Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Polemik MK Jadi 'Mahkamah Kalkulator' Kembali Mencuat

Narasi MK menjadi 'Mahkamah Kalkulator' kembali menjadi polemik. Begini Yusril menanggapi pernyataan Mahfud Md.

26 Maret 2024 | 17.31 WIB

Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin 25 Maret 2024. Tim Pembela Prabowo-Gibran yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan diri untuk menghadapi gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di MK. ANTARA FOTO/ Erlangga Bregas Prakoso
Perbesar
Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Senin 25 Maret 2024. Tim Pembela Prabowo-Gibran yang dipimpin oleh Yusril Ihza Mahendra mendaftarkan diri untuk menghadapi gugatan sengketa Pilpres 2024 yang diajukan kubu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di MK. ANTARA FOTO/ Erlangga Bregas Prakoso

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut tiga Mahfud Md mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi atau MK bukan lagi ‘Mahkamah Kalkulator’ dalam menjalankan persidangan sebuah perkara. Pernyataan Mahfud ini mendapat respons dari Ketua Tim Pembela Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Yusril Ihza Mahendra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Menukil Tempo, Yusril mulanya menyitir istilah dalam ilmu fiqih, nasikh wal mansukh, yakni pendapat awal dan pendapat akhir. Pendapat ahli hukum atau ahli fiqih, kata dia, bisa berubah karena situasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jadi kalau itu diucapkan pada 2014, itu betul. Tapi setelah berlakunya UU Nomor 7 Tahun 2017, telah ada pembagian kewenangan," kata Yusril di Gedung MK, Jakarta Pusat pada Senin malam, 25 Maret 2024.

Beleid yang dimaksud Yusril adalah Undang-Undang Pemilu. Dalam regulasi tersebut, kata dia, telah diatur pembagian kewenangan persoalan-persoalan yang timbul selama penyelenggaraan Pemilu.

"Jadi kalau masalahnya misal persyaratan calon, memenuhi atau tidak, ijazahnya palsu atau tidak, dan sebagainya itu ranah administratif yang dibawa ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum)," tutur Yusril.

Jika tidak puas dengan Bawaslu, Yusril mempersilakan pemohon untuk maju ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Menurut dia, permohonan ini bahkan bisa dibawa hingga tingkat Mahkamah Agung atau MA.

"Kalau ada pelanggaran pidana itu ranahnya Gakkumdu (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) yang akan selesaikan," ucap Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini.

Jika Gakkumdu mengatakan ada unsur pidananya, kata dia, dugaan pelanggaran itu bisa dilimpahkan ke aparat penegak hukum. Setelah itu, prosesnya bisa masuk ke sengketa hasil Pemilu di MK.

"Jadi pendapat itu ada namanya qaul qadim dan qaul jadid dalam ilmu fiqih, ada pendapat lama dan pendapat baru," ujar Yusril. "Saya tidak menyalahkan Pak Mahfud, pak Mahfud kan Kyai, paham betul nasikh wal mansukh dan qaul jadid."

Sebelumnya, Mahfud Md mengatakan bahwa MK bukan lagi 'Mahkamah Kalkulator' dalam menjalankan persidangan sebuah perkara.

"Di dalam pengalaman kita, sudah berkali-kali menjadikan MK itu bukan lagi ‘Mahkamah Kalkulator’," kata Mahfud di kawasan Gondangdia, Jakarta, Kamis, 21 Maret 2024. 

Menurut Mahfud, putusan MK pada 2008 adalah pertama kali masyarakat mengetahui bahwa MK bukan ‘Mahkamah Kalkulator’. Adapun salah satu bukti MK bukan sekadar ‘Mahkamah Kalkulator’ adalah terdapatnya istilah TSM atau terstruktur, sistematis, dan masif dalam sistem hukum nasional.

"Sampai sekarang istilah TSM itu sendiri masuk dalam hukum kita. Dulu itu tidak ada. Artinya, MK bukan sekadar Mahkamah Kalkulator," ujarnya.

Pengamat pernah khawatirkan ini

Berdasarkan catatan Tempo, Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Violla Reininda, pernah mengkhawatirkan MK menjadi ‘Mahkamah Kalkulator’. Hal ini dikatakannya terkait usulan mempersingkat mekanisme waktu penanganan sengketa Pemilu 2024.

Menurut Violla, jika jadwal sengketa hasil pemilu dipotong lagi, ada kekhawatiran hasilnya tidak substantif.

“Nanti kembali lagi MK menjadi mahkamah kalkulator yang hanya menghitung suara saja,” kata Violla dalam diskusi, Ahad, 24 Oktober 2021.

Violla berujar, waktu penyelesaian sengketa pemilu yang ada saat ini saja sudah banyak pihak merasa pemeriksaannya belum cukup mendalam.

Bahkan, kata dia, MK juga merasa seperti itu. Jadwal yang singkat dapat membuat MK sulit mengadakan pembuktian mendalam.

Menurut Violla, yang sebaiknya dipersingkat adalah jadwal kampanye, bukan jadwal penyelesaian sengketa pemilu.

Warta teranyar, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan pihaknya telah membahas teknis penanganan perkara PHPU Pilpres mengingat memiliki masa kerja 14 hari. Karena itu, diatur juga teknis agar proses penanganan tidak lewat dari batas tersebut.

"Kita tentukan, misalnya, jika ada yang mau mengajukan ahli, itu harus diterangkan ahli A mau bicara apa. Kalau mau mengajukan saksi, saksi A itu mau bicara apa agar jelas dan antar-saksi tidak berhimpitan satu sama lain," kata Saldi ketika ditemui di Gedung MK, Jakarta, Senin, 25 Maret 2024.

Saldi pun menyebut teknis-teknis yang telah ditentukan oleh MK sudah disampaikan kepada para pemohon agar bisa dijalankan.

Saldi menegaskan penanganan perkara PHPU Pilpres akan diselesaikan dalam 14 hari karena sudah tercatat dalam aturan.

"Secara hukum harus diselesaikan 14 hari kerja. Ini bukan soal yakin atau tidak, tapi harus maksimal 14 hari kerja," kata dia.

Adapun MK telah menerima permohonan gugatan sengketa pilpres dari paslon nomor urut satu yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor urut tiga Ganjar Pranowo-Mahfud Md terkait perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU atau sengketa Pilpres 2024 pada pekan lalu.

Tim Hukum paslon 02 Prabowo-Gibran juga telah mendaftar menjadi pihak terkait pada Senin kemarin, 25 Maret 2024.

AMELIA RAHIMA | FRISKI RIANA | ANTARA

Amelia Rahima Sari

Alumnus Antropologi Universitas Airlangga ini mengawali karire jurnalistik di Tempo sejak 2021 lewat program magang plus selama setahun. Amel, begitu ia disapa, kembali ke Tempo pada 2023 sebagai reporter. Pernah meliput isu ekonomi bisnis, politik, dan kini tengah menjadi awak redaksi hukum kriminal. Ia menjadi juara 1 lomba menulis artikel antropologi Universitas Udayana pada 2020. Artikel yang menjuarai ajang tersebut lalu terbit di buku "Rekam Jejak Budaya Rempah di Nusantara".

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus