ANDY Boby tidak menangis lagi seperti ketika dijatuhi hukuman
15 tahun penjara. Hukumannya bulan lalu diperingan oleh
Pengadilan Tinggi Semarang, menjadi 7 tahun, setelah sebelumnya
diberikan status tahanan kota. Berkaus putih dan celana biru,
Boby asyik berjoget samil memutar kaset di rumahnya, di Jalan
Sukowati, Sragen. "Saya senang lagu India," ujar bocah, 13 tahun
itu, yang di rumahnya hanya ditemani seorang penjaga.
Tapi, yang lebih menyenangkan lagi bagi Boby, ayahnya, Sucianto
selamat dari hukuman mati seperti yang diputuskan Pengadilan
Negeri Sragen. Pengadilan Tinggi memperingan hukuman itu menjadi
13 tahun penjara. "Berarti, saya akan tetap punya ayah," kata
Boby mengerti, sambil bergoyang.
Seluruh keluarga Sucianto, yang dijatuhi hukuman karena membunuh
pembantu rumah tangga mereka, Kasinem, mendapat keringanan
hukuman dari hakim tinggi. Ibu Boby, Nyonya Susana, 32 tahun,
diturunkan hukumannya dari 20 tahun menjadi 16 tahun. Neneknya,
Susilowati, 62 tahun, mendapat keringanan menjadi 9 bulan
penjara dari sebelumnya, ... 10 tahun. Nenek itu langsung
mendapat pembebasan karena hukuman itu pas dengan masa
tahanannya. Yang mendapat "pembebasan murni" adalah adik Boby,
Anggraini alias Nonik, 11 tahun, yang semula juga dihukum 5
tahun penjara. Begitu keputusan Pengadilan Tinggi turun, Nonik
dibawa neneknya pindah ke Klaten, ke tempat pamannya.
Februari lalu, majelis hakim di Pengadilan Negeri Sragen, yang
diketuai Hakim Supartomo, menjatuhkan hukuman berat kepada
seluruh keluarga Sucianto -- demikian beratnya, sampai melebihi
tuntutan jaksa. Menurut Supartomo, kesemua anggota keluarga
pedagang pupuk itu terbukti membunuh Kasinem, dengan menyiksanya
terlebih dahulu. Gadis desa berumur 18 tahun itu konon dipukuli
selama tiga hari dan dilukai kemaluannya sebelum menemui ajal.
Mayatnya kemudian ditemukan di pinggir jalan desa di Slogohimo,
Surakarta, Agustus 1982.
Namun hukuman yang dijatuhkan menjadi bahan diskusi ramai,
terutama di kalangan ahli hukum. Apalagi ketika dua orang anak
di bawah umur, Boby dan Nonik, harus ikut dihukum di penjara.
"Keputusan hakim itu ngawur, tidak berperikemanusiaan dan
diambil dengan emosi," seperti protes pengacara keluarga itu,
Soemarno P. Wirjanto, yang oleh Hakim Supartomo ditolak membela
kliennya di persidangan. Tapi keputusan itu disambut dengan
sorak-sorai oleh massa yang berjejal menonton di setiap
persidangan kasus pembunuhan itu (TEMPO, 26 Februari).
Setelah vonis jatuh, semua anggota keluarga Sucianto, dari nenek
sampai cucu, meringkuk di LP Sragen. Di LP itu pula istri
Sucianto, Susana, melahirkan anak ke-5 yang diberi nama Nely
Wulandari. Sebulan kemudian barulah Pengadilan Tinggi Semarang
menetapkan tahanan luar untuk Boby dan Nonik. Diam-diam, Juli
lalu, Pengadilan Tinggi memperbaiki keputusan Pengadilan Negeri
Sragen dan konon keputusan itu dibacakan Hakim Supartomo pada 21
Juli lalu.
Pengacara Soemarno rupanya baru mendengar perihal keputusan
pengadilan banding itu 3 Agustus lalu. "Waktu itu, kesempatan
untuk kasasi selama 15 hari, hanya tinggal hari itu juga," ujar
Soemarno. Pengacara itu bergegas menyatakan kasasi ke Pengadilan
Negeri Sragen. Malang bagi Soemarno, panitera pengadilan yang
memegang berkas perkara Sucianto dan keluarganya, ternyata lagi
cuti dan ... kunci lemarinya dibawa panitera itu.
Akhirnya, setelah berdebat, permohonan kasasi Soemarno diterima
pengadilan, tapi pengacara yang bekas hakim itu tidak menerima
suatu bukti atau tanda terima. "Jelas ini manipulasi keputusan
pengadilan," ujar Soemarno kesal. Itu sebabnya, 12 Agustus,
Soemarno menyusulkan lagi permohonan kasasinya langsung ke
Mahkamah Agung.
Dalam permohonan kasasinya, seperti juga ketika menyusun memori
banding, Soemarno menuntut persidangan Pengadilan Negeri Sragen
itu diulang di luar Sragen. Persidangan yang dipimpin Supartomo
itu, menurut Soemarno, bukan lagi peradilan yang bebas. Karena
berlangsung di bawah pengaruh emosi hakim dan massa yang
menonton. "Kami bukan hanya tidak boleh membela, tapi dicaci
maki," tulis Soemarno. Di peradilan tingkat pertama, kedudukan
Soemarno digantikan oleh pengacara yang ditunjuk Hakim
Supartomo, Abdul Malik. Tak lupa pula, dalam kasasinya Soemarno
menyebutkan, Pengadilan Negeri Sragen telah merampas hak asasi
seorang anak dengan dipenjarakannya Boby dan Nonik.
Supartomo, yang dituding Soemarno, membenarkan bahwa ia menolak
pengacara itu untuk hadir di sidang. Alasannya, pengacara yang
juga bekas hakim itu, belum dapat izin Mahkamah Agung untuk
praktek. Tapi tuduhan Soemarno bahwa vonisnya dijatuhkan secara
emosional, dibantahnya. "Saya ini kan hakim, saya bekerja
bijaksana dan saya tahu itu," ujar Supartomo. Tapi diakuinya
juga, "kalau bukan saya hakim kasus itu, mungkin gedung
pengadilan sudah dibakar massa. Saya kan juga menjaga keamanan
kota ini," tambah Supartomo lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini