Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Revisi KUHAP, Perlukan Jaksa Dilibatkan dalam Penyidikan

Viral di media sosial bahwa kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP menyusut, yaitu hanya menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat

18 Maret 2025 | 17.06 WIB

ilustrasi Gedung DPR/Tempo/Rahma Dwi Safitri
Perbesar
ilustrasi Gedung DPR/Tempo/Rahma Dwi Safitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - DPR RI sudah memutuskan RUU Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP menjadi RUU usul inisiatif DPR RI. Persetujuan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna DPR ke-13 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, 18 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak memasuki masa sidang setelah reses awal 2025, Komisi III DPR RI mulai melakukan pembicaraan mengenai RUU KUHAP dengan mengundang berbagai narasumber, di antaranya Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

RUU KUHAP pun masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 yang diusulkan Komisi III DPR RI.

Komisi III DPR RI menyatakan bahwa RUU KUHAP urgen untuk segera dibahas karena UU KUHP yang baru akan berlaku pada 2 Januari 2026.

Selain itu, pengesahan KUHAP tersebut dinilai penting karena KUHAP merupakan hukum formal yang mengoperasikan pemberlakuan KUHP sebagai hukum materiil.

Majalah Tempo edisi 9 Februari 2025 menulis, selama 44 tahun, sistem peradilan pidana Indonesia mengacu pada KUHAP 1981, yang masih menganut crime control model berlandaskan azas praduga bersalah.

Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej menyebutkan tidak ada satu pun pasal KUHAP saat ini yang menganut asas praduga tak bersalah.

Crime Control Model merupakan warisan rezim Orde Baru,” kata Maidina Rahmawati, Deputi Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

KUHP baru kemudian muncul dengan pendekatan keadilan restoratif. Seiring dengan itu, berbagai kelompok masyarakat pun menuntut KUHAP baru lebih berorientasi pada due process model yang berlandaskan hak individu dan asas praduga tak bersalah.

Upaya mengubah KUHAP sebetulnya sudah berjalan dalam dua dekade terakhir. Sejak 2004, setidaknya sudah ada tujuh versi draf RUU KUHAP. Naskah terakhir dibuat pada 2012.

Saat itu, di akhir masa jabatan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, RUU KUHAP yang menjadi usulan pemerintah kandas. Baru belakangan prosesnya bergulir lagi setelah disePakati masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 sebagai usulan DPR.

Peran Jaksa Menyusut?

Viral di media sosial bahwa kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP menyusut, yaitu hanya menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 6 draf RUU KUHAP tentang penyidik.

Pasal itu menjelaskan kategori penyidik, yakni pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, dan pejabat suatu lembaga yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.

Penyidik Polri merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

Adapun yang dimaksud Penyidik Tertentu adalah Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat.

Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, mengatakan bahwa yang beredar itu bukan draft terakhir.

RUU KUHAP tidak mengatur kewenangan institusi dalam menyelidiki kasus, katanya kepada wartawan, Sabtu, 15 Maret 2025.

Komisi Kejaksaan menyatakan jaksa perlu terlibat sejak awal dalam proses hukum suatu kasus untuk memastikan orang yang dihukum betul bersalah.

Ketua Komisi Kejaksaan, Pujiyono Suwadi, pada Seminar Nasional Penyelarasan KUHAP dengan KUHP dalam Integrated Criminal Justice System kerja sama antara Fakultas Hukum UNS dengan Komisi Kejaksaan di Kampus UNS Solo, Jawa Tengah, menilai orang yang ditahan harus melalui penetapan pengadilan.

"Jadi harus ada izin pengadilan karena due process of law-nya harus jalan. Apa penghormatan terhadap HAM, iya kalau betul, kalau salah tangkap seperti apa," katanya seperti dikutip Antara, Jumat, 14 Maret 2025.

Terkait hal itu, menurut dia di dalam KUHAP harus diatur kenapa perlu ada izin dari pengadilan.

"Ini konteks Integrated Criminal Justice System. Jadi harus terpadu. Sementara orang-orang misalnya dituduh mencuri atau membunuh orang kemudian ditangkap, tapi tidak tertangkap tangan. Kemudian dipanggil, ditahan, dihajar, tapi setelah proses di persidangan dia dinyatakan bebas karena bukan pembunuh sebenarnya, yang seperti ini harus diakomodasi dalam KUHAP tentang perubahan," katanya.

Oleh karena itu, menurut dia KUHAP ke depan harus menganut due process of law.

Menurut dia, ketika dalam proses pengadilan terdakwa dinyatakan bebas, yang disalahkan adalah penuntut umum.

"Bahkan kalau ada tuntutan jaksa tapi kemudian dihukum bebas kami lakukan eksaminasi, Komisi Kejaksaan melakukan eksaminasi, ini penting karena artinya ada masalah. Apakah di penyidik atau jaksa dalam melakukan penuntutan," katanya.

Padahal, jaksa tidak terlibat dalam pengumpulan alat bukti namun di sisi lain yang harus membuktikan alat bukti di persidangan adalah jaksa.

"Dari angka yang saya dapat di Mahkamah Agung, di website tahun 2024 angkanya hampir 3 persen yang bebas, artinya kalau ada 100 orang maka tiga orang bebas. Bisa karena tidak bersalah atau karena minimnya alat bukti. Ini kan persoalan," katanya.

Belum lagi, menurut dia jika putusan jauh dari tuntutan, artinya ada masalah yang harus diurai.

"Misalnya dituntut 20 tahun tapi diputus enam bulan atau satu tahun, artinya ada masalah. Jadi kalau jaksa terlibat dan bertanggung jawab terhadap proses penuntutan maka sekarang harus kita urai. Apa kemudian jaksa mengambil alih peran penyidik? Apakah jaksa jadi penyidik? Kalau gagasan saya nggak harus," katanya.

Ia mengatakan yang perlu dilakukan adalah sejak awal jaksa harus dilibatkan dalam proses.

Praktisi hukum Maqdir Ismail mengatakan tugas penyidikan dalam RUU KUHAP sebaiknya tetap pada kepolisian.

"Untuk efektifnya penyidikan maka penyidikan dilakukan oleh penyidik Polri saja," kata Maqdir dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Sementara itu, kata Maqdir, kejaksaan sepatutnya tetap pada kewenangannya menjalankan penuntutan dan eksekusi atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah.

Akan tetapi, Maqdir mengatakan bisa saja jaksa diberikan kewenangan untuk mengambil alih penyidikan jika penyidik tidak mampu menyelesaikan penyidikan suatu perkara tersebut guna memberikan kepastian hukum terhadap proses penyidikan.

Selain itu, dia juga berpendapat bahwa semua proses penyidikan sebaiknya dilakukan oleh penyidik Polri agar tidak ada lagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).

Ia berpendapat sebaiknya fungsi PPNS menjalankan fungsi sebagai tenaga ahli dalam penyidikan, mengingat pengetahuan mereka secara khusus terhadap hal tertentu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus