Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kuitansi dobel di balai sidang

Pn jak-pus memvonis hukuman 1 tahun penjara bagi dr. alhambra rachman, ka biro kerja sama luar negeri departemen pertanian. dituduh korupsi uang penyelenggaraan konperensi fao sebesar rp 68 juta.

21 Maret 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KORUPSI biaya seminar atau konperensi, sebenarnya, tak jarang terjadi. Tapi kasus serupa itu sampai diperiksa pengadilan bisa dibilang terjadi untuk pertama kali. Kamis dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahkan sudah menjatuhkan vonis satu tahun untuk Dr. Alhambra Rachman, 59, tersangka korupsi uang penyelenggaraan konperensi Food Agriculture Organiation (FAO) se-Asia-Pasifik 1982, di Balai Sidang, Senayan, Jakarta. Pejabat teras Departemen Pertanian itu dianggap terbukti menyulap sewa Balai Sidang, Jakarta (BSJ), tempat konperensi dari Rp 57 juta menjadi Rp 125 juta. Karena itu, majelis hakim juga mewajibkan ketua penyelenggara konperensi itu mengembalikan uang tak wajar tadi, Rp 68 juta. Yang menarik dari kasus korupsi itu adalah saling tuding antara Alhambra, Kepala Biro Kerja Sama Luar Negeri Departemen Pertanian, dan Direktris BSJ, Nyonya Mia Soehodo. Menurut Alhambra, ia telah membayar dengan uang kontan sebesar tagihan dari BSJ, Rp 125 juta, dengan tiga kali pembayaran: Rp 20 juta, kemudian Rp 20 juta, dan Rp 85 juta. Sedangkan Nyonya Mia Soehodo mengaku hanya menerima Rp 57 juta. Anehnya, semua pembayaran itu, baik versi Alhambra maupun versi Mia, ada kuitansinya. "Begitu banyak kuitansi yang diajukan ke sidang, padahal hanya ada satu pembayaran," ujar Hakim Sugianto, yang ikut menangani kasus itu. Menurut Alhambra, Indonesia terpilih untuk konperensi internasional itu karena pemerintah dianggap sukses dalam swasembada pangan. Konperensi itu, katanya, menghabiskan biaya sekitar Rp 280 juta, termasuk sewa BSJ itu. Dalam kontrak, yang ditandatangani antara Departemen Pertanian dan BSJ, disepakati sewa tempat itu Rp 132 juta, dengan uang muka Rp 40 juta. Tapi ketika kasir BSJ menguangkan tagihannya Rp 80 juta, pihak bendaharawan departemen menganggap biaya itu terlalu mahal. Karena itu, Alhambra merundingkan lagi soal biaya itu dengan pihak BSJ. Hasilnya, biaya bisa dikurangi menjadi Rp 125 juta. Setelah dana bisa dicairkan. Alhambra mengantarkan uang kontan itu ke BSJ. Menurut Alhambra, uang itu diterima langsung oleh Mia dan kepala pembukuan serta kasirnya, dan ia mendapat kuitansi pembayaran Rp 85 juta - Rp 5 juta untuk pajak. Soal tagihan pun selesai pada hari itu. Ternyata, menurut Alhambra, dua bulan kemudian, ia dipanggil Inspektorat Jenderal Departemen Pertanian. Rupanya, diam-diam, pihak BSJ diteliti Opstibpus. Menurut penelitian, pihak BSJ menerima seluruh biaya konperensi itu hanya Rp 57 juta, dengan bukti kuitansi pembayaran terakhir Rp 17 juta. "Padahal, sebelum di persidangan, saya tidak pernah melihat kuitansi Rp 17 juta itu," ujar Alhambra, doktor ekonomi pertanian lulusan Amerika, itu. Lantas, ke mana sisa uang Rp 68 juta? "Pada Nyonya Mia, tentu. Saya sudah menyerahkan uang itu kepadanya," kata Alhambra. Nyonya Mia sendiri menolak memberikan keterangan. Tapi kepada sebuah sumber ia membantah keras tuduhan Alhambra itu. "Tidak satu sen pun saya menikmati uang itu," katanya. Ia malah menuding Alhambra mengarang cerita bohong untuk menyelamatkan diri. "Saya tidak pernah berurusan dengan dia," kata Mia kepada sumber itu. Ia, katanya, dalam soal itu, berurusan langsung dengan ketua umum konperensi, Sekjen Departemen Pertanian. Berita acara serta evaluasi pengeluaran penyelenggaraan pun, katanya, ditandatanganinya setelah tanda tangan Sekjen. Tapi mengapa ada kuitansi dobel? "Kalau yang punya uang dan perencana kegiatan maunya begitu, kita mau bagaimana lagi?" ujar Mia. Ia tidak merasa harus bertanggung jawab atas permainan itu. "Itu persoalan mereka di Departemen Pertanian, kami tidak perlu tahu," katanya. Siapa yang bohong, agaknya, susah dibuktikan. "Wallahualam, mana yang benar. Di sidang, hanya bisa dibuktikan kebenaran formilnya, sementara materiilnya hanya mereka berdua yang tahu," ujar ketua majelis hakim, Nyonya Sri Ati. Untuk mendapat kebenaran materiil itu, kata Sri Ati, seharusnya kejaksaan menyidangkan Mia. "Sebab, Mia menandatangani evaluasi biaya Rp 125 juta itu," ujar hakim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus