TIGA puluh buah rumah "lenyap" dari Desa Dingil. Perabotan dan
dinding serta genteng rumah yang hilang itu teronggok di
sana-sini. Yang empunya rumah terpaksa numpang di rumah
tetangga. "Habis mau tidur di mana lagi?" kata seorang penduduk
prihatin.
Tidak ada empa bumi melanda Dingil desa terpencil sebelah barat
Tuban, Jawa Timur itu. Tapi Operasi Reksawana I yang dilancarkan
di Jawa Timur, memang dirasakan bak gempa yang tiba-tiba muncul
oleh penduduk Dingil. Februari lalu, sebuah tim operasi terjun
ke desa itu, dan menjumpai banyak rumah dari kayu jati yang tak
jelas asal-usulnya. Kesalahan pemilik ke 30 rumah di atas ialah
lantaran tak bisa menunjukkan bukti sah dari mana memperoleh
kayu jati yang mereka buat kerangka rumah.
Kebetulan areal desa yang berpenduduk 1.100 jiwa lebih itu
sebagian tanahnya merupakan hutan jati. Tak ayal lagi, ketika
tim operasi membongkar rumah-rumah yang berkerangka kayu jati,
dan membawanya ke kantor Perhutani Jatirogo, tidak ada yang
protes. Sebab, "kayunya memang hasil curian," kata Afandi,
kepala Desa Dingil, pekan lalu.
Operasi Reksawana artinya: "Menjaga hutan" I, yang dilancarkan
sejak Januari lalu di Jawa Timur, memang membuat tabrakan
keras. Dikoordinasikan Laksusda operasi melibatkan aparat
Kejaksaan, Kepolisian, Perhutani dan Pemda. Tentu saja karena
pencurian kayu jati di Jawa Timur memang sudah menjengkelkan.
Tahun lalu misalnya, dari hutan jati yang luasnya hampir 600.000
ha tercatat sekitar 119.000 batang pohon hilang. Padahal harga
kayu jati, seperti diketahui, bukan main: antara Rp 500 ribu
sampai Rp 1 juta per m3. Tak heran bila banyak yang tergiur
untuk menebang dan memperagangkannya secara gelap.
Salah satu pasar kayu jati gelap ada di tepi sungai di Desa
Sonopatik, Nganjuk. Tempat ini sebenarnya sering dirazia petugas
Perhutani setempat. "Tapi mereka hanya mau mencari sarapan
pagi," tutur seseorang yang tahu banyak tentang pasar gelap itu.
Begitu Polsus Kehutanan datang, katanya, para pedagang gelap itu
segera patungan mengumpulkan uang rokok - petugas yang datang
lalu pergi begitu saja.
Operasi Reksawana dilancarkan ke daerah yang mempunyai hutan
jati seperti Tuban, Nganjuk, Situbondo, Madiun, Ngawi dan
Bojoneoro. Operasi dilakukan selama sebulan, dan berakhir
Februari lalu. Lebih dari 3.000 m3 kayu jati disita. Dari jumlah
itu, uang negara yang diselamatkan ditaksir mencapai Rp 3
milyar.
Menurut Letkol CPM Sonny Baksono, Kadispen Laksusda Jawa Timur,
selama operasi telah dijumpai 273 buah rumah dari kayu Jati yang
diduga keras berasal dari barang curian. Yang 129 rumah, kata
Sonny, langsung dibongkar karena rumah itu tak berpenghuni.
Rumah-rumah seperti itu memang sengaja untuk dijual. "Bila ada
pembeli, rumah langsung dibongkar, semacam slstem knockdown,
begitulah," ujar Sonny.
Reksawana tidak hanya menjaring kayu jati. Belasan petugas
kehutanan dan perkulian aparat Pemda serta ratusan warga turut
terjaring. Mereka diduga ikut terlibat pencurian darn
perdagangan gelap kayu jati.
Puluhan oran telah diadili. Di Pengadilan Negeri Situbondo,
misalnya, dari 26 pencuri dan penadah yang diadili, sudah 10
terdakwa divonis. Hukuman bagi mereka berkisar 5-7 bulan
penjara.
"Kini penduduk berpikir dua kali kalau mau mencuri kayu jati,"
kata Afandi memuji Reksawana I. Namun begitu, ada juga yang
jahil menunggangi operasi tersebut seperti terjadi akhir bulan
lalu: Petang hari itu, sembilan orang berkendaraan mobil dua di
antaranya menyandang bedil -mendatangi rumah Soeparno, makelar
sepeda motor di Desa Sonopatik di Nganjuk. Dengan kasar mereka
menggeledah rumah. Mereka tak menemukan sepotong kayu jati pun
yang mencungakan, tapi Soeparno mengaku kena tuduh juga telah
menjual kerangka rumah dari kayu jati hasil curian. Soeparno
mengaku, sebab sebulan sebelumnya ia memang menjualkan barang
itu seharga Rp 600 ribu, dan sebagai penghubung ia kebagian Rp
20 ribu.
Omong punya omong, tiba-tiba tamu yang mengaku dari Laksusda itu
minta Rp 400 ribu. Lalu menuding sepeda motor di rumah itu,
sebagai gantinya, setelah Soeparno bilang tak punya uang. Apa
yang bisa dilakukan Soeparno selain menyerah? Tapi Ngadenan,
Kepala Desa Sonopatik yang juga bekas CPM, jadi naik pitam.
"Saya tersinggung karena mereka tak melalui prosedur hukum,"
katanya. Ia segera membuat pengaduan dan dua hari kemudian ia
bisa menjemput Soeparno pulang.
"Operasi mereka liar," kata Sonny sambil menunjuk dua oknum yang
terlibat: seorang Kopral dari Kodim Kediri dan seorang
berpangkat Serma dari Detasemen Intel Kodam VIII/Brawijaya yang
ternyata bertindak tak sepengetahuan atasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini