. Sampai akhir Juni ini, tercatat 100 lebih pelacur yang sudah mencicipi vonis pasal pengembara itu. Inilah yang membikin keder pelacur Bandung. "Sekarang tak ada denda, semua dijatuhi hukuman kurungan. Ngeri, deh," tutur Asih, yang pernah dihukum 2 bulan. Akibatnya, Asih dan teman-temannya untuk sementara memiIih off alias cuti. Hakim Pengadilan Bandung, Ny. Rooswanti, yang selama ini getol menerapkan pasal 505 KUHP untuk pelacur, embantah bahwa tindakannya itu mengada-ada. Ia juga membantah menafsirkan pasal tersebut secara luas. "Saya tak mencari popularitas atau sok, penggunaan pasal itu memang relevan," kata lulusan UGM 1965 itu. "Pelacur itu kan berkeliaran tanpa pencaharian, karena WTS (wanita tuna susila) bukanlah pekerjaan," pendapat Roos. Di balik itu, Rooswanti mengaku punya tujuan mulia agar pelacur itu sempat dibina di dalam penjara. Sebab, kalau hanya 3-4 hari, "tinta di buku register LP saja belum kering, jadi kapan bisa dibina?" tanyanya. Kendati pasal yang dipakai hakim Pengadilan Negeri Bandung itu cukup ampuh, toh hal itu mengagetkan kalangan hukum. Sebab, pasal yang berbunyi "Barang siapa dengan tidak mempunyai pencaharian mengembara ke mana-mana, dihukum karena pelancongan, dengan kurungan selama-lamanya tiga bulan" itu tak menyebut-nyebut soal pelacur. Apa pun alasan Roos, Wakil Direktur LBH Bandung, Nyonya Melani, menilai tindakan hakim itu tidak tepat. "Sesuai dengan asas nullum delictum nulla poena (tidak sebuah perbuatan pun bisa dihukum kecuali ada ketentuan pidana sebelumnya- Red.), WTS tak bisa dihukum dengan pasal 505, karena belum diatur KUHP." Kecaman juga datang dari Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana Indonesia, Prof. Dr. Muladi. "Vonis itu termasuk mismatch, pemidanaan yang tidak tepat," ujar dekan Fakultas Hukum Undip itu kepada Heddy Lugito dari TEMPO. Pasal 505 sendiri, katanya, peninggalan kolonial yang ditujukan untuk memberantas gelandangan. "Di alam merdeka, tak selayaknya pasal itu dikumandangkan di pengadilan. Sebab, bertentangan dengan UUD kita yang menyebut fakir miskin dan orang telantar dipelihara negara," tutur Dr. Muladi. Belum dicantumkannya pasal pelacuran dalam KUHP tak berarti pelacur bisa seenaknya. Menurut Muladi, dalam menangani perkara, hakim jangan cuma berpegang pada KUHP, tapi juga memakai perundang-undangan lainnya, dalam hal pelacur memakai perda, misalnya. "Perda itu kan untuk mengisi kekosongan KUHP kita. Pakai, dong." Anggota tim penyusun rancangan KUHP itu mengingatkan, pasal 505 dan 504 termasuk pasal yang akan dihapus. Artinya, untuk gelandangan dan pengemis saja tak akan dipakai lagi, apalagi untuk pelacur. Aries Margono dan Ahmad Taufik (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini