Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah merananya nasib Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers karena jarang dipakai sebagai rujukan para hakim, muncullah putusan yang melegakan, Rabu pekan lalu. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung melandaskan vonisnya pada beleid tersebut dalam sebuah perkara gugatan penghinaan.
Perkara yang diputus oleh majelis hakim yang diketuai oleh Fadlol Tamam itu tak lain adalah gugatan Azmi Thalib Chaniago terhadap pemimpin enam media. Keenam media tersebut yakni harian Republika, Majalah TEMPO, situs Detikcom, koran Pikiran Rakyat, majalah Gatra, dan jurnal Media Watch and Consumer Centre. Azmi, sehari-hari dikenal sebagai Pemimpin Redaksi Pasopati, tabloid yang terbit di Bandung.
Dalam vonisnya, majelis hakim menolak gugatan Azmi dengan alasan prematur dan kurang pihak. Soalnya, wartawan yang menulis di tiap-tiap media tergugat tidak menjadi pihak yang digugat oleh bos Pasopati. Padahal, dalam Undang-Undang Pers, wartawan merupakan subyek hukum. "Itu sebabnya gugatan dinyatakan tidak diterima," kata Fadlol.
Putusan tersebut disambut gembira oleh kuasa hukum para tergugat. "Ini melegakan," kata Pengacara Misbahuddin Gasma, yang mewakili Majalah TEMPO. Senyum pun merekah dari bibir M. Sholeh Amin, yang mewakili Republika. Mereka bersama kuasa hukum Pikiran Rakyat dan Detikcom lalu saling bersalaman, saling memberikan ucapan selamat.
Sengketa bermula dari perseteruan Eka Santosa, seorang anggota DPRD Jawa Barat, melawan seorang wartawan tabloid Pasopati. Berdasarkan keterangan Eka, sejumlah media lalu membuat berita. Harian Republika pada edisi 18 Agustus 2001, misalnya, menulisnya dengan judul "Wartawan" Peras Ajudan Ketua DPRD Jabar. Yang dimaksud "wartawan" dalam berita itu tidak lain adalah seorang wartawan Pasopati. Buntut dari tulisan ini, Pemimpin Redaksi Pasopati lalu menggugat Republika dan tiga media lainnya yang memuat berita serupa.
Belakangan, Majalah TEMPO memberitakan gugatan tersebut pada edisi 3 Februari 2002 silam. Dituangkan dalam rubrik daerah dengan judul Pasopati Melawan Empat Media, tulisan itu sekadar menceritakan lagi kenapa gugatan tersebut muncul. Gara-gara pemberitaan inilah TEMPO akhirnya digugat pula bersama sebuah media lagi. Sang wakil rakyat, Eka Santosa, dan ajudannya bernama Tutang, juga termasuk pihak yang digugat oleh Azmi Thalib.
Azmi menilai para tergugat telah melakukan penghinaan seperti diatur dalam Pasal 1372 KUH Perdata. Itu sebabnya, ia meminta agar hakim melakukan sita jaminan terhadap kantor dan tanah milik para tergugat. Bos tabloid Pasopati ini juga meminta para tergugat membayar ganti rugi Rp 10,2 miliar yang ditanggung secara bersama-sama dan menyatakan permintaan maaf.
Merasa gugatan itu tidak pada tempatnya, kuasa hukum tergugat menyampaikan bantahan. Republika dan TEMPO menyebut gugatan itu prematur. Alasannya, sebagai insan pers, penggugat seharusnya mengetahui mekanisme dan prosedur penyelesaian sengketa di bidang media. Merujuk pada Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers, bila seseorang merasa dirugikan oleh pemberitaan sebuah media, ia seharusnya menggunakan hak jawab. Selain itu, yang bersangkutan juga bisa mengadu ke Dewan Pers.
Di luar itu, Sholeh Amin, yang mewakili Republika, juga menyebut gugatan itu kurang pihak. Soalnya, Azmi tidak menggugat wartawan-wartawan yang menulis berita yang ia persoalkan. Padahal, "Wartawan adalah pihak yang bertanggung jawab atas tulisan-tulisan yang dibuatnya," kata Amin.
Dua keberatan tersebut ternyata diamini oleh majelis hakim. Dalam pertimbangannya, majelis menilai penggugat belum sepenuhnya memahami maksud dan tujuan Undang-Undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik. "Bila insan pers sendiri tidak menaati, jangan harap masyarakat di luar pers berkehendak menaatinya," kata Fadlol. Karena itu, gugatan lalu ditolak.
Gasma dari LBH Pers tak bisa menyembunyikan kegembiraannya atas pertimbangan dan putusan majelis tersebut. Kuasa hukum TEMPO ini bisa pulang ke Jakarta, naik kereta api, dengan perasaan plong. "Di kereta, saya akan bisa tidur nyenyak," katanya sembari tertawa.
Sebaliknya, Pengacara Abdul Salam, yang mewakili Azmi, tampak kecewa begitu gugatannya ditampik. Ia menyatakan pikir-pikir dengan putusan itu. Jika masih ada peluang untuk melakukan upaya hukum, Salam akan mengajukan banding. Andaikata tidak ada celah lagi? "Ya, kita terima saja putusan ini," ujarnya pasrah.
Dwi Wiyana (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo