Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah belum juga menetapkan jadwal untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Ratifikasi Konvensi Internasional Anti-Penghilangan secara Paksa, meskipun surat dari Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengenai RUU tersebut telah diserahkan ke Senayan pada Mei 2022. Surat presiden tersebut ditandatangani oleh Jokowi pada akhir April.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang kami ketahui, surpres RUU Ratifikasi Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Paksa itu memang sudah diserahkan ke DPR, bahkan sudah dibahas di Badan Musyawarah," kata Wakil Koordinator Eksternal Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Rivanlee Anandar, pada Kamis, 9 Juni 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rivanlee menjelaskan bahwa agenda ratifikasi Konvensi Internasional Anti-Penghilangan secara Paksa ini sebenarnya merupakan rekomendasi Panitia Khusus atau Pansus DPR kepada pemerintah pada 2009. Namun, pemerintah membutuhkan waktu yang lama untuk menyelesaikan penyusunan draf sebelum akhirnya menyerahkannya ke Senayan.
Komisi I DPR kemudian membahasnya pada 2013, tetapi pembahasannya ditunda dengan alasan untuk memperdalam lebih lanjut. Sejak 2013 hingga saat ini, Komisi Pertahanan DPR tidak lagi membahasnya.
"Kami khawatir bahwa pembahasan RUU ini akan tertunda lagi dengan alasan yang sama," kata Rivanlee.
Menurutnya, RUU Ratifikasi Konvensi Internasional Anti-Penghilangan secara Paksa termasuk dalam kategori RUU kumulatif terbuka sehingga tidak perlu menunggu dimasukkan ke dalam program legislasi nasional. "Sebenarnya tidak ada hambatan apa pun bagi konvensi ini untuk dapat disahkan dengan segera," katanya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak kekerasan atau KontraS bersama dengan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Penghilangan Paksa menuntut DPR segera mengesahkan Rancangan undang-Undang (RUU) Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa.
“RUU Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa perlu dilaksanakan tahun ini oleh DPR-RI sebagai jaminan ketidakberulangan tindak penghilangan paksa,” ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 30 Agustus 2023. Hal ini disampaikan dalam rangka memperingati Hari Anti Penghilang Paksa
Serba-serbi konvensi internasional anti-penghilangan paksa
Dilansir dari laman Komnas Perempuan, penghilangan paksa adalah suatu bentuk kejahatan yang berkelanjutan, di mana korban dan keluarga mengalami penderitaan karena tidak mengetahui nasib anggota keluarganya. Korban memiliki hak untuk mengetahui kebenaran tentang peristiwa pelanggaran HAM, sementara keluarga memiliki hak untuk mengetahui nasib anggota keluarganya.
Meskipun Pemerintah Indonesia telah menandatangani Konvensi Internasional Untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada 27 September 2010, ratifikasi belum dilakukan.
Rekomendasi DPR RI pada periode 2004-2009 menyatakan pentingnya ratifikasi Konvensi ini sebagai komitmen untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia. Meskipun pernah masuk dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) HAM pada periode 2011-2014, ratifikasi belum terjadi.
Dalam evaluasi kinerja HAM melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) siklus ketiga di bawah Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council) pada Mei 2017, Pemerintah RI kembali menegaskan komitmennya untuk segera meratifikasi Konvensi. Pada tahun 2021, Kementerian Hukum dan HAM menargetkan UU Ratifikasi Penghilangan Paksa bisa disahkan pada 10 Desember 2021, namun DPR masih menunggu rancangan UU tersebut.
Konvensi Internasional Anti-Penghilangan Paksa (International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance) adalah sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk melindungi individu dari tindakan penghilangan paksa yang dilakukan oleh negara atau pihak-pihak yang terkait. Konvensi ini mengakui bahwa penghilangan paksa adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan menetapkannya sebagai kejahatan di bawah hukum internasional.
Konvensi ini pertama kali diusulkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1992 sebagai tanggapan terhadap laporan yang semakin meningkat tentang kasus-kasus penghilangan paksa di berbagai belahan dunia. Setelah berbagai negosiasi, Konvensi tersebut akhirnya diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 20 Desember 2006.
Dorongan utama di balik pembentukan Konvensi ini adalah untuk memberikan perlindungan hukum kepada individu yang telah menjadi korban penghilangan paksa, serta untuk mencegah terjadinya tindakan semacam itu di masa depan. Konvensi ini menetapkan definisi penghilangan paksa, memuat kewajiban bagi negara-negara yang menjadi pihak konvensi untuk mencegah dan menyelidiki kasus-kasus penghilangan paksa, serta mengatur upaya pencarian dan pengembalian individu yang hilang.
Sejak diadopsi, banyak negara telah menjadi pihak dalam Konvensi ini dan berkomitmen untuk menerapkan ketentuan-ketentuannya dalam hukum nasional mereka. Konvensi ini juga memperkuat sistem internasional untuk melindungi hak asasi manusia dan memberikan mekanisme bagi individu atau kelompok yang menjadi korban penghilangan paksa untuk mencari keadilan dan pemulihan.
MICHELLE GABRIELA | ANANDA RIDHO SULISTYA | IMA DHINI SAFIRA | AMRI MAHBUB | IMAM HAMDI