Sengketa Hotel Sophy tak kunjung tuntas. Padahal, hotel itu sudah telanjur dilelang. BERPERKARA pada zaman sekarang ibarat memasuki jalan tanpa ujung. Buktinya, hingga kini Djojo Abi Soesanto alias Ayok tak kunjung bisa menikmati hasil usahanya selama bertahun-tahun memperkarakan Hotel Sophy di Jalan Bali 29, Surabaya. Padahal, dalam perkara itu -- melawan adik kandungnya sendiri, Yudi Sudradjat Juwono -- Ayok sudah mengantungi kemenangan sampai ke Mahkamah Agung. Bahkan keputusan peninjauan kembali (PK) Ayok juga dimenangkan. Tak hanya itu. Berdasarkan keputusan yang telah berkekuatan hukum itu, dan juga perintah eksekusi Mahkamah Agung, pada Jumat pekan lalu, hotel tersebut seharusnya sudah dikosongkan. Namun, semua itu bisa batal hanya gara-gara selembar surat dari Mahkamah Agung (MA). "Karena ada dugaan dalam perkara itu terjadi tindak pidana pemalsuan wasiat, yang dulu belum diketahui," kata Wakil Ketua MA, Purwoto S. Gandasubrata. Pemalsuan? Sengketa ini merupakan bagian dari warisan mendiang pasangan Raden Ngabehi Soedewo dan Raden Ayu Sofia. Berdasarkan akta Notaris R. Soebiono Danoesasro, tanggal 20 Januari 1983, ketujuh anak mendiang masing-masing memperoleh berbagai harta peninggalan mendiang. Khusus Hotel Sophy, menurut akta itu, harus dibagi dua antara Ayok dan si adik, Yudi. Belakangan, Ayok dan Yudi cekcok soal pengelolaan dan kepemilikan hotel tersebut. MA, pada 30 Agustus 1986, memenangkan Ayo. Menurut MA, hotel itu atau hasil penjualan harus dibagi dua setelah dikurangi uang judi untuk merenovasi, sebesar Rp 55 juta. Tapi Yudi belum menyerah. Ia mengajukan PK, dengan alasan gugatan Ayok itu cuma tipu muslihat. Sebab, menurut Yudi, sebelum kedua orangtuanya meninggal dan sebelum akta Soebiono keluar, hotel itu sudah diakta-notariskan atas namanya pada 1961. Pada 30 Maret 1989, MA menolak PK Yudi. Mahkamah, sesuai dengan isi akta Soebiono, tetap menganggap hotel itu sebagai warisan yang belum dibagi habis. Hal itu, menurut MA, berdasarkan testamen Nyonya Sofia (agar hotel itu dibagi dua) tanggal 9 September 1976 dan akta Soebiono tadi. Pada Oktober 1989 dan Maret 1990, MA memerintahkan Pengadilan Negeri Surabaya melaksanakan keputusan tersebut. Berdasar itu, pada November 1990, pengadilan melelang hotel tersebut, yang kemudian dimenangkan Prawiro Tedjo, dengan harga Rp 660 juta. Toh Yudi tetap enggan mundur. Ia mengajukan keberatan ke MA atas penetapan pengadilan, yang akan mengosongkan hotel itu pada 26 April 1991. Alasannya, masih banyak perkara hotel itu yang masih diproses peradilan. Mulai dari tindak pidana keterangan palsu -- sehingga Ayok sempat ditahan polisi selama 11 hari -- perlawanan atas eksekusi, sampai gugatan terhadap lelangnya. Bahkan Yudi juga menggugat soal keabsahan akta Soebiono itu -- perkaranya kini di tingkat kasasi. Sampai tingkat banding, Yudi memenangkan perkara ini. Pengadilan membatalkan akta Soebiono itu. Jadi, "Ayok sama sekali tak punya dasar kepemilikan hotel itu," kata pengacara Yudi, Abd. Basuki. Ternyata, berbeda dengan sikap sebelumnya, kali ini MA mengabulkan keberatan tersebut. Alasannya, seperti kata Purwoto, karena masih banyaknya perkara tadi -- termasuk pemalsuan wasiat. Walhasil eksekusi tertunda. Keruan saja, pihak Ayok berang. "Bagaimana bisa surat perintah dari Mahkamah Agung itu berbeda dengan dua surat sebelumnya?" kata pengacara Ayok, Slamet. Tak kalah kesalnya, ya, pemenang lelang itu. Sebagai pembeli atau pihak ketiga yang beritikad baik, si pemenang seharusnya memang dilindungi. "Kalau begini keadaannya, masyarakat bisa tak percaya lagi dengan pengadilan," ujar pengacara Prawiro Tedjo, Ernanto Soedarno. Lagi pula, berbagai perkara bisa saja lahir lagi dari sengketa hotel itu. Lantas sampai kapan ada kepastian hukum? Hp. S., Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini