Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Robohnya Rumah Jati

Operasi Reksawana I, di Jawa Timur, berhasil membongkar ratusan rumah penduduk yang kerangkanya dari kayu jati curian.(krim)

26 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA puluh buah rumah "lenyap" dari Desa Dingil. Perabotan dan dinding serta genteng rumah yang hilang itu teronggok di sana-sini. Yang empunya rumah terpaksa numpang di rumah tetangga. "Habis mau tidur di mana lagi?" kata seorang penduduk prihatin. Tidak ada empa bumi melanda Dingil desa terpencil sebelah barat Tuban, Jawa Timur itu. Tapi Operasi Reksawana I yang dilancarkan di Jawa Timur, memang dirasakan bak gempa yang tiba-tiba muncul oleh penduduk Dingil. Februari lalu, sebuah tim operasi terjun ke desa itu, dan menjumpai banyak rumah dari kayu jati yang tak jelas asal-usulnya. Kesalahan pemilik ke 30 rumah di atas ialah lantaran tak bisa menunjukkan bukti sah dari mana memperoleh kayu jati yang mereka buat kerangka rumah. Kebetulan areal desa yang berpenduduk 1.100 jiwa lebih itu sebagian tanahnya merupakan hutan jati. Tak ayal lagi, ketika tim operasi membongkar rumah-rumah yang berkerangka kayu jati, dan membawanya ke kantor Perhutani Jatirogo, tidak ada yang protes. Sebab, "kayunya memang hasil curian," kata Afandi, kepala Desa Dingil, pekan lalu. Operasi Reksawana artinya: "Menjaga hutan" I, yang dilancarkan sejak Januari lalu di Jawa Timur, memang membuat tabrakan keras. Dikoordinasikan Laksusda operasi melibatkan aparat Kejaksaan, Kepolisian, Perhutani dan Pemda. Tentu saja karena pencurian kayu jati di Jawa Timur memang sudah menjengkelkan. Tahun lalu misalnya, dari hutan jati yang luasnya hampir 600.000 ha tercatat sekitar 119.000 batang pohon hilang. Padahal harga kayu jati, seperti diketahui, bukan main: antara Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta per m3. Tak heran bila banyak yang tergiur untuk menebang dan memperagangkannya secara gelap. Salah satu pasar kayu jati gelap ada di tepi sungai di Desa Sonopatik, Nganjuk. Tempat ini sebenarnya sering dirazia petugas Perhutani setempat. "Tapi mereka hanya mau mencari sarapan pagi," tutur seseorang yang tahu banyak tentang pasar gelap itu. Begitu Polsus Kehutanan datang, katanya, para pedagang gelap itu segera patungan mengumpulkan uang rokok - petugas yang datang lalu pergi begitu saja. Operasi Reksawana dilancarkan ke daerah yang mempunyai hutan jati seperti Tuban, Nganjuk, Situbondo, Madiun, Ngawi dan Bojoneoro. Operasi dilakukan selama sebulan, dan berakhir Februari lalu. Lebih dari 3.000 m3 kayu jati disita. Dari jumlah itu, uang negara yang diselamatkan ditaksir mencapai Rp 3 milyar. Menurut Letkol CPM Sonny Baksono, Kadispen Laksusda Jawa Timur, selama operasi telah dijumpai 273 buah rumah dari kayu Jati yang diduga keras berasal dari barang curian. Yang 129 rumah, kata Sonny, langsung dibongkar karena rumah itu tak berpenghuni. Rumah-rumah seperti itu memang sengaja untuk dijual. "Bila ada pembeli, rumah langsung dibongkar, semacam slstem knockdown, begitulah," ujar Sonny. Reksawana tidak hanya menjaring kayu jati. Belasan petugas kehutanan dan perkulian aparat Pemda serta ratusan warga turut terjaring. Mereka diduga ikut terlibat pencurian darn perdagangan gelap kayu jati. Puluhan oran telah diadili. Di Pengadilan Negeri Situbondo, misalnya, dari 26 pencuri dan penadah yang diadili, sudah 10 terdakwa divonis. Hukuman bagi mereka berkisar 5-7 bulan penjara. "Kini penduduk berpikir dua kali kalau mau mencuri kayu jati," kata Afandi memuji Reksawana I. Namun begitu, ada juga yang jahil menunggangi operasi tersebut seperti terjadi akhir bulan lalu: Petang hari itu, sembilan orang berkendaraan mobil dua di antaranya menyandang bedil -mendatangi rumah Soeparno, makelar sepeda motor di Desa Sonopatik di Nganjuk. Dengan kasar mereka menggeledah rumah. Mereka tak menemukan sepotong kayu jati pun yang mencungakan, tapi Soeparno mengaku kena tuduh juga telah menjual kerangka rumah dari kayu jati hasil curian. Soeparno mengaku, sebab sebulan sebelumnya ia memang menjualkan barang itu seharga Rp 600 ribu, dan sebagai penghubung ia kebagian Rp 20 ribu. Omong punya omong, tiba-tiba tamu yang mengaku dari Laksusda itu minta Rp 400 ribu. Lalu menuding sepeda motor di rumah itu, sebagai gantinya, setelah Soeparno bilang tak punya uang. Apa yang bisa dilakukan Soeparno selain menyerah? Tapi Ngadenan, Kepala Desa Sonopatik yang juga bekas CPM, jadi naik pitam. "Saya tersinggung karena mereka tak melalui prosedur hukum," katanya. Ia segera membuat pengaduan dan dua hari kemudian ia bisa menjemput Soeparno pulang. "Operasi mereka liar," kata Sonny sambil menunjuk dua oknum yang terlibat: seorang Kopral dari Kodim Kediri dan seorang berpangkat Serma dari Detasemen Intel Kodam VIII/Brawijaya yang ternyata bertindak tak sepengetahuan atasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus