Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Perwakilan masyarakat adat Awyu dan Moi Sigin kembali menyambangi gedung Mahkamah Agung (MA), pada Senin pagi, 22 Juli 2024. Kedatangan kali kedua mereka dari Papua Selatan dan Papua Barat Daya ini masih dalam rangka memperjuangkan hutan adat yang terancam oleh sejumlah perusahaan sawit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senin pekan ini, mereka menyerahkan petisi dukungan untuk perjuangan masyarakat adat suku Awyu dan Moi Sigin. Tak hanya itu, mereka juga mempertanyakan perkembangan perkara kasasi yang diajukan pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan subsuku Moi Sigin ke MA. Masing-masing gugatan kasasi diajukan pada Maret dan awal Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Hingga hari ini, kami belum mendapatkan informasi tentang nomor registrasi perkara kasasi yang kami masyarakat Awyu dan Moi Sigin daftarkan ke MA," kata perwakilan suku Awyu, Hendrikus Woro dalam keterangan tertulis pada Senin.
Mereka mempertanyakan apakah MA memang memproses gugatan tersebut atau tidak. "Kami sampai dua kali datang jauh-jauh dari Papua, karena menunggu putusan yang menyelamatkan hutan adat kami,” kata Hendrikus.
Gugatan Hendrikus Woro menyangkut izin kelayakan lingkungan hidup yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Papua untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL). Perusahaan sawit itu mengantongi izin lingkungan seluas 36.094 hektare yang berada di hutan adat marga Woro, yakni bagian dari suku Awyu.
Selain kasasi perkara PT IAL ini, sejumlah masyarakat adat Awyu juga tengah mengajukan kasasi atas gugatan PT Kartika Cipta Pratama dan PT Megakarya Jaya Raya. Dua perusahaan sawit tersebut juga sudah dan akan berekspansi di Boven Digoel, atas keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Putusan MA akan menentukan nasib hutan hujan seluas 65.415 hektare di konsesi kedua perusahaan itu.
Kemudian, sub suku Moi Sigin melawan PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan membabat 18.160 hektare hutan adat untuk perkebunan sawit. PT SAS menggugat pemerintah pusat karena mencabut izin pelepasan kawasan hutan dan izin usaha mereka. Masyarakat Moi Sigin melawan dengan menjadi tergugat intervensi dalam perkara tersebut.
“Kami menerima 253.823 tanda tangan dalam petisi dukungan untuk suku Awyu dan Moi, yang hari ini akan diserahkan langsung ke MA. Petisi ini dan gerakan #AllEyesOnPapua beberapa saat lalu menjadi bukti kepedulian banyak orang pada perjuangan orang Awyu dan Moi,” kata anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Tigor Hutapea, pada Senin.
Anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Papua dari Greenpeace Indonesia, Sekar Banjaran Aji, menyebut hutan adat adalah warisan leluhur yang telah menghidupi masyarakat Awyu dan Moi Sigin turun-temurun. Mereka bergantung kepada hutan yang menjadi tempat berburu dan ‘supermarket’ untuk berbagai sumber makanan hingga obat-obatan. Di samping itu, hutan juga merupakan identitas sosial dan budaya mereka sebagai masyarakat adat.
Dia menekankan, penyelamatan hutan Papua bukan hanya akan memperkuat benteng kita menghadapi krisis iklim dan kepunahan biodiversitas. Lebih dari itu, juga akan menjaga kekayaan alam, sosial, dan budaya. "Hari ini kita menyaksikan solidaritas mengalir begitu deras untuk Papua, selanjutnya giliran MA menggunakan keyakinan dan hati nuraninya berpihak pada masyarakat adat dan hutan Papua,” kata Sekar.
Perempuan adat Moi Sigin, Diana Klafiyu, berterima kasih atas dukungan yang mengalir untuk perjuangan mereka. Dia mengapresiasi masyarakat yang telah menandatangani petisi. "Harapan saya, semoga hakim mengambil keputusan mendukung kami masyarakat adat suku Moi dan suku Awyu,” ujarnya.
Ketika masyarakat Awyu dan Moi Sigin menyerahkan petisi, hadir pula beberapa figur publik. Ada Melanie Subono, Farwiza Farhan, Kiki Nasution, dan Pendeta Ronald Rischard Tapilatu. Kemudian, ada pula kelompok anak muda seperti dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Extinction Rebellion, Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), hingga Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL).
Mereka mengenakan baju adat dari berbagai daerah dan membawa spanduk dan poster bertuliskan sejumlah pesan seperti “All Eyes on Papua” dan “Selamatkan Hutan Adat dan Manusia Papua."