Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Radiogram untuk Mobil Pemadam

Sejumlah kepala daerah terseret dugaan korupsi pembelian mobil pemadam kebakaran. Mobil yang dibeli ada yang hanya nongkrong di garasi.

25 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKARANG Abdillah lebih sering tampak masam. Wali Kota Medan yang biasanya senang bertemu dan bergurau dengan wartawan itu, dalam beberapa pekan terakhir pasang tampang cemberut. Apalagi, jika para wartawan menyinggung perihal korupsi pembelian mobil pemadam kebakaran yang ”menyerempet” dirinya. ”No comment untuk mobil pemadam kebakaran,” katanya. Wakilnya, Ramli, kini bahkan sama sekali tak bisa ditemui di kantornya.

Tiga pekan lalu, kedua orang itu diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kendati sudah diperiksa, sebenarnya nasib keduanya—setidaknya hingga kini—masih beruntung. Mereka masih sebatas saksi. Ini berbeda dengan Wali Kota Makassar, Amiruddin Maula. Maula juga ”tertabrak” kasus mobil pemadam kebakaran. Kini, statusnya tersangka. Sampai pekan lalu, KPK sudah memanggil 12 kepala daerah yang diduga melakukan korupsi pembelian mobil pemadam. ”Jumlah tersangkanya bisa saja bertambah,” kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.

Amiruddin telah mencairkan anggaran sekitar Rp 10 miliar untuk membeli 10 unit mobil pemadam api. Padahal, menurut KPK, untuk 10 mobil itu, dengan harga pasaran, totalnya tak lebih Rp 5 miliar. Adapun Abdillah dan Ramli meneken anggaran Rp 12 miliar untuk satu mobil pemadam. Harga mobil itu—jika memang segitu—jauh lebih tinggi ketimbang harga mobil yang sama yang dibeli Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang cuma Rp 3 miliar. Apalagi, dibanding Pemerintah Provinsi Bali yang mendapat tiga mobil pemadam dengan tipe sama, hanya dengan anggaran Rp 2,9 miliar.

Kasus mobil pemadam ini berawal dari surat edaran dan radiogram yang dikirim sampai empat kali oleh para pejabat Departemen Dalam Negeri. Awalnya, surat edaran Sekretaris Jenderal Depdagri, Suryatna Soebrata, pada 1997 kepada para gubernur dan wali kota se-Indonesia. Isinya, petinggi daerah itu diminta meningkatkan pelayanan publik. Caranya, ya, membeli mobil pemadam kebakaran baru. Surat itu juga merekomendasi PT Istana Sarana Raya, sebuah perusahaan di Jakarta, menjadi mitra dalam pengadaan mobil itu.

Pada 2000, ”perintah” yang sama dikirim kembali. Kali ini ditandatangani Sekjen Depdagri yang baru, Amir Muhasyim. Dua tahun kemudian, giliran Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Oman Sachroni, mengirim surat lagi. Isinya, mengingatkan pejabat daerah melaksanakan surat edaran pertama.

Tak ada tanggapan, pada Desember 2002, Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi mengirim radiogram berlabel ”amat segera”, mengatasnamakan menteri. Oentarto minta para pejabat daerah segera membeli mobil pemadam kebakaran. Menurut Oentarto, mobil pemadam di setiap daerah jumlahnya belum cukup. Beberapa kota bahkan sama sekali tidak memiliki.

Keempat surat yang dikirim itu memerintahkan pembelian mobil pemadam dengan spesifikasi sama: tipe V-80 ASM, kapasitas tangki air 4.000 liter, dan daya dorong 2.000 liter air per menit. Tiga surat pertama merekomendasikan PT Istana sebagai pemasok tunggal. Soal ketentuan spesifikasi itu dianggap wajar oleh Oentarto ”Kan tidak ada salahnya menyebut spesifikasi,” kata Oentarto kepada Tempo. Hanya, ia membantah PT Istana diminta sebagai satu-satunya mitra untuk memasok mobil itu. ”Saya sudah diberi tahu, beberapa perusahaan bisa menyediakannya,” ujarnya. ”Pemerintah daerah juga boleh melakukan tender.”

Soal pencantuman spesifikasi, Oentarto menyatakan sekadar meneruskan surat yang dikirim pejabat sebelumnya. Menteri Dalam Negeri (kala itu) Hari Sabarno tidak memintanya menunjuk suatu perusahaan tertentu. ”Menyebut spesifikasi mobil tidak salah, asal tak menyebut nama perusahaan tertentu,” kata Oentarto.

Selain memanggil para kepala daerah, KPK juga sudah meminta keterangan Oentarto dan Hari Sabarno. Dari pemeriksaan inilah muncul nama Hengky Samuel Daud, Direktur Utama PT Istana, yang disebut sebagai ”distributor tunggal” mobil itu.

Sekarang ini, alamat PT Istana tak jelas di mana. Saat mendatangi sebuah kantor di Jalan Imam Bonjol No. 53 Jakarta, yang disebut sebagai kantor perusahaan itu, di sana Tempo hanya menemukan bangunan tak berpenghuni. ”Sudah sebulan kosong,” ujar seorang satpam yang bertugas di sebelah ”kantor” PT Istana. Menurut sumber Tempo, setelah pada Mei lalu KPK menggeledah kantor tersebut, Hengky lantas angkat kaki dari kantor yang sekaligus dijadikan rumahnya itu. Hengky sendiri tak bisa dihubungi. Sambungan telepon dan faksimile kantornya sudah ”tewas”.

Sumber Tempo yang mengenal Hari Sabarno mengatakan, Hengky sudah lama mengenal Hari. ”Sejak Pak Hari bertugas di Markas Besar Angkatan Darat,” ujarnya. Saat Hari menjadi menteri, Hengky rupanya ikut ”masuk” ke Depdagri. ”Di mana ada Mendagri, di situ muncul Hengky,” ujar sumber itu. Saat berkeliling ke daerah, Hengky juga acap berada di samping Hari Sabarno. ”Akibatnya, para pejabat daerah percaya saja omongan Hengky,” kata sumber itu. Oentarto sendiri mengaku mengenal Hengky lewat Hari Sabarno. ”Saya percaya Hengky karena Pak Menteri bilang dia orang baik,” katanya.

Menurut sumber Tempo lainnya, kepada orang-orang dekatnya, Hengky kerap memperlihatkan pistol di pinggang dan kakinya, juga kartu anggota Badan Intelijen Negara. Saat KPK menggeledah rumahnya, polisi menemukan 523 butir peluru kaliber 32 mm, 6 magasin, dan 3 sarung senjata ukuran besar dan kecil. Direktur Penyidikan KPK, Ade Rahadja, membenarkan penemuan itu. ”Sudah diserahkan ke polisi,” katanya.

Yang jelas, sejumlah mobil yang disuplai perusahaan Hengky kini bak barang rongsokan. Mobil pemadam yang dibeli Pemerintah Kota Medan, misalnya, kini menganggur di garasi kantor pemadam kebakaran. ”Tangga hidroliknya rusak saat diuji coba,” ujar seorang petugas. Kepala Dinas Kebakaran Kota Denpasar, A.A. Ngurah Gde Astawa, juga mengeluhkan mobil pemadam dari PT Istana itu. ”Tangganya tidak bisa mencapai gedung tinggi,” ujarnya. Padahal, di Denpasar kini banyak gedung berlantai empat keatas.

Mesinnya juga bermasalah. Menurut Astawa, jika digunakan dua jam atau lebih, mesinnya panas, lalu mati. ”Padahal, banyak kebakaran baru bisa padam setelah dua jam,” ujarnya. Soal teknologinya, di mata Astawa, terbilang kuno. Mesin pompa pemadam ”kiriman Jakarta” ini harus dihidupkan terpisah saat beroperasi. ”Butuh lima sampai tujuh orang untuk mengoperasikannya,” katanya.

Ini berbeda dengan mobil pemadam yang memakai teknologi power take off. Mobil pemadam seperti ini mesin dan pompanya menyatu, sehingga hanya butuh dua petugas. Alhasil, satu mobil yang dioperasikan di Denpasar kini hanya punya tugas sebagai penyuplai air saat ada kebakaran.

Di Kota Makassar lain lagi ceritanya. Cat 10 mobil pemadam itu mulai luntur. Bodinya pun mulai berkarat. Padahal, seperti tercantum dalam brosurnya, mobil tersebut dijamin antikarat dan antiluntur. ”Mungkin mobil-mobil itu palsu,” ujar seorang pegawai dinas pemadam kebakaran Makassar. ”Mobil palsu” itulah yang kini membuat sejumlah jantung para petinggi daerah yang diperiksa KPK berdenyut-denyut kencang.

IGG Maha Adi, Sahat S. (Medan), Rofiqi H. (Denpasar), Irmawati (Makassar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus