RUMAH tahanan kepolisian Subang, Jawa Barat, seperti berubah
menjadi kantor kelurahan belakanean ini. Orang ramai berkunjung
ke sana, beberapa di antaranya, menyodorkan surat-surat ke dalam
sel. Ade Saenan (31 tahun), kepala Desa Tanjung yang mendekam di
dalam sel segera menandatanganinya. "Saya masih tetap kepala
desa karena. belum diskors bupati," kata Ade.
Kepala desa tersebut ditahan sejak 12 Maret lalu dengan tuduhan
cukup berat: mendalangi pembunuhan berencana atas seorang warga
desanya. Bersamanya dalam tahanan enam pamong dan dua warea
desa.
Ada apa ramai-ramai masuk tahanan Kejadiannya bermula, awal
Februari lalu ketika Denge alias Yohny (28 tahun) ribut dengan
istrinya. Keributan itu sedemikian rupa sehingga Warta, tetangga
sebelah rumah, merasa terganggu. Ia menegur. Tapi Denge, yang
agaknya sedang kalap, mengancam akan membunuhnya. Terbirit-birit
Warta lari menuju rumah Cashadi yang menjabat wakil kepala desa.
Hansip pun segera dikerahkan "mengamankan" Denge ke rumah Ade
Saenan.
Di desanya Denge memang tak begitu disenangi. Lelaki bertubuh
tinggi besar itu dikenal tukang menggaet Jemuran dan suka
mencuri ayam tetangga. Ia sudah beberapa kali berurusan dengan
polisi - meski belum pernah sampai ke peneadilan.
Mempertimbangkan reputasi jelek Denge, malam itu juga Ade
memerintahkan, Denge ditahan dengan kawalan Hansip.
Dua hari kemudian, Ade meneundang pamong desanya untuk
membicarakan masalah Denge. Akhirnya diputuskan agar penjahat
kelas teri yang suka bikin ulah itu dihukum mati saja. Ade,
begitu menurut hasil penyidikan polisi kemudian, memerintahkan
Wargi (wakil komandan Hansip) Madiksan (anggota Hansip) dan
Syamsuddin (pamong) mengeksekusi keputusan rapat pamong desa.
Dengan tangan terikat ke belakang, pada suatu malam, Denge
digiring ke pinggir sungai di tepi desa. Kepala si pesakitan
dibenamkan, beberapa kali, sampai mintaminta ampun. "Kami tak
tega membunuhnya karena dia sudah minta ampun," kata Syamsuddin
pekan lalu kepada TEMPO.
Ade tidak puas ketika mendengar laporan bahwa Denge masih hidup.
Esok harinya ia menyuruh Rusdi alias Bancet bertindak sebagai
algojo. Sehari-hari Bancet membuka usaha warung kopi dan dikenal
sebagai anggota grup kesenian tarline.
Bancet sebenarnya ingin menolak. Tapi, "saya dipaksa dan kalau
tak mau melakukan akan dituduh berkomplot dengan Denge," katanya
dari balik jeruji besi kamar tahanan.
Maka pada Sabtu malam, 9 Februari, kembali Denge berhadapan
dengan algojo. Dengan tangan terikat ke belakang Denge diarak
menuju pekuburan desa. Rupanya segala sesuatunya telah
dipersiapkan: Puluhan warga desa menyambut arak-arakan Denge dan
sebuah lubang telah pula digali. Di tepi lubang itu, di
kegelapan malam yang dingin, Bancet mengayunkan kapaknya dua
kali - tepat mengenai batok kepala Denge. Korban tersungkur
masuk liang dan penduduk segera menimbuninya dengan tanah.
Belakangan, ketika mayat Denge dibongkar, dokter Edi dari RSU
Suban berkesimpulan bahwa korban masih -hidup saat dikuburkan.
Cerita pembunuhan itu nyaris terkubur bersama hilangnya Denge.
Apalagi di atas kuburan telah ditanami rumput dan batang pisang
untuk menghilangkan jejak. Penduduk pun yang diam-diam senang
karena pengacau desa mereka telah tiada, merasa cerita
pembunuhan Denge menjadi rahasia mereka pula. Namun rahasia Desa
Tanjung akhirnya bocor juga. Seorang guru SD, melapor dan polisi
turun tangan tak lama kemudian. "Saya sampai sembahyang tahajud
agar bisa membongkar perkara ini," kata Capa A. Supardi, Dansek
Cipunagara.
Bupati Subang, Sukanda Kartasasmita, belum bertindak apa-apa.
Tentu saja karena belum ada vonis pengadilan yang menyatakan Ade
bersalah. "Tetapi kalau tuduhan itu betul, alangkah kejamnya
dia," kata Sukanda. Bupati menunjuk seorang penjabat sementara
menggantikan Ade. Sebab, meski Ade belum dipecat, "kalau
pemerintahan desa pindah ke sel tahanan, kan tidak lucu," kata
Sukanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini