Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Penggerebekan Klinik Aborsi Raden Saleh, Pengamat: Diduga Dia Residivis

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri menduga tersangka dalam kasus klinik aborsi dr. SWS di Jalan Raden Saleh Cikini adalah seorang residivis.

18 Agustus 2020 | 21.06 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Konferensi pers pengungkapan praktik aborsi di Klinik dr. SWS di Polda Metro Jaya pada Selasa, 18 Agustus 2020. Tempo/M Yusuf Manurung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menduga tersangka dalam kasus klinik aborsi dr. SWS di Jalan Raden Saleh Cikini adalah seorang residivis.

Reza menduga dr Sarsanto alias SWS pernah dihukum untuk kasus yang sama, yaitu praktik aborsi ilegal. Reza menemukan nama dokter Sarsanto terlibat dalam kasus aborsi di Jakarta Timur pada pemberitaan sebuah media massa.     

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Nama yang sama ternyata juga pernah tersangkut kasus praktik aborsi ilegal pada tahun 2000 silam,” kata Reza ketika dihubungi di Jakarta, Selasa 18 Agustus 2020.

Reza mempertanyakan bagaimana proses hukum dalam menangani residivisme praktik aborsi ini. Dia membandingkannya dengan UU 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Predator seksual yang korbannya lebih dari satu, mengacu UU tersebut, bisa dikenai ancaman hukuman mati. Tapi (oknum) dokter jagal dengan korban ratusan bahkan mungkin ribuan janin (manusia!), ancaman pidananya hanya sepuluh tahun. Tanpa pemberatan,” ujarnya dalam pesan singkat kepada Tempo, Selasa, 18 Agustus 2020.

Baca juga: Klinik Aborsi Diungkap karena Tersangka Pembunuh Bos Roti Pernah Jadi Pasien

Reza juga membandingkan proses berpikir pelaku aborsi dengan proses berpikir pelaku pembunuhan berencana terhadap anak yang sudah dilahirkan. Dokter yang melakukan praktik aborsi ilegal maksimal dihukum sepuluh tahun, sementara pelaku pembunuhan anak bisa dijatuhi hukuman mati.

Reza menyayangkan tidak ada pasal pemberatan yang dapat mengganjar residivis kasus aborsi ilegal atas perbuatannya. Secara umum ia menilai, residivisme terjadi karena penghukuman yang sudah diterapkan kepada terpidana gagal memunculkan efek jera. Kegagalan tersebut, bisa disebabkan karena penilaian need and risk di sistem lapas tidak tepat.

“Padahal penilaian tersebut merupakan pintu masuk untuk menentukan ragam program yang tepat bagi terpidana agar tidak menjadi residivis,” kata Reza.

Ia juga mencatat bahwa kelemahan sistem tersebut bisa menjadi alasan mengapa pelaku residivis bisa berkeliaran, dan dalam kasus ini, memiliki praktik aborsi yang diduga ilegal.

Kasus klinik aborsi ini terungkap ketika polisi menggerebek klinik dr. SWS di Jl. Raden Saleh I, Jakarta Pusat pada Senin, 3 Agustus 2020, menangkap sebanyak 17 orang tersangka. Penggerebekan tersebut berawal dari penyidikan polisi atas kasus pembunuhan berencana bos toko roti, tersangka Sari Sadewa alias dalang pembunuhan tersebut pernah menjadi pasien dr. SWS.

Tercatat bahwa klinik aborsi tersebut melayani 2.638 pasien terhitung dari Januari 2019 hingga 10 April 2020 dan mendulang keuntungan hingga Rp 70 juta per bulan.

WINTANG WARASTRI | TD

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus