ITU kecemburuan profesional,'' ujar Profesor Donald E. Tyler kepada TEMPO, tentang tuduhan bahwa ia melakukan penyelundupan. Ia mencurigai ada pihak yang cemburu setelah penemuan fosil tengkorak pithecanthropus erectus yang ditaksir berumur sejuta tahun itu (TEMPO, 23 Oktober 1993). Tyler menolak menyebut nama. ''Cemburu itu didasarkan kekhawatiran siapa yang akan memperoleh kredit atas penemuan itu,'' katanya. Penemuan fosil di dunia antropologi umumnya memang penduduk lokal, tapi yang mendapatkan kredit adalah si penelitinya. Untuk memperoleh kredit, orang bisa melakukan apa saja. Tapi kecemburuan profesional sebetulnya juga biasa di kalangan antropolog. Yang tidak biasa, menurut Tyler, campur tangan polisi dan cerita memojokkan dirinya. Perkara penyelundupan itu ia dengar dari seorang pejabat kedutaan AS di Jakarta. ''Itu tidak masuk akal,'' kata Tyler. Lalu siapa penyelundupnya? Mungkinkah bekas gurunya, Profesor Grover N. Krantz? Tyler juga menggeleng. Menurut ahli antropologi ragawi Profesor Teuku Jakob kepada koran Republika, bulan silam Krantz mengajukan permohonan untuk rencana penelitian fosil Sangiran di laboratorium paleoantropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Namun, permohonan itu tidak dikabulkan karena Jakob mengaku sedang sibuk. Tidak jelas apakah kemudian Krantz tetap datang ke Indonesia. Tyler mengaku kenal baik dengan Nini. Dan ia tahu, fosil diperjual-belikan dengan bebas. ''Bahkan hampir semua toko barang antik di Yogya mempunyai fosil untuk dijual,'' katanya. Seorang pejabat KBRI di Washington menilai pemberian izin Tyler ke Indonesia karena tidak berdayanya Indonesia menghadapi negara superkuat. ''Ada peraturan, kenapa dilanggar sendiri?'' katanya. Sebelum pulang ke negaranya, konon, Tyler sudah mengantongi paspor baru yang dikeluarkan Kedubes AS di Jakarta. Apakah paspor Tyler ditahan karena masih diperiksa polisi? Tyler sendiri menganggap perkaranya di Indonesia sudah selesai. ''Saya sudah bertemu dengan pejabat tinggi pemerintah Indonesia, dan semuanya sudah beres,'' katanya. Karena itu, tidak ada halangan lagi baginya untuk kembali ke Indonesia. Kini ia sedang mempersiapkan kerja sama penelitian antara Universitas Idaho dan Institut Teknologi Bandung serta Universitas Padjadjaran, Bandung. SPR dan Bambang Harymurti (Washington, D.C.)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini