SUASANA Desa Rantaukadam dan Karangdapo di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, teduh kembali. Penduduk berani keluar rumah, sebagian petani karet ke ladang, dan kendaraan angkutan beroperasi lagi. Hanya sekolah, sampai Kamis pekan lalu, yang tutup. Orang tua takut melepas anaknya setelah Ida Royani tewas. Anak kelas II SD yang berusia 9 tahun itu, dihadang tiga pemuda dan kemudian menusukkan senjata tajam ke lambung Ida. Sekali tusuk, Ida meninggal di situ. Lima belas menit berikutnya Syarif Roni, 55 tahun, melintas di jalan yang sama. Ustad yang baru mengajar di madrasah itu dikeroyok, namun nyawanya selamat. Setengah jam kemudian Ismail Hasyim melintas di jalan itu. Anggota Fraksi Karya di DPRD Musirawas ini pulang ke kampungnya di Karangdapo yang berpenduduk 780 orang itu. Ia penasaran melihat kerumunan di rumah Ida. Baru memarkir motornya, orang yang berkerumun itu menyerbu Ismail. Ia lari ke rumah pamannya, di dekat rumah orang tua Ida. Mereka menangkap kakek berumur 66 tahun itu, dibantai hingga tewas. Mayatnya ditemukan di Sungai Rawas. Sehari sebelum mayat Ismail ditemukan, Bupati Musirawas, Nang Ali Solihin, berusaha menenangkan emosi penduduk. Usai salat Jumat, 18 September lalu, ia memberi wejangan di desa itu serta menyebutkan ada anggota DPRD asal Karangdapo hilang. Nang menilai perbuatan itu sia-sia. Info tersebut membakar emosi warga. Tanpa pikir panjang mereka menyerbu Nanguning, Kepala Desa Transmigran SP V Mandala. Ia dibunuh di kantornya dan, istrinya dianiaya hingga luka parah. Sebelum jadi Kepala Desa SP V Mandala, ia adalah Kepala Desa Rantaukadam. Karena situasi sudah tak terkendali, Kapolda Sumatera Bagian Selatan dan Kodam Sriwijaya mengirim 100 anggota pasukan gabungan. Walau sulit bertindak, sebab penduduk tutup mulut, petugas menciduk tujuh orang yang diduga membunuh anggota DPRD itu. Sebagian penggerak bentrokan itu lari ke hutan. Baru pada 22 September jejak mereka terendus. Mereka kepergok menyeberangi sungai dengan rakit, namun gigih melawan dengan senjata kecepek -- senapan buatan sendiri untuk berburu babi. Pihak berwajib memberondong mereka. Dua abangadik, Yusri dan Amran, tewas saat itu. Temannya, Herman, ditangkap. Ia luka parah. Tiga orang ini, menurut polisi, biang yang membangkitkan amarah penduduk. Yusri, 29 tahun, dan Amran, 27 tahun, penganggur di Karang dapo. Keduanya tamat SD. Di kalangan penduduk, mereka dikenal jagoan. Tiap hari mereka keliling desa menakut-nakuti penduduk. Pistol kecepek menggantung di pinggangnya. Penduduk menyebutnya Koboi Kecepek. Kebanyakan penduduk dua desa itu, menurut beberapa petugas, dinilai temperamental dan mudah terpancing. "Yang tidak tahu persoalan ikut pula melibatkan diri, sehingga terjadilah perkelahian massal," kata sumber TEMPO, "contohnya bentrokan pada 17 September itu." Benih pertikaian konon bersemi tiga tahun lalu. Berawal dari dua kelompok pemuda di dua desa itu mempertaruhkan siapa jago bermain judi dadu. Dari soal ini lantas meruyak menjadi perkelahian massal. Tapi Sueb Tammat, Bupati Musirawas waktu itu, turun tangan. Perkelahian diselesaikan secara kekeluargaan. Kedua pihak, termasuk Bupati yang berasal dari Karangdapo itu, meneken perdamaian. Perjanjian tersebut tak bertahan. Akhir tahun lalu bentrokan massal meruyak lagi setelah seorang pelajar dari Rantaukadam dihadang warga Karangdapo yang minta rokok. Hadangan ini menyemburkan emosi warga Rantaukadam. Mereka main serbu. Sebuah mobil hancur dan sejumlah warga dua desa itu luka-luka. Camat Rawas Ilir, Sarwan Juned, meredam perkelahian itu. Ternyata perdamaian itu sulit langgeng. Perkelahian hidup lagi Maret lalu. Saat itu, Nandung, pemuda dari Rantaukadam, pulang dari pesta. Di tengah jalan sepeda motornya dihalangi sebatang kayu yang dilintangkan Yusri dan Amran. Mereka menyerang Nandung dengan parang. Nandung lolos. Ribut marak. Camat menyemprot kedua kepala desa itu, "Kalau terjadi lagi perkelahian, kalian yang tanggung jawab," katanya kepada mereka. Toh perdamaian hanya beberapa bulan. Pertengahan September terjadi bentrokan yang menelan tiga korban tadi. Amran, Koboi Kecepek, ditemani dua rekannya sore itu bersepeda motor untuk mengecas baterai. Tiba-tiba mereka diberondong dengan senapan kecepek, tapi tidak kena. Mereka curiga, pelaku penembakan itu Nandung yang tempo hari mereka hadang di jalan Sore itu mereka tidak mencari Nandung. Ketika pulang mengecas baterai, mereka bertemu Ida Royani dan ibunya di jalan, di wilayah Rantaukadam yang dihuni 2578 penduduk itu. Amran menghunus pisau. Praaas. Ida terkulai. Ibunya menjerit. Dan bentrokan pecah lagi. Pasukan gabungan yang dikerahkan ke sana rupanya tak bisa memaafkan lagi perbuatan Amran. Koboi Kecepek dan Yusri, dihabisi dengan berondong senapan karena melawan. Arpandi, yang tertembak ketika melawan petugas, mayatnya ditemukan di tepi Sungai Rawas, Desa Belani, pekan barusan Setelah Koboi Kecepek dilenyapkan, tamatkah permusuhan antara warga dua desa bertetangga itu? "Siapa pun yang memulainya lagi akan menerima akibatnya," kata Brigadir Jenderal Soebandy di depan warga dua desa itu. Wakapolda Sumatera Bagian Selatan itu berjanji memadamkan bentrokan itu sampai tuntas. Delapan di antara 12 orang yang diduga biang kerusuhan menyerahkan diri Jumat pekan silam setelah bersembunyi dalam hutan. Mereka yang berasal dari dua desa itu mengaku kepada polisi, ada yang terlibat pembunuhan Ismail dan Nanguning Hasan Syukur dan Aina Rumiyati Aziz
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini