Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Penyidikan Ulang untuk Eddy Hiariej

Putusan praperadilan Eddy Hiariej tak menyurutkan KPK menuntaskan dugaan kasus gratifikasi. Putusan hakim dianggap janggal.

5 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Edward Omar Sharif Hiariej. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK bersiap untuk menggelar penyidikan ulang kasus Eddy Hiariej.

  • Alat bukti yang digunakan nanti masih sama dengan penyidikan sebelumnya.

  • Dalam penanganan perkara korupsi, penyidik berpegangan pada UU KPK.

JAKARTA – Putusan pengadilan yang mengabulkan praperadilan Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej tidak akan menghentikan upaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menuntaskan kasus suap dan gratifikasi yang diduga melibatkan mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu. “KPK akan menyidik ulang untuk menetapkan tersangka,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, kemarin, 4 Februari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alex mengatakan sidang praperadilan hanya menguji aspek formil tentang prosedur hukum acara. Sedangkan substansi materi perkara tentang dugaan suap dan gratifikasi harus diuji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Karena itu, komisi antirasuah akan mengulang penyidikan menggunakan alat bukti yang sudah dikumpulkan sebelumnya.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri menegaskan bahwa alat bukti pada substansi perkara sudah sangat cukup. Upaya mengusut ulang Eddy Hiariej juga sudah dibicarakan dalam rapat pimpinan bersama struktural penindakan dan tim Biro Hukum KPK. “Perkembangannya akan disampaikan sebagai bentuk keterbukaan KPK kepada masyarakat,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Edward Omar Sharief Hiariej di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 Maret 2023. TEMPO/Imam Sukamto

KPK menetapkan Eddy Hiariej menjadi tersangka pada 24 November 2023 atas dugaan korupsi dalam pengurusan administrasi di Kemenkumham. Asisten Eddy, Yogi Arie Rukmana; dan mantan mahasiswanya, Yosi Andika Mulyadi, turut dijadikan tersangka karena diduga bersekongkol dengan Eddy.

Kasus ini bermula dari pertemuan Eddy dengan pengusaha tambang nikel Helmut Hermawan pada April 2022. Saat itu Helmut masih menjadi Direktur Utama PT Citra Lampia Mandiri (CLM). Pengusaha itu meminta bantuan Eddy dalam menyelesaikan sengketa kepengurusan administrasi hukum umum (AHU) PT CLM yang ditangani oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Dari pertemuan itulah Helmut kemudian menyerahkan uang sebesar Rp 4 miliar dalam dua tahap, yaitu pada 27 April 2022 dan 17 Mei 2022. Lalu Eddy diduga meminta tambahan biaya Rp 3 miliar. Biaya tambahan ini untuk membantu Helmut menyelesaikan masalah lain di Badan Reserse Kriminal Polri.

Aliran uang itu tidak langsung diterima Eddy. Dari rekening PT CLM, uang masuk ke rekening miliki Yosi. Kemudian Yosi meneruskan uang itu ke rekening Yogi. Pada Oktober 2022, Eddy ditengarai menerima uang Rp 1 miliar yang dikirim melalui rekening Yogi. Uang tersebut digunakan untuk pencalonan Eddy sebagai Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).

Menurut laporan Majalah Tempo edisi 26 Maret 2023 berjudul "Pak Wamen di Pusaran Tambang", sengketa kepengurusan di PT CLM ini juga memunculkan nama tokoh lain, seperti pengusaha tambang batu bara Andi Syamsudin Arsyad alias Haji Isam, politikus Partai Golkar Idrus Marham, dan Amran Sulaiman yang kini menjabat Menteri Pertanian. Ketiganya diduga akan membantu mendamaikan urusan hukum di PT Citra Lampia Mandiri.

Haji Isam saat itu tidak menjawab upaya konfirmasi Tempo. Sedangkan Idrus hanya menjawab membantu suatu pertemuan di sebuah restoran Jepang di Hotel Pullman, Jakarta, pada 19 September 2022. “Saya hanya coba membantu,” kata Idrus.

Eddy membantah tuduhan menerima suap dan gratifikasi. Karena itu, dia melawan status tersangka yang diberikan oleh KPK. Pada 4 Desember 2023, ia bersama Yosi dan Yogi, mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun tidak berapa lama gugatan itu dicabut. Kemudian pada 3 Januari 2024, hanya Eddy yang mengajukan praperadilan.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan Eddy Hiariej pada 30 Januari 2024. Putusan praperadilan menyatakan status tersangka yang ditetapkan oleh KPK tidak sah dan tak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Muhammad Luthfie Hakim, pengacara Eddy, mengatakan alat bukti yang dimiliki KPK tidak bisa meyakinkan hakim. Untuk itu, dia meminta KPK merevisi prosedur operasional baku (POB) untuk menetapkan status tersangka. Dengan adanya putusan praperadilan, kata Luthfie, KPK tidak bisa lagi menetapkan tersangka hanya berdasarkan hasil penyelidikan.

Ketua IM57+ Mochamad Praswad Nugraha mengatakan putusan hakim bertentangan dengan Undang-Undang KPK. Padahal komisi antirasuah dalam proses penyelidikan sudah sesuai dengan Pasal 44, yang menjelaskan bahwa proses penyelidikan merupakan rangkaian kegiatan untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, yaitu berupa dua alat bukti.

Persoalannya, kata Praswad, hakim dalam pertimbangannya mempermasalahkan pengumpulan barang bukti permulaan pada tahap penyelidikan, bukan penyidikan. “Sedangkan standar KPK, penetapan tersangka sudah harus menyebut nama tersangka saat naik ke tahap penyidikan,” ucapnya melalui keterangan tertulis.

Menurut dia, jika pengumpulan bukti permulaan harus pada tahap penyidikan, tidak ada jalan bagi KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Praswad pun menilai putusan hakim itu berbahaya dan bisa menjadi preseden yang mempengaruhi putusan praperadilan selanjutnya.

Dia mengusulkan agar Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung perlu menelusuri latar belakang pertimbangan hakim dalam menerima gugatan Eddy Hiariej. “Karena hakim seharusnya mengetahui secara baik tahap penyelidikan dan penyidikan berdasarkan UU KPK dengan segala kekhususannya,” katanya.

Edward Omar Sharief Hiariej di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 Maret 2023. TEMPO/Imam Sukamto

Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, sependapat dengan Praswad. Menurut dia, semestinya hakim melihat Undang-Undang KPK sebagai lex specialis atau peraturan yang bersifat spesial.

Dalam tahap penyelidikan perkara korupsi, KPK berpegangan pada Pasal 44 Undang-Undang KPK. Aturan dalam pasal ini tentu berbeda dengan mekanisme yang digunakan oleh penyidik kepolisian maupun kejaksaan yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Dalam putusan praperadilan Eddy Hiariej, hakim tunggal Pengadilan Jakarta Selatan, Estiono, menyebutkan proses penyelidikan belum bernilai pro justitia, yang berarti belum bernilai undang-undang. Pertimbangannya merujuk pada Pasal 1 dan Pasal 5 KUHAP yang menyatakan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Karena putusan ini, kata Hibnu, KPK mau tidak mau harus memulai pemeriksaan kasus ini dari awal lagi. “Harus diulang mulai dari nol lagi karena penyelidikan dianggap tidak pernah ada," ujarnya.

M. FAIZ ZAKI | ADVIST KHOIRUNIKMAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
M. Faiz Zaki

M. Faiz Zaki

Menjadi wartawan di Tempo sejak 2022. Lulus dari Program Studi Antropologi Universitas Airlangga Surabaya. Biasa meliput isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus