Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Putusan Berefek Domino

Akhirnya Rudolf A. Butarbutar dihukum 10 tahun penjara. Terdakwa lainnya dalam kasus Tanjung Priok bakal sulit lolos.

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Mayjen Purn. Rudolf A. Butar-butar, ketukan palu hakim yang diayunkan akhir April lalu seperti suara petir di tengah siang. Majelis hakim menyatakan dia terbukti bersalah dan ia dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Kontan, bekas Komandan Kodim 0502 Jakarta Utara itu bereaksi dengan mengajukan banding. "Saya kecewa, karena apa yang saya lakukan waktu itu saya abdikan diri saya kepada bangsa ini," kata Butarbutar dengan nada tinggi.

Dipimpin oleh Cicut Sutiarso, majelis hakim menyatakan terdakwa kasus Tanjung Priok itu terbukti melakukan kejahatan kemanusiaan melalui pembunuhan dan penganiayaan. Hanya, dalam putusan pengadilan hak asasi manusia ad hoc Jakarta tersebut ditegaskan juga bahwa Butarbutar tidak terbukti merampas kemerdekaan orang.

Putusan itu cukup melegakan bagi para korban peristiwa Tanjung Priok 1984, terutama yang tidak bersedia islah (berdamai) dengan para terdakwa. Usman Hamid dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) memperkirakan ketiga terdakwa lainnya juga akan sulit lolos. Mereka adalah Mayjen Sriyanto (bekas Kasie-O2/Ops Kodim 0502), Mayjen Purn. Pranowo (bekas Komandan Pomdam Jaya), dan Kapten Sutrisno Mascung (bekas Komandan Regu III Yon Arhanudse-06). "Kecil kemungkinan ketiganya bebas," kata Usman, yang mendampingi korban Priok.

Dijatuhkannya vonis bersalah bagi Butarbutar juga menunjukkan bahwa adanya islah tak mempengaruhi putusan hakim. Padahal, dalam persidangan, para saksi korban Tanjung Priok yang berislah berupaya meringankan terdakwa. Mereka umumnya mengubah kesaksian sehingga berbeda dengan keterangan mereka di berita acara pemeriksaan (BAP).

Sejumlah fakta di seputar peristiwa Tanjung Priok, yang meletus pada 12 September 1984, memang sulit ditutupi. Kejadian berdarah ini berawal ketika massa pengajian yang dipimpin Amir Biki berniat melepaskan empat teman mereka yang ditahan di Kodim Jakarta Utara. Tapi, sebelum sampai ke tempat tujuan, mereka dihadang tentara yang bersenjata lengkap. Tak ada tembakan peringatan yang lazim digunakan membubarkan massa. "Pasukan tentara berseragam loreng melepas tembakan ke arah massa," ujar Irta Sumirta, seorang korban yang selamat sekaligus saksi perkara Tanjung Priok. Ia tidak termasuk dalam kelompok yang mau berislah.

Banyak yang roboh tertembak. Sebagian korban diangkut dengan truk, sebagian lainnya dengan panser. Ada yang dibawa ke Polsek, kemudian baru ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Tentara berseragam hijau tak hanya mengangkut mereka yang terluka, tapi juga menangkap sebagian dari massa.

Menurut penyelidikan Komnas HAM, yang menjadi dasar dakwaan jaksa, 24 korban tewas dan 54 luka-luka akibat kejadian hampir tengah malam itu. Tapi saksi mata dan korban menyatakan lebih dari itu. Buktinya, "Truk penuh korban saat itu," kata Irta, yang ketika diangkut dalam truk kesulitan bernapas karena tertimpa korban lainnya.

Sebelum para jenderal yang terlibat dalam peristiwa ini diajukan ke pengadilan, sejumlah korban sebetulnya telah melakukan islah. Perjanjian islah diteken pada 1 Maret 2001 lalu. Pihak korban dikoordinasi oleh Syarifuddin Rambe dan kalangan TNI diwakili antara lain oleh Jenderal Purn. Try Sutrisno. Saat peristiwa Tanjung Priok terjadi, Try menjabat Panglima Kodam Jaya. Setelah islah, korban mendapat sejumlah bantuan, antara lain berupa uang dari sebuah yayasan yang didirikan para petinggi militer.

Dalam persidangan, para korban yang telah berislah tampak berupaya mengubah kesaksian. Ini, misalnya, dilakukan oleh Syarifuddin Rambe dan Rahmat. Di pengadilan, Rahmat menggambarkan situasi rusuh seolah disulut massa yang membawa senjata dan melempari permukiman warga Tionghoa di sekitar tempat kejadian. "Orang banyak membawa senjata seperti kayu, golok, dan bendera," ujarnya. Padahal sebelumnya, di BAP, Rahmat mengatakan tidak ada orang yang membawa senjata.

Cerita tentang penganiayaan pasca-kejadian pun menjadi berbeda dituturkan oleh Rambe. Semula ia mengaku disiksa ketika ditahan di Kodim. Setiap tentara datang memukulinya. Di pengadilan? Rambe mencabut keterangan itu. Ia mengaku dipukul, tapi tidak disiksa. Saksi mengubah keterangan dengan alasan "dulu dia masih sakit hati".

Agaknya, hakim tidak terpengaruh. Sebab, masih ada saksi yang bersikukuh pada keterangan awal. Lagi pula, menurut hakim anggota Ridwan Mansyur, pihaknya bisa memilih keterangan saksi dan barang bukti yang mendekati fakta. Sehingga, "Meski banyak yang mencabut BAP, banyak pula fakta yang muncul di persidangan," kata Ridwan.

Akhirnya, majelis hakim menyimpulkan Rudolf Butarbutar bersalah. Sebagai komandan, terdakwa juga dinilai tidak melakukan tindakan pengendalian yang patut dan efektif terhadap anak buahnya. Akibatnya, korban jiwa berjatuhan.

Dengan putusan itu, Usman Hamid optimistis para terdakwa Tanjung Priok lainnya juga bakal mendapat ganjaran yang setimpal. Bahkan ia menilai vonis tersebut bisa menjadi pintu bagi dibukanya penyidikan terhadap pejabat militer atasan Butarbutar. "Soalnya, ada indikasi pelanggaran HAM dalam peristiwa itu dilakukan secara sistematis," ujarnya.

Endri Kurniawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus