Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Jejaring Bisnis Robert Bonosusatya dalam Dugaan Korupsi Timah

Penyidik menelusuri aliran uang antara Robert Bonosusatya dan PT Refined Bangka Tin. Ada peran Harvey Moeis dan Helena Lim.

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERSIAP menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Robert Bonosusatya membawa bekal roti dari rumahnya pada Senin pagi, 1 April 2024. Ia mengaku sedang sakit. Rencananya, roti itu ia makan di sela-sela interogasi penyidik. Pada hari itu, ia menjadi saksi kasus korupsi tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk di Bangka Belitung. “Saya jadi sering sakit perut lantaran memikirkan pemanggilan jaksa,” ujar Robert kepada Tempo pada Jumat, 26 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Robert mengatakan pemeriksaan berjalan lancar. Ia diperiksa selama hampir 13 jam di gedung Jaksa Agung Muda Militer lantaran kantor Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, yang menangani kasus ini, tengah direnovasi. Penyidik juga menawarinya makan siang dan beristirahat tiap dua jam. Tapi pria 61 tahun itu memilih memakan rotinya. “Semua pertanyaan detail dan sudah dijawab dengan lancar,” kata Robert.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaksa menduga korupsi timah berlangsung selama 2015-2022 di Kepulauan Bangka Belitung. Penyidik hendak menggali kesaksian Robert mengenai sejumlah tersangka. Hingga Jumat, 26 April 2024, penyidik sudah menetapkan 21 tersangka. Sebagian merupakan orang dekat Robert Bonosusatya. Di antaranya Tamron Tamsil alias Aon, yang disebut raja timah dari Bangka Belitung; Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) Suparta; perwakilan PT RBT, Harvey Moeis; dan manajer PT Quantum Skyline Exchange, Helena Lim.

Robert mengaku berteman dengan keempatnya tapi tak pernah berbisnis timah. Ia juga menceritakan awal mula kiprahnya di bisnis timah pada 2010. Pada saat itu ia sedang mempelajari divestasi PT Koba Tin, perusahaan timah asal Malaysia, di Bangka Belitung. Rupanya, ia menemukan banyak masalah. Setelah tiga bulan berjalan, ia memutuskan berhenti. “Setelah enggak jadi, saya quit dan enggak ada urusan lagi di situ,” ucapnya. Tapi, dari proses yang singkat ini, Robert bisa berkenalan dengan banyak pemain timah di Bangka Belitung.

Pemeriksaan itu juga menelusuri peran Robert di PT RBT. Secara kebetulan, Robert juga kerap dipanggil RBT. Perusahaan induknya, PT Robust Buana Tunggal, juga memiliki singkatan RBT. Dalam kasus korupsi timah, PT Refined Bangka Tin dan pihak yang terafiliasi dengannya dituduh menerima keuntungan tak sah sejak berkongsi dengan PT Timah pada 2018. Robert membantah kabar bahwa ia memiliki saham di PT Refined Bangka Tin. Ia pun menolak jika disebut berbisnis timah. “Tapi, kalau ada yang mengajak berdiskusi soal timah, akan saya jelaskan,” ujarnya.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kuntadi mengatakan penyidik merasa perlu memeriksa Robert Bonosusatya karena ada beberapa hal yang harus diklarifikasi. Ia enggan mendetailkan isi pemeriksaan. Nanti penyidik akan menyimpulkan semua peran Robert di ujung pemeriksaan.

Smelter Timah PT Refined Bangka Tin yang terletak di Kawasan Industri Jelitik Kecamatan Sungailiat Kabupaten Bangka/Tempo/Servio Maranda

Kuntadi mengatakan pemeriksaan Robert sebagai saksi tidak serta-merta diartikan bahwa bekas pemilik Hotel Sofia at The Gunawarman, Jakarta Selatan, itu terlibat dalam pusaran rasuah timah. “Kami ingin membuat peristiwa pidana ini terang secara utuh,” kata Kuntadi di kantornya pada Kamis, 25 April 2024.

Penyidikan kasus korupsi timah dimulai pada 12 Oktober 2023. Kemunculan nama Robert Bonosusatya dalam pusaran kasus korupsi timah ini bermula ketika penyidik Kejaksaan Agung menggeledah smelter milik PT RBT pada 23 Desember 2023. PT RBT dan empat perusahaan smelter lain, CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Tinindo Inter Nusa, dan PT Stanindo Inti Perkasa, menjalin kontrak dengan PT Timah untuk peleburan bijih timah sejak 2018.

Kuntadi menjelaskan, para pemain smelter ini diduga berkomplot menyelewengkan bijih timah dari wilayah konsesi PT Timah. Untuk menutupi jejak kejahatan, mereka menjalin kerja sama penyewaan alat peleburan bijih timah. “Mereka lalu membentuk perusahaan boneka,” ucapnya.

Guna menutupi jejak kejahatan tersebut, mereka menjalin kerja sama penyewaan alat peleburan bijih timah. Perusahaan-perusahaan itu seolah-olah menyetor timah ke PT Timah dari tambang resmi. Faktanya, Kuntadi menambahkan, perusahaan-perusahaan boneka tersebut diduga menambang di wilayah konsesi PT Timah.

Mereka lalu merekayasa dokumen surat perintah kerja borongan pengangkutan sisa hasil mineral agar aktivitas penambangan terlihat sah. “Tujuannya adalah melegalkan kegiatan perusahaan boneka tersebut,” tutur Kuntadi. Kongsi bermasalah ini akhirnya membuat penyidikan bergulir hingga 21 orang menjadi tersangka. 

•••

SECARA terpisah, sejumlah pengusaha yang bergelut di komoditas timah yang ditemui Tempo mengatakan Robert Bonosusatya muncul saat komposisi kepemilikan saham PT Refined Bangka Tin berubah pada 2016. Sebelumnya perusahaan itu tercatat sebagai anak perusahaan Artha Graha Network milik taipan Tomy Winata. Robert disebut sebagai pengusaha yang menguasai PT RBT. Namun, dalam penelusuran Tempo, akta perusahaan PT RBT tak pernah mencantumkan nama Robert atau anggota keluarganya.

Seorang penegak hukum mengatakan Robert tak menggunakan namanya langsung untuk menguasai PT RBT. Ia ditengarai terhubung dengan Direktur Utama PT RBT Suparta, teman lamanya sejak 1995.

Dokumen yang diperoleh Tempo mencantumkan Suparta sebagai pemilik saham minoritas PT Guna Bhakti Sukses Bersama. Sementara itu, induk perusahaan Robert, PT Robust Buana Tunggal, merupakan pemilik saham mayoritas PT Guna Bhakti. Saling-silang kepemilikan saham inilah yang mengaitkan Robert dengan PT RBT. Di sisi lain, Robert juga mengakui Suparta sebagai kawan bisnis lawasnya.

Peran Robert juga disorot melalui keberadaan pengusaha muda bernama Febrie Charlie Cramer yang terhubung ke PT RBT. Febrie pemilik saham minoritas PT Nusantara Mulia Sakti. Adapun pemilik saham mayoritas PT Nusantara Mulia adalah PT Refined Bangka Tin. Febrie ditengarai pernah menjabat di PT Mertanadi Indonesia. Sementara itu, Robert juga pernah memiliki saham di PT Mertanadi.

Kepada Tempo, Robert mengaku mengenal Febrie, tapi tak mengetahui urusan Febrie dalam bisnis timah. Robert juga membantah kabar bahwa Febrie adalah kaki tangannya di PT RBT. Ia juga tak pernah punya saham di PT Mertanadi. “Saya juga tak pernah bersama Suparta di perusahaan-perusahaan, apalagi di PT Robust Buana Tunggal,” ucapnya.

Tempo berupaya mengirimkan surat permintaan wawancara ke rumah Febrie di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Sepupunya mengatakan Febrie sedang berada di Sukabumi, Jawa Barat. Hingga Sabtu, 27 April 2024, surat permohonan wawancara itu tak kunjung berbalas.

Seorang pengusaha timah dari Bangka Belitung mengatakan pernah melihat Robert menghadiri konferensi timah yang digelar Bursa Berjangka Komoditi dan Derivatif Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta. Acara itu berlangsung sebelum pembentukan lima perusahaan konsorsium smelter yang bermitra dengan PT Timah Tbk. Saat itu Robert dan pejabat PT Timah Tbk dikabarkan membicarakan rencana kerja sama pengolahan bijih timah beberapa pemain smelter. Untuk merealisasi kerja sama, pertemuan berlanjut di salah satu restoran di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan, yang pernah dimiliki Robert.

Harvey Moeis/dok. Kejaksaan Agung

Pengusaha itu mengatakan Harvey Moeis dan Suparta melanjutkan pertemuan tanpa Robert. Harris Arthur Hedar, pengacara Suparta, PT RBT, dan Harvey Moeis, membenarkan kabar mengenai pertemuan tersebut. “Itu hanya kumpul biasa. Pak Suparta yang mengundang Harvey,” katanya. Harris pun tak menyebut nama Robert.

Harris menyatakan ragu terhadap temuan jaksa soal korupsi timah yang menyeret PT RBT, Harvey Moeis, dan Suparta. Ia menyebutkan PT RBT sekadar menerima setoran timah dari perusahaan-perusahaan konsorsium untuk diolah. “Perusahaan ini ada sejak 2015, sedangkan PT RBT baru bekerja sama pada 2018 dengan PT Timah,” tuturnya.

Sementara itu, tiga pengusaha timah di Bangka Belitung yang ditemui secara terpisah tersebut mengungkapkan bahwa Harvey dan Suparta yang mengendalikan konsorsium perusahaan smelter. Di belakang Harvey dan Suparta, ada Robert yang diduga mengendalikannya.

Kongsi antara PT Timah dan kelima smelter tersebut rupanya menyisakan nasib pahit bagi smelter lain. Pada 2019, sebanyak 27 pemilik smelter mengadu kepada Ketua Dewan Perwakilan Daerah A.A. La Nyalla Mahmud Mattalitti. Mereka mengeluh karena tak bisa memproses produksi dan ekspor tin ingot atau timah batangan. Sementara itu, 27 perusahaan tersebut harus menjual mineral mentah ke PT Timah. “Tapi anehnya, menurut aduan tersebut, PT Timah justru menunjuk lima smelter rekanan untuk membantu processing sehingga PT Timah membeli dari mereka,” ujar La Nyalla.

Sengkarut masalah timah ini yang kemudian membuat badan usaha milik negara holding industri pertambangan Indonesia, Mining Industry Indonesia alias MIND ID, turun tangan. Ditemui secara terpisah, tiga orang yang mengetahui peristiwa ini bercerita, pimpinan MIND ID sempat beraudiensi dengan PT Timah, yang menjadi anggota holding, dan PT RBT. Acara itu turut dihadiri perwakilan PT RBT, termasuk Harvey Moeis dan Robert.

Sekretaris Perusahaan MIND ID Heri Yusuf mengaku tak mengetahui pertemuan tersebut. Kala itu ia belum bekerja di MIND ID. “Saya baru bergabung,” katanya.

Robert kembali menegaskan tak pernah cawe-cawe apalagi menjadi bagian dari PT Refined Bangka Tin. Ia mengatakan namanya tak pernah muncul dalam akta perusahaan PT RBT sejak dibentuk pada 2007. “Yang membeli perusahaan itu Pak Suparta, bukan saya,” ucapnya.

Robert mengaku mengenal Suparta saat memulai bisnis batu bara di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1990-an. Tapi ia membantah dugaan bahwa Suparta dan Harvey adalah perpanjangan tangannya untuk mengurusi timah di Bangka Belitung. Ia juga merasa heran ada orang yang mengaitkannya dengan pembentukan lima perusahaan konsorsium smelter yang bekerja sama dengan PT Timah. “Memangnya saya presiden atau menteri bisa mengatur-atur seperti itu?” ujarnya.

Ihwal pertemuannya dengan pimpinan MIND ID untuk membahas urusan timah, Robert mengaku tidak lagi mengingatnya. “Kalau minta pendapat mungkin-mungkin saja. Kalau orang mau tanya saya dan ilmu saya ada, akan saya kasih tahu,” katanya.

Tali-temali hubungan Robert Bonosusatya dengan PT Refined Bangka Tin bukan hanya soal kedekatannya dengan orang-orang di pusaran korupsi timah. Dokumen yang diperoleh Tempo mencatatkan Robert mengirimkan uang sebesar Rp 59 miliar pada 2018 dan Rp 4,7 miliar pada 2020 ke rekening bank PT Refined Bangka Tin. Periode itu kebetulan bertepatan dengan masa pembentukan konsorsium smelter timah. Pada 2018, PT RBT balik mentransfer uang senilai Rp 29,7 miliar kepada Robert.

Robert mengakui transfer uang ini turut menjadi materi pemeriksaan penyidik Kejaksaan Agung pada 1 April lalu. Ia menjelaskan bahwa uang tersebut merupakan pinjaman untuk Suparta yang menggunakan rekening PT RBT. Uang itu tak terkait dengan bisnis timah. Robert mengklaim memiliki surat perjanjian utang beserta bunganya itu dengan Suparta.

Itu sebabnya uang yang dikirim dari PT RBT merupakan cicilan pembayaran utang plus bunga. Robert menggunakan rekening PT Robust Buana Tunggal dalam transfer uang itu. Robert mengklaim Suparta sering meminjam uang untuk modal kerja. “Biasa, kan teman. Dari 1995, dia suka pinjam duit kepada saya,” tutur Robert. 

Robert pun tidak mengetahui persis apakah pinjaman tersebut dipakai Suparta untuk mengembangkan bisnis PT RBT atau tidak. Sebab, itu adalah urusan Suparta. Hingga kini, Robert mengatakan, cicilan itu tertunggak karena Suparta berada di penjara.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kuntadi (kanan) dan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana memberikan keterangan soal korupsi PT Timah di Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1 April 2024/Tempo/Febri Angga Palguna

Persahabatan dengan Robert pula yang kemudian membuat Suparta berkenalan dengan Harvey Moeis. Harvey yang juga berbisnis batu bara mengenal Robert sebelum ia menikah dengan Sandra Dewi pada November 2016. Kalaupun akhirnya Suparta dan Harvey bekerja sama dalam bisnis timah, Robert mengklaim tidak ikut campur. “Saya enggak ikut-ikutan. Itu urusan dia karena dia bukan perwakilan saya,” ujar Robert.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kuntadi mengatakan jaksa belum tahu ada aliran uang Robert ke rekening PT RBT. Tapi ia menyebutkan semua penanganan pidana korupsi di lembaganya pasti selalu diikuti penelusuran transaksi keuangan yang terjadi. “Kami bekerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan),” ucapnya.

Harvey juga tidak tercatat sebagai petinggi dan pemilik saham dalam akta perusahaan PT RBT. Kuntadi menjelaskan, Harvey yang mengkoordinasi perusahaan-perusahaan smelter agar bekerja sama dengan PT Timah. “Dia mendapatkan manfaat dari perannya itu,” kata Kuntadi.

Soal dalang di balik korupsi timah ini, Kuntadi menjelaskannya lebih detail. Bagi dia, kasus ini masih tergolong perkara biasa tapi berskala besar. “Kami tidak berasumsi, tugas kami mencari alat bukti,” tuturnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fajar Pebrianto, Lani Diana, dan Mohammad Khory Alfarizi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sejawat Lawas di Korupsi Timah"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus