Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ralat vonis penjaga keamanan

Putusan hukuman pembunuh kasinem (sragen), sucianto dan keluarganya, diperingan. pengacara soemarno p. wiryanto tetap menuntut peradilan ulang. (hk)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDY Boby tidak menangis lagi seperti ketika dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Hukumannya bulan lalu diperingan oleh Pengadilan Tinggi Semarang, menjadi 7 tahun, setelah sebelumnya diberikan status tahanan kota. Berkaus putih dan celana biru, Boby asyik berjoget samil memutar kaset di rumahnya, di Jalan Sukowati, Sragen. "Saya senang lagu India," ujar bocah, 13 tahun itu, yang di rumahnya hanya ditemani seorang penjaga. Tapi, yang lebih menyenangkan lagi bagi Boby, ayahnya, Sucianto selamat dari hukuman mati seperti yang diputuskan Pengadilan Negeri Sragen. Pengadilan Tinggi memperingan hukuman itu menjadi 13 tahun penjara. "Berarti, saya akan tetap punya ayah," kata Boby mengerti, sambil bergoyang. Seluruh keluarga Sucianto, yang dijatuhi hukuman karena membunuh pembantu rumah tangga mereka, Kasinem, mendapat keringanan hukuman dari hakim tinggi. Ibu Boby, Nyonya Susana, 32 tahun, diturunkan hukumannya dari 20 tahun menjadi 16 tahun. Neneknya, Susilowati, 62 tahun, mendapat keringanan menjadi 9 bulan penjara dari sebelumnya, ... 10 tahun. Nenek itu langsung mendapat pembebasan karena hukuman itu pas dengan masa tahanannya. Yang mendapat "pembebasan murni" adalah adik Boby, Anggraini alias Nonik, 11 tahun, yang semula juga dihukum 5 tahun penjara. Begitu keputusan Pengadilan Tinggi turun, Nonik dibawa neneknya pindah ke Klaten, ke tempat pamannya. Februari lalu, majelis hakim di Pengadilan Negeri Sragen, yang diketuai Hakim Supartomo, menjatuhkan hukuman berat kepada seluruh keluarga Sucianto -- demikian beratnya, sampai melebihi tuntutan jaksa. Menurut Supartomo, kesemua anggota keluarga pedagang pupuk itu terbukti membunuh Kasinem, dengan menyiksanya terlebih dahulu. Gadis desa berumur 18 tahun itu konon dipukuli selama tiga hari dan dilukai kemaluannya sebelum menemui ajal. Mayatnya kemudian ditemukan di pinggir jalan desa di Slogohimo, Surakarta, Agustus 1982. Namun hukuman yang dijatuhkan menjadi bahan diskusi ramai, terutama di kalangan ahli hukum. Apalagi ketika dua orang anak di bawah umur, Boby dan Nonik, harus ikut dihukum di penjara. "Keputusan hakim itu ngawur, tidak berperikemanusiaan dan diambil dengan emosi," seperti protes pengacara keluarga itu, Soemarno P. Wirjanto, yang oleh Hakim Supartomo ditolak membela kliennya di persidangan. Tapi keputusan itu disambut dengan sorak-sorai oleh massa yang berjejal menonton di setiap persidangan kasus pembunuhan itu (TEMPO, 26 Februari). Setelah vonis jatuh, semua anggota keluarga Sucianto, dari nenek sampai cucu, meringkuk di LP Sragen. Di LP itu pula istri Sucianto, Susana, melahirkan anak ke-5 yang diberi nama Nely Wulandari. Sebulan kemudian barulah Pengadilan Tinggi Semarang menetapkan tahanan luar untuk Boby dan Nonik. Diam-diam, Juli lalu, Pengadilan Tinggi memperbaiki keputusan Pengadilan Negeri Sragen dan konon keputusan itu dibacakan Hakim Supartomo pada 21 Juli lalu. Pengacara Soemarno rupanya baru mendengar perihal keputusan pengadilan banding itu 3 Agustus lalu. "Waktu itu, kesempatan untuk kasasi selama 15 hari, hanya tinggal hari itu juga," ujar Soemarno. Pengacara itu bergegas menyatakan kasasi ke Pengadilan Negeri Sragen. Malang bagi Soemarno, panitera pengadilan yang memegang berkas perkara Sucianto dan keluarganya, ternyata lagi cuti dan ... kunci lemarinya dibawa panitera itu. Akhirnya, setelah berdebat, permohonan kasasi Soemarno diterima pengadilan, tapi pengacara yang bekas hakim itu tidak menerima suatu bukti atau tanda terima. "Jelas ini manipulasi keputusan pengadilan," ujar Soemarno kesal. Itu sebabnya, 12 Agustus, Soemarno menyusulkan lagi permohonan kasasinya langsung ke Mahkamah Agung. Dalam permohonan kasasinya, seperti juga ketika menyusun memori banding, Soemarno menuntut persidangan Pengadilan Negeri Sragen itu diulang di luar Sragen. Persidangan yang dipimpin Supartomo itu, menurut Soemarno, bukan lagi peradilan yang bebas. Karena berlangsung di bawah pengaruh emosi hakim dan massa yang menonton. "Kami bukan hanya tidak boleh membela, tapi dicaci maki," tulis Soemarno. Di peradilan tingkat pertama, kedudukan Soemarno digantikan oleh pengacara yang ditunjuk Hakim Supartomo, Abdul Malik. Tak lupa pula, dalam kasasinya Soemarno menyebutkan, Pengadilan Negeri Sragen telah merampas hak asasi seorang anak dengan dipenjarakannya Boby dan Nonik. Supartomo, yang dituding Soemarno, membenarkan bahwa ia menolak pengacara itu untuk hadir di sidang. Alasannya, pengacara yang juga bekas hakim itu, belum dapat izin Mahkamah Agung untuk praktek. Tapi tuduhan Soemarno bahwa vonisnya dijatuhkan secara emosional, dibantahnya. "Saya ini kan hakim, saya bekerja bijaksana dan saya tahu itu," ujar Supartomo. Tapi diakuinya juga, "kalau bukan saya hakim kasus itu, mungkin gedung pengadilan sudah dibakar massa. Saya kan juga menjaga keamanan kota ini," tambah Supartomo lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus