Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development atau INFID, Iwan Misthohizzaman menyatakan, kasus perampasan hutan adat Papua oleh korporasi yang memanfaatkan izin negara bisa dikategorikan sebagai ekosida. Menurut dia, perampasan hutan adat Papua itu merupakan tindakan pembunuhan alam dan kejahatan hak asasi manusia atau HAM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ekosida haruslah dipandang sebagai bentuk serangan yang sistematis, agresif, masif, dan terencana terhadap lingkungan," kata Iwan dalam keterangan tertulis, Rabu, 5 Juni 2024. Ia mengatakan, praktik ekosida berpotensi berdampak terhadap rusaknya daya dukung lingkungan bagi kehidupan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menyebut setidaknya ada tiga unsur ekosida dilihat dari perubahan iklim hari-hari ini. Pertama, eksploitasi lingkungan hidup yang mengarah pada tindakan pemusnahan sumber kehidupan manusia. Kedua, pemusnahan itu berkaitan dengan praktik penghilangan hak hidup manusia. Ketiga, menjadi bagian dari eksploitasi sumber daya alam yang mengarah pada keterancaman hidup manusia, di masa sekarang maupun masa mendatang.
"Pada kasus perampasan hutan di Papua, ketiga unsur ekosida itu terpenuhi," ujarnya. Sebab, ia menilai bahwa hutan di Papua itu sebagai sumber penghidupan dan peradaban masyarakat adat, yang tidak bisa dilepas secara paksa.
Selain itu, ia mengungkapkan bahwa kasus perampasan hutan adat Papua ini cerminan dari praktik bisnis yang tidak bertanggung jawab dan tidak sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Adanya praktik ekosida ini, menurut dia, merupakan bentuk nyata gagalnya rezim pemerintahan dan sistem sosial dan ekonomi negara.
"Sehingga semuanya menjadi tumpang tindih, lemah, dan penuh korupsi," ujarnya. Apabila izin operasional perusahaan sawit di Papua tidak dibatalkan, ia mengatakan kerugian akan dialami oleh masyarakat adat setempat, seperti kehilangan ruang ruang hidup, hingga rusaknya habitat flora dan fauna endemik Papua.
Karena itu, INFID mendesak Mahkamah Agung untuk tidak menjadi bagian dari aktor ekosida di hutan Papua tersebut. Organisasi masyarakat sipil ini meminta kepada pemerintah agar mencabut izin koorporasi dan mengembalikan wilayah hutan adat ke masyarakat adat Papua.
Sementara itu, Program Officer Bidang HAM dan Demokrasi INFID Ari Wibowo menilai, kasus perampasan hutan adat Papua ini bagian dari masalah penegakan HAM di Indonesia. Ia berpendapat, kasus tersebut berlawanan dengan tiga pilar United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights, yaitu perlindungan HAM oleh negara, penghormatan HAM oleh perusahaan, dan pemulihan bagi korban HAM.
"Kasus ini berlawanan dan menambah bukti bahwa korporasi dan pemerintah pusat dengan komitmennya yang lemah merupakan pelanggar HAM yang paling banyak diadukan," kata Ari.
Adapun wilayah hutan adat yang diperjuangkan oleh masyarakat adat suku Awyu di Papua Selatan dan suku Moibdi Papua Barat Daya, merupakan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua. Selain itu, di wilayah tersebut juga menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Kasus ini kemudian memunculkan tagar All Eyes on Papua di media sosial.
Adanya operasi dari PT IAL dan PT SAS berpotensi menyebabkan deforestasi yang akan melepas 25 juta ton CO2 ke atmosfer dan memperburuk dampak dari krisis iklim. Padahal, wilayah tersebut merupakan hak konstitusional warga negara serta masyarakat adat yang dilindungi oleh UUD 1945.
Karena itu, INFID mendesak Presiden Jokowi, Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, dan kementerian atau lembaga negara untuk berkomitmen memenuhi HAM masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi.