Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Berpegang pada Lex Specialis

10 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM membacakan putusan, rupanya majelis hakim yang menangani perkara gugatan tabloid Pasopati telah bermusyawarah dengan matang. Dipimpin oleh A. Fadlol Tamam, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung ini beranggotakan dua hakim lainnya, Berlin Damanik dan Sukarman Sitepu. Hasilnya? "Kesepakatan kami bulat. Majelis menilai Undang-Undang Pers adalah lex specialis, yang harus didahulukan dalam menyelesaikan sengketa terhadap pers," tutur Fadlol.

Sang Ketua Majelis mengungkapkan hal itu saat ditemui TEMPO di kantornya, Kamis pekan lalu. Fadlol tampak santai. Kebetulan hari itu ia sedang tidak bersidang. Lelaki 49 tahun ini sedang asyik menyaksikan deklarasi pasangan Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi sebagai calon presiden dan wakil presiden di televisi.

Orang Tuban, Jawa Timur, tersebut mengaku banyak membaca dan mempelajari semua berita yang menyangkut perkara pers. Ia menilai banyak gugatan terhadap pers yang mengandung kejanggalan. Contohnya, gugatan pengusaha Tomy Winata terhadap Koran Tempo. Tomy menggugat karena sebuah berita yang dimuat dalam harian ini. Padahal berita itu berisi bantahan Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi, tentang kabar yang menyebutkan bahwa Tomy hendak membuka usaha judi di daerahnya.

Di mata Fadlol, seharusnya tulisan semacam itu tak bisa dijadikan dasar gugatan. Itu sebabnya, gugatan harus ditolak. Yang terjadi, Koran Tempo malah dinyatakan bersalah dalam perkara itu. "Sejak awal, perkara tersebut sudah tidak benar," ujarnya.

Alumni Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, tersebut melihat masyarakat kurang paham mengenai Undang-Undang No. 40/1999 tentang Pers. Inilah yang menyebabkan mereka melayangkan gugatan, kendati tidak memiliki dasar yang kuat. Buktinya, jika merasa dirugikan oleh pers, orang cenderung langsung menggugat media tanpa terlebih dahulu menempuh mekanisme seperti diatur oleh Undang-Undang Pers. Semestinya, mereka melayangkan dulu hak jawab. Bila masih tidak puas, masyarakat bisa mengadu ke Dewan Pers. Lembaga inilah yang akan "mengadili" media yang melakukan kesalahan.

Hal senada juga diungkapkan oleh Berlin Damanik dan Sukarman Sitepu. "Untuk apa Undang-Undang Pers dibuat kalau tidak dipakai?" ujar Sitepu, 54 tahun. Apalagi undang-undang itu dibuat oleh DPR, yang diyakini bukan orang-orang bodoh. Bagi dia, Undang-Undang Pers sebagai aturan khusus memiliki sejumlah kelebihan, seperti lebih rinci dan obyektif. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini tegas-tegas ber0pendapat, "Bila sudah ada aturan hukum yang pasti, tak perlu lagi orang mencari aturan-aturan yang lain." Aturan lain yang dimaksud, misalnya, KUHP, KUH Perdata, atau undang-undang lainnya.

Damanik, 46 tahun, pun memegang teguh prinsip lex specialis derogat lex generalis. Aturan yang lebih khusus mengalahkan aturan yang lebih umum. Berhubung Undang-Undang Pers adalah lex specialis, "Ya, aturan itu harus dipakai (dalam delik pers)," ujar alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini.

DW

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus