Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Gerakan Non-Blok Masih Relevan?

19 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makarim Wibisono Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika Departemen Luar Negeri

Belum lama ini Gerakan Non-Blok menjadi topik diskusi hangat di Afrika Selatan. Banyak persoalan mendasar Gerakan Non-Blok (GNB) dipertanyakan: menuju ke arah mana GNB di tahun-tahun mendatang bergerak? Di bidang apa program kegiatan dan fokus perhatian GNB akan ditujukan? Prioritas apa yang akan dikerjakan oleh GNB untuk mengaktualkan peranannya di masa yang akan datang? Bagaimana mengusahakan agar keputusan-keputusannya dirasakan menggigit dan mengikhtiarkan agar kesepakatan para anggota GNB dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di berbagai badan internasional dan regional yang berdampak langsung pada keamanan dan kesejahteraan negara berkembang yang menjadi anggotanya?

Karena permasalahan itulah, Afrika Selatan, Ketua GNB saat ini, kemudian menyelenggarakan pertemuan brainstorming (diskusi pencerahan) di Arrabela Resort dekat Cape Town, Afrika Selatan, 12-14 Desember 2002 lalu. Pertemuan ini dihadiri oleh para wakil negara kunci anggota GNB seperti Aljazair, Kolumbia, Kuba, India, Indonesia, Jamaika, Yordania, Malaysia, Mozambik, Zimbabwe, dan Sekretaris Jenderal Liga Arab. Sebelumnya, Afrika Selatan juga menyelenggarakan pertemuan serupa di Zimbali, April 2002, dengan maksud menggodok berbagai pemikiran segar guna disumbangkan dalam proses KTT Kuala Lumpur. Harapannya, agar Deklarasi Kuala Lumpur dan hasil keputusan KTT lainnya dapat diperkaya dengan hasil diskusi tersebut. Maka, pertemuan di Arrabela dirancang agar bersifat informal, bebas, menampung pemikiran mendalam mengenai keadaan GNB sebenarnya.

Tidak dapat dimungkiri bahwa setiap langkah dalam memikirkan masa depan suatu organisasi atau gerakan politik berpijak awal pada usaha mawas diri terlebih dahulu. Sehingga, tidak mengherankan bila Amr Moussa, Sekretaris Jenderal Liga Arab yang mantan Menteri Luar Negeri Mesir, membuka cakrawala peserta diskusi dengan satu pertanyaan: "Apakah kini Gerakan Non-Blok masih relevan?" Pertanyaan ini dihubungkan dengan fakta bergesernya pola konstelasi politik global dari sistem bipolar di zaman Perang Dingin menuju sistem unipolar dengan runtuhnya Tembok Berlin serta kebesaran Uni Soviet berikut dengan jaringan politik, ideologi, intelijen, ekonomi, dan keampuhan militernya. Dengan tiadanya lagi dua kutub politik dunia yang saling berseteru, masih perlukah GNB dilestarikan, ataukah tidak lebih baik bila gerakan politik ini diberi label nama yang lebih sexy seperti "Gerakan untuk Demokrasi, Keamanan, dan Pembangunan", dengan upaya memberi roh baru, penekanan baru, serta arah politik baru menyesuaikan diri dengan realitas politik global yang baru?

Pertanyaan segar ini menggoda, tapi sekaligus menyesatkan. Dari perspektif sejarah, memang benar GNB dibangun para pendirinya (the founding fathers) karena memuncaknya Perang Dingin di akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Fakta-fakta seperti Containment Policy yang dijalankan Amerika Serikat telah diimbangi Uni Soviet dengan pembentukan Pakta Warsawa, sehingga dunia ketiga dibuat menjadi terkotak-kotak. Persaingan makin menegangkan dengan memuncaknya perlombaan senjata (arm race), termasuk pengembangan hulu ledak nuklir berikut dengan missile sebagai alat peluncurnya. Kehancuran planet akibat Perang Dunia III menjadi bayangan menakutkan.

Secara politik, ruang gerak negara berkembang?yang baru berhasil membebaskan dirinya dari cengkeraman kolonialisme?semakin sempit dengan pernyataan-pernyataan politik negara adidaya. Guna mengatasi tekanan politik global ini, para pemimpin Selatan telah berkumpul di Bandung, April 1955, dalam Konferensi Asia-Afrika untuk merumuskan platform politik bersama dalam mengatasi gejala pahit tersebut. Dasasila Bandung kemudian menjadi dokumen sangat populer di Asia, Afrika, ataupun Amerika Latin dan dijadikan pegangan politik untuk bertahan bersama dalam konteks itu. Kebersamaan politik inilah yang kemudian mendorong lahirnya Konferensi Non-Blok I di Yugoslavia tahun 1961.

Dari konsep politik yang tecermin dalam orasi-orasi politik para tokoh pendiri GNB waktu itu, sangat jelas ditandaskan sejak awal kelahirannya, raison d'etre GNB tidak semata-mata untuk bertahan dalam konteks Perang Dingin. GNB dimaksudkan juga untuk dapat menjawab bagaimana mengentaskan negara berkembang dari keterbelakangan dan kemiskinan, mengatasi ketimpangan dunia, menghentikan ketidakadilan, dan mengakhiri dominasi dalam proses pengambilan keputusan di tingkat global. Korelasi ini dibuktikan dengan keberhasilan GNB memperjuangkan penghapusan apartheid, yang minimal kaitannya dengan konteks politik bipolar.

Dunia setelah 42 tahun kelahiran Dasasila Bandung memasuki era globalisasi dan unipolarisasi. Baik Blok Barat maupun Blok Timur telah wafat dan menjadi almarhum. Keperluan untuk berhati-hati dalam "mendayung di antara dua karang" menjadi tipis. Globalisasi dan revolusi informasi menjadikan negara-negara semakin terikat satu sama lain dalam suatu global village. Meskipun demikian, berbagai masalah yang menjadi keprihatinan para pendiri GNB masih tetap eksis seperti dahulu. Contohnya, kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan dunia, ketidakadilan, dan ketidaksamaan (dominasi politik) dalam abad ke-21 ini masih menjadi fakta sehari-hari.

Sebagai ilustrasi, meskipun banyak orang di negara maju membelanjakan uang untuk keperluan konsumtif sampai lebih dari US$ 5.000 sehari, secara kontradiktif lebih dari 1 miliar penduduk miskin dunia (1/6 total penduduk) masih harus hidup dengan US$ 1 sehari dan lebih dari 3 miliar penduduk miskin dunia masih hidup dengan US$ 2 sehari. Perbandingan distribusi kekayaan negara kaya dan miskin makin buruk secara progresif, yaitu 9:1 tahun 1961, 22:1 tahun 1969, 35:1 tahun 1979, dan menjadi 60:1 di tahun 2002. Ini berarti negara kaya menjadi semakin kaya dan negara miskin menjadi semakin miskin secara drastis. Bantuan luar negeri dalam bentuk overseas development assistance (ODA) semakin lama semakin sedikit.

Laju penanaman modal asing?yang dianggap sebagai sumber pembiayaan pembangunan di negara berkembang?tidak merata pembagiannya. Laporan UNCTAD mencatat lebih dari 70 persen investasi bergerak dari negara-negara maju ke negara-negara kaya yang lain. Sisanya baru tersebar ke seluruh dunia. Kesenjangan digital dalam era yang disebut sebagai knowledge-based global society makin mencemaskan karena lebih dari 70 persen pengguna internet?yang dipercaya sebagai penunjang pembangunan dan kemajuan?hidup dan terpusat di AS dan Kanada, sedangkan 30 persen di bagian dunia lainnya. Semua jaringan telepon yang menghubungkan semua kota besar di Benua Afrika berjumlah jauh lebih kecil dari jumlah sambungan telepon yang tersedia di Tokyo. Kenyataan ini sangat memprihatinkan negara berkembang. Market forces jelas tidak mampu mengatasi ketimpangan dunia ini.

Di bidang politik, perumusan resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB No. 1441 mengenai Irak semata-mata hanya dirundingkan di antara sesama lima negara anggota tetap DK PBB, sedangkan kesepuluh negara anggota tidak tetap DK PBB lainnya hanya diminta mendukungnya. Jelas tidak ada kesetaraan dalam proses ini. Dari fakta yang ada dapat disimpulkan, sepanjang kemiskinan, keterbelakangan, ketimpangan, ketidakadilan, dan ketidakmerataan masih tetap ada, keberadaan GNB masih terus relevan. Dalam keadaan dunia yang tidak simetris ini, bagaimana mungkin membayangkan dunia tanpa adanya GNB.

Namun, untuk dapat menjadikan GNB kukuh kembali dan memiliki peranan yang credible dan respectable, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Secara institusional, perlu dibentuk mekanisme pendukung yang menyediakan memori institusional dan jasa administrasi serta manajemen bagi Ketua GNB dalam menjaga kinerja kepemimpinannya. Organisasi membutuhkan guiding principles yang dapat mengatur ketertiban gerakan politik ini, termasuk meningkatkan koordinasi dengan G-77 dan berbagai kekuatan lain yang memperjuangkan kepentingan negara selatan, termasuk civil society. GNB harus mampu menghasilkan keputusan yang terfokus, responsif, dan aktual sesuai dengan tema dan topik yang berkembang, dalam waktu cukup singkat: tetap berdasar konsensus, tapi tidak harus selalu berkonotasi unanimity atau aklamasi. GNB juga harus lebih memusatkan perhatian pada isu-isu yang dapat mempersatukan dan menghindari berlama-lama terlibat dalam berbagai masalah kontroversial yang dapat memecah belah anggotanya. GNB harus proaktif, kreatif, dan terlibat secara konstruktif dalam proses penyelesaian sengketa di negara anggotanya secara damai.

Singkat kata, untuk dapat senantiasa memelihara relevansi GNB, gerakan politik ini harus mampu meningkatkan efektivitas, efisiensi, produktivitas, dan kualitas produk-produknya sebagai gerakan modern yang berdaya dan berhasil guna maksimal serta dapat dirasakan manfaatnya oleh para anggotanya, stakeholders, dan masyarakat internasional. Mengenai nama baru GNB, sebenarnya tidak terlalu perlu dipertanyakan. Kelompok 77, yang sekarang beranggotakan lebih dari 133 negara, tetap menggunakan nama lama tetapi tetap dikenal sebagai forum negosiasi kepentingan negara-negara berkembang. Jadi, jatidiri lebih perlu daripada nama baru. Shakespeare dahulu menulis: "What is in a name? If it is rose, then it is rose and it smells like rose."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus