Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menyebut larangan acara bertajuk Festival Keadilan oleh Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin, serupa dengan situasi yang terjadi selama rezim Orde Baru berkuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rektor UIN Sunan Kalijaga melarang acara yang mendatangkan orasi aktivis dan intelektual yang kerap mengkritik pemerintah tepat saat perayaan Hari Hak Asasi Manusia sedunia pada Ahad malam, 10 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panitia memindahkan lokasi acara di Bento Kopi Godean, Sleman, setelah mendapatkan kabar dari Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga bahwa rektor melarang acara yang berbau politik.
Menurut Bivitri larangan diskusi di kampus yang marak akhir-akhir ini mirip dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) era kekuasaan Presiden Soeharto. Kebijakan itu membuat kampus menjadi kawasan steril dari aktivitas politik. Mahasiswa tidak boleh melakukan kegiatan bernuansa politik.
"Serupa NKK/BKK. Yang beda hanya metodenya," kata Bivitri ditemui sebelum berorasi di panggung Festival Keadilan di Bento Kopi, Ahad, 10 Desember 2023.
Bivitri menjelaskan pelarangan diskusi menggambarkan pemerintah yang anti-kritik karena takut kritik itu menyebar kemana-mana. Pada era Orde Baru, larangan itu melalui NKK/BKK, dan kini melalui kebijakan rektor. Bivitri yang juga aktif di Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik atau KIKA mencatat pelarangan diskusi terjadi karena pemerintah mengontrol kampus. Pemerintah, kata Bivitri, biasanya menelepon rektor agar kampusnya tidak mengizinkan acara yang mengkritik pemerintah.
Situasi itu, kata Bivitri, tidak hanya menimpa kampus negeri, melainkan juga kampus swasta. Di kampus swasta, kontrol pemerintah diwujudkan dalam urusan administrasi jabatan fungsional dosen melalui sistem akreditasi. Dampaknya dosen sulit berpikir kritis dan mengembangkan pemikiran baru.
Serangan atas kebebasan akademik, ujar Bivitri, berbahaya karena merusak demokrasi dan tidak memberi ruang pada pemikiran alternatif. Padahal, intelektual kampus seharusnya berperan memberikan masukan kepada pemerintah.
Bivitri prihatin dengan dalih rektor yang melarang karena tidak ada izin dari rektor. Panitia hanya perlu mengirimkan surat pemberitahuan dan tidak perlu izin.
Festival Keadilan digagas oleh Social Movement Institute atau SMI, organisasi non-pemerintah yang beranggotakan aktivis yang rutin menggelar aksi Kamisan bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan atau KontraS. Keduanya aktif menuntut pemerintah menyelesaikan pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia melalui berbagai demonstrasi dan diskusi.
Semula panitia menjadwalkan acara itu di GOR tenis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Panitia juga telah mengirimkan surat permohonan peminjaman tempat sejak Rabu, 4 Desember. Tapi, Rektor UIN Sunan Kalijaga, Al Makin tiba-tiba melarang diskusi itu menjelang acara. "Kami kecewa karena rektor membreidel diskusi kami," kata pendiri SMI, Eko Prasetyo.
Eko menjelaskan sulitnya panitia mendapatkan lokasi untuk acara tersebut. Selain UIN Yogyakarta, ada dua kampus yang juga menolak acara tersebut. "Kemerdekaan berpikir dirampas di kampus. Mending mahasiswa kuliah saja di kafe," kata Eko dalam orasinya.
Peserta festival yang sebagian besar kalangan muda menghujani olokan kepada Al Makin sebagai rektor yang penakut. Peserta duduk lesehan, berjubel hingga halaman kafe.
Rektor Al Makin belum merespons konfirmasi Tempo ihwal pelarangan itu saat dihubungi melalui pesan WhatsApp. Staf Al Makin, Suswini menyatakan belum ada pernyataan dari kampus. "Pak Rektor sedang ada acara di luar kota," kata Suswini.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Abdur Rozaki juga belum merespons konfirmasi melalui pesan singkat WhatsApp.