Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Oplosan BBM ke Meja Hijau

Pertamina menskors distributornya yang mengoplos BBM. Tapi PTUN memerintahkan agar hukuman itu ditangguhkan.

9 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANIPULASI bahan bakar minyak (BBM) bak tembok Cina, sulit digempur. Sepertinya, manipulasi yang merugikan uang rakyat berupa subsidi BBM itu dikendalikan mafia. Modusnya dari penyelewengan delivery order (DO, jatah minyak yang boleh dijual), pembocoran minyak sewaktu didistribusikan, pengoplosan (mencampur), sampai penyelundupan lewat laut ke luar negeri.

Kalaupun ada tindakan hukum, paling banter Pertamina hanya menskors (menghentikan sementara) peran agen distributor BBM. Setidaknya sudah 16 perusahaan distributor yang diskors. Di antaranya PT Panutan Selaras, yang diskors selama tiga bulan sejak 25 Mei 2000 karena dianggap melakukan pengoplosan BBM jenis premix.

Ternyata, sanksi skorsing pun tak berarti. Soalnya, Senin pekan lalu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan putusan sela. Isi putusan itu memerintahkan Pertamina untuk menangguhkan keputusan skorsing terhadap PT Panutan. Sebab, ”Skorsing itu tak menyangkut kepentingan umum,” kata hakim Yulius di PTUN.

Tidakkah putusan sela itu semakin mengukuhkan manipulasi BBM, khususnya lewat pengoplosan? Menurut Kepala Unit Pembekalan dan Pemasaran Dalam Negeri Wilayah III Pertamina, Tuty Anggrahini, skorsing terhadap Panutan dijatuhkan setelah perusahaan itu dua kali diperingatkan akibat kasus serupa. Peringatan pertama pada 29 Desember 1998, sementara peringatan kedua pada 26 Januari 1999.

Namun, pada 17 Mei 1999, Panutan, yang terikat kontrak bisnis dengan Pertamina sejak 20 Juli 1998 sampai pertengahan tahun 2001, ketahuan melakukan pencampuran premix lagi pada empat stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) di Bandung. Panutan memperoleh jatah distribusi BBM jenis premix untuk 72 SPBU di Jakarta dan Jawa Barat.

Herannya, setelah kasus pengoplosan itu diberitakan pers pada April 2000, barulah Pertamina menjatuhkan skorsing selama tiga bulan kepada Panutan, pada 25 Mei 2000. Itu berarti setahun setelah pelanggaran Panutan terjadi. Begitu pun, menurut Tuty, sanksi itu lebih ringan dari hukuman seharusnya, yakni skorsing setahun.

Toh, Panutan tak hendak menerima sanksi tersebut. ”Hukuman itu diputuskan secara sepihak, tanpa dibuktikan lebih dulu,” ujar Direktur Utama Panutan, Anton Poniman. Lagi pula, kata Anton, sopir truk pengangkut BBM yang diduga melakukan pengoplosan sudah ditindak tegas oleh Panutan. ”Yang melakukan satu oknum. Masa, Panutan sebagai perusahaan yang dihukum,” ia menambahkan.

Anton lantas menganalogikan, bila ada karyawan Pertamina yang maling, berarti Pertamina bisa dihukum. Pengoplosan BBM dimaksud pun tak mustahil terjadi sejak di Pertamina. Apalagi Panutan selaku distributor tak pernah bisa mengetahui kualitas BBM Pertamina yang disalurkannya ke SPBU.

Karena itu, Panutan menggugat keputusan skorsing ke PTUN. Bagi Panutan, hukuman itu telah merugikan perusahaannya sekitar Rp 2 miliar. Kerugian itu berupa hilangnya bisnis premix Panutan dan lenyapnya uang Panutan senilai Rp 1 miliar untuk membayar DO ke Pertamina. Selain itu, sebanyak 200 karyawan Panutan jadi menganggur.

Ternyata, baru tiga hari gugatan Panutan diajukan, PTUN telah mengeluarkan putusan sela yang memerintahkan penundaan skorsing. Menurut hakim Yulius, skorsing itu bisa mengancam nasib Panutan dan para karyawannya. Selain itu, skorsing hanya berkaitan dengan perjanjian bisnis antara Pertamina dan Panutan. Jadi, tak menyangkut kepentingan umum.

Tentu saja Pertamina merasa berang atas putusan sela PTUN. Tuty menganggap PTUN keliru dengan menerima mentah-mentah argumentasi Panutan. ”Bohong bila skorsing dianggap mematikan bisnis Panutan,” ucap Tuty. Sebab, kata Tuty, kontrak bisnis antara Pertamina dan Panutan tak hanya menyangkut BBM jenis premix, tapi juga jenis super-TT dan elpiji.

Untuk dua kontrak bisnis terakhir itu tak ada masalah alias tetap jalan. Sedangkan kontrak bisnis premix dihentikan sementara (tiga bulan) dan kini dialihkan kepada empat perusahaan distributor lainnya. Bila skorsing itu selesai, tentu bisnis premix Panutan akan dikembalikan lagi. Demikian pula uang DO Panutan sebesar Rp 1 miliar.

Tak aneh bila Tuty mencurigai putusan sela yang terlalu cepat dan tanpa mendengarkan lebih dulu penjelasan tergugat. Namun, hakim Yulius menepis prasangka Tuty. ”Perkara ini memang diperiksa dengan cara cepat. Putusannya pun paling lama sebulan,” kata Yulius. Kalau pada persidangan terbukti keputusan skorsing sudah sesuai dengan prosedur, katanya, tentu putusan penundaan tadi dicabut.

Happy Sulistyadi, Endah W.S. dan Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus