LAGI-LAGI, sekolah kejuruan "kena tembak". Belum lama ini, jumlah sekolah seperti SMEA dan SPG dipangkas. Bahkan, menurut Menteri P & K Fuad Hassan, "Guru-guru SD akan diambil dari lulusan Program Diploma." Lantas, mau diapakan SPG, sekolah kejuruan yang selama ini memasok guru SD? Pertanyaan itu belum sempat terjawab tuntas. Pekan lalu, muncul sebuah pernyataan serupa yang lebih pedas. Yakni dari Prof. Drs. St. Vembriarto, bekas Rektor IKIP Yogyakarta. Setelah mengutip beberapa hasil penelitian yang dilakukan di kampusnya, profesor yang kini menjadi guru besar di IKIP Yogya ini berkesimpulan, "Sekolah kejuruan, sebaiknya, dihapuskan saja." Tentu, pernyataan Vembriarto bukan tanpa alasan. Misalnya, katanya, sekolah kejuruan kini tak lagi efisien. Contohnya, STM. Siswanya masih praktek dengan mesin manual dan butut. Sementara itu, industri yang kini berkembang sudah menggunakan mesin-mesin otomatis. Begitu pula yang terjadi di SMEA. Siswa masih diberi pelajaran mengetik dengan mesin ketik tua sedangkan banyak perusahaan yang mengerjakan administrasi dengan komputer atau mesin ketik elektronik. Dengan kata lain, jenis pekerjaan telah berkembang pesat sementara jenis pendidikan di sekolah sangat terbatas. Jadi, "Saya pikir, kurikulum sekolah kejuruan tak mungkin lagi mengejar kebutuhan tenaga kerja yang muncul di masyarakat," kata Vembriarto. Masalahnya, untuk membuka sekolah kejuruan yang memadai, biaynya bisa empat atau lima kali lebih mahal dibanding sekolah umum biasa. Nah, untuk mencegah "penghamburan dana" seperti itu, Vembriarto menyarankan agar Pemerintah lebih menitikberatkan program pendidikan pada SLTA umum. Dan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja, mereka -- para lulusan SLTA umum -- tinggal diberi latihan tambahan semacam kursus. Sebab, toh lulusan sekolah kejuruan tak semuanya bisa mendapatkan pekerjaan. Pendapat Vembriarto itu, bahwa sistem pendidikan di SLTA kejuruan hampir tak memadai dan layak dihapus saja, memang terasa keras. "Ah, pendapat Pak Vembriarto dari dulu selalu begitu," kata Prof. Benny Suprapto Brotosiswoyo, Direktur Pendidikan Menengah Kejuruan, Departemen P & K kepada TEMPO. Benny memang mengakui, masih banyak SLTA kejuruan yang menitikberatkan pelajarannya pada teori. Bahkan, ada STM yang hanya belajar teori atau sering dijuluki "STM Sastra". Tak ada tempat untuk praktek. Berdasarkan hasil penelitian Departemen P dan K, dari 627 sekolah kejuruan seperti SMEA, STM, SMT Pertanian, dan tujuh kejuruan lainnya -- hanya ada 203 sekolah yang dinilai bagus. Artinya, sekitar 67% sekolah kejuruan belum bisa dianggap ideal. Itu sekolah negeri. Entah, bagaimana keadaan SLTA kejuruan swasta yang jumlahnya kini mencapai 2.199 sekolah. Menurut Benny, sekolah-sekolah yang belum masuk kategori bagus kebanyakan disebabkan tak punya peralatan praktek yang lengkap. "SLTA kejuruan memang mahal," kata Prof Benny. Tambah lagi, lulusan yang tak siap pakai memang kian berjubel. Namun, Benny juga tak menutup mata terhadap sekolah kejuruan yang mampu menawarkan tenaga siap pakai. Artinya, ada beberapa SLTA kejuruan yang mampu meluluskan tenaga-tenaga terampil. Bahkan, katanya, ada lulusan beberapa sekolah kejuruan yang jadi rebutan. STM PSKD Jakarta, yang membuka Jurusan Teknik Pendingin dan Elektronika, misalnya. Lulusan sekolah swasta dengan investasi Rp 4,5 milyar ini tak ada yang menganggur. "Kalau dijalankan sesuai dengan peraturan, STM itu sebenarnya produktif, lo," kata Toenggoel P. Siagian, Direktur Pelaksana PSKD. Sekolah serupa terdapat pula di Solo. STM Mikael namanya. Dengan menjalin kerja sama dengan beberapa perusahaan seperti United Tractors, pabrik batu batere ABC, dan perakitan TV Polytron, alumni STM Mikael menjadi rebutan dan benar-benar gampang mencari kerja. Bahkan, hasil praktek mereka pun laku dijual. Dengan begitu, "Mereka akan belajar dengan lebih serius karena mereka sadar bahwa hasil belajar praktek yang mereka lakukan tidak terbuang percuma," kata Rubiyanto, Kepala Instruktur STM Mikael. Di luar itu, masih ada Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) di Bali yang juga sukses mencetak tenaga siap pakai. SMIP terlengkap di Indonesia dengan enam laboratoriumnya ini memang didirikan oleh Yayasan Kertha Wisata, untuk memenuhi tenaga pariwisata. Namun, terlepas dari sukses tidaknya menyiapkan tenaga siap pakai, agaknya sekolah kejuruan juga punya fungsi lain. "Sekolah itu berfungsi pula untuk membentuk watak profesionalisme," kata Benny. Artinya, kendati siswa STM berpraktek dengan mesin bubut kuno dan tak bisa bekerja di pabrik modern, mereka telah punya sikap dasar profesional. Proses ini, tutur Benny, tak disiapkan oleh kursus-kursus yang hanya memakan waktu satu atau tiga bulan saja. Singkat kata, "Kalau SLTA kejuruan disebut mahal, itu benar," kata Menteri P dan K Fuad Hassan kepada Sri Indrayati dari TEMPO. "Tapi tak betul kalau orang mengatakan tidak efisien." Apalagi, tambahnya, sebelum lulus para siswa diwajibkan melakukan magang di perusahaan-perusahaan. "Itu sengaja diprogramkan untuk mengejar ketinggalan kurikulum atas perkembangan dunia luar," katanya lebih lanjut. Dengan demikian, kelihatannya Pemerintah tak akan menelan begitu saja saran untuk membubarkan sekolah kejuruan. Bahkan, fungsi SLTA itu akan ditingkatkan. "Saya tidak mau dengar lagi ada 'STM Sastra' segala," kata Fuad sambil tersenyum. Selain menyiapkan biaya dari APBN, Pemerintah juga akan mengajak kalangan pengusaha (swasta atau BUMN) untuk urun modal. Seperti yang dilakukan PT IPTN. Pabrik pesawat terbang ini juga ikut membiayai praktek kerja para siswa STM Penerbangan. Budi Kusumah dan laporan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini