"SAYA seorang bapak rumah tangga. Istri saya seorang insinyur yang bekerja mencari nafkah, sementara saya mengurus anak-anak di rumah. Selama ini saya tak punya selera makan, dikejar-kejar perasaan bersalah dan sangat sukar tidur." Lalu diagnosanya? Terapi 47 ahli dari Amerika Serikat segera menyimpulkan: lelaki tersebut menderita depresi hebat akibat peran (terbalik) yang dia jalankan. Tapi tunggu dulu. Lelaki yang sama kemudian berkisah lagi. "Saya seorang insinyur, lengkap dengan istri yang selalu mengurus kedua anak saya di rumah. Saya mengalami kesulitan makan, dikejar perasaan bersalah dan insomnia." Ke-47 ahli terapi tadi menyimpulkan: depresi yang dialaminya disebabkan beban kerja di kantor. Lelaki tersebut hanya seorang aktor yang memerankan seorang pasien, dalam dua videotape berbeda. Kedua videotape itu dipertunjukkan di hadapan 47 ahli terapi dan psikiater untuk mempelajari diagnosa mereka. Dan tampaklah, ahli terapi dan psikiater juga berpandangan stereotip dalam memberi diagnosa terhadap lelaki dan perempuan. Maret silam The Journal of Counselling Psychology mengungkapkan persoalan ini dengan menyebutnya sebagai "masalah yang sedang digugat" oleh para peneliti di AS. Stereotip jenis kelamin, dalam beberapa studi mutakhir, juga terjadi dalam diagnosa psikiater dan ahli psikoterapi terhadap pasiennya. Selama ini, diagnosa para psikiater dipengaruhi oleh stereotip jenis kelamin pasien. Ilustrasi di atas menunjukkan stereotip jenis kelamin tersebut merugikan pasien yang punya perilaku tidak konvensional. Dari video tadi, terkesan bahwa para ahli terapi cenderung menilai seorang lelaki yang tidak konvensional (karena tak kerja seperti lelaki lain umumnya) dianggap mempunyai problem psikologis yang lebih berat. Dan lelaki yang tenggelam dalam arus konvensi masyarakat divonis dengan "gejala depresi yang lebih ringan". Stereotip semacam ini memang membahayakan klien, atau pasien psikiater. Misalnya, sering dengan mudahnya wanita diduga sebagai penderita depresi, tetapi pria lazimnya divonis sebagai alkoholik. Kecenderungan diagnosa seperti ini menjurus kepada pembentukan stereotip jenis gangguan yang dianggap "cocok" bagi pasien yang didasarkan menurut jenis kelaminnya. Studi Sarah Ronsenfield, sosiolog dari Universitas Rutgers, mendukung kesimpulan di atas. Pada 1982 ia mencatat, lelaki yang menunjukkan depresi segera dirumahsakitkan. Sementara itu, perempuan yang depresi (dan itu dianggap "gejala biasa" bagi mereka) diberi perawatan rumah. Sebaliknya, wanita alkoholik buru-buru dimasukkan ke bagian darurat RS psikiater, dan lelaki penderita alkoholik dengan intensitas sama belum tentu divonis serupa. Dr. Robert Carson, psikolog dari Universitas Duke, menunjukkan bagaimana deskripsi resmi diagnosa psikiatris didasarkan kepada stereotip. Misalnya, gejala gonta-ganti mitra seks bagi wanita merupakan kelainan, dan pada pria dianggap biasa. Deskripsi tentang histeria yang sekarang lebih dikenal dengan histrionic personality dibuat demikian rupa, sehingga gangguan ini hanya terdapat pada wanita. Namun, problem stereotip itu tak bersarang di sekeliling psikiater dan psikolog saja. Para pasien lelaki bahkan punya gambaran stereotip tentang dirinya sendiri. Terapi psikiatris bukanlah penyembuhan populer bagi lelaki. Masalahnya, seorang pasien harus bersedia membuka ihwal dirinya kepada psikiater. Sementara itu, menurut sosiolog Deborah Bell dari Universitas Boston, "ada stereotip lelaki harus kuat, diam, dan pantang mengeluh". Hasil studi Don Riley, yang bekerja sebagai tenaga sukarela di klinik Family Service of Greater, Boston, mengukuhkan asumsi Bell. Sebagian dari 70 pasien lelaki yang datang ke klinik itu menghentikan terapi mereka, karena stereotip lelaki tersebut. Dan yang drop-out rata-rata mementingkan maskulinitas lelaki. "Mereka yang tak tahan dirawat," kata Riley, "biasanya yang menganggap seorang lelaki harus memberi jarak dengan orang lain itu tidak membicarakan hal-hal yang berkait dengan perasaan." Pandangan stereotip inilah yang kemudian menyebabkan mereka menyimpulkan: minta pelayanan psikiater adalah tanda kelemahan. Mungkin itulah sebabnya beberapa rumah sakit dan klinik di AS mulai mendirikan bagian terapi khusus lelaki. Dalam satu unit yang terdiri dari 24 tempat tidur, para lelaki itu akan lebih mampu mengakui perasaan takut, ngeri dan kelemahannya, karena di sekeliling mereka adalah lelaki. Masalahnya, kalau mereka dicampur, para lelaki enggan memperlihatkan perasaan mereka secara terbuka. Ada kisah Rex McCaughtry dari RS Baywood. Ketika sebuah pabrik petrokimia di Houston meledak, terlihat perbedaan reaksi antara pasien lelaki dan perempuan. Para pasien wanita membicarakan perasaan takut mereka, sementara yang lelaki kelihatan mencoba tidak peduli. Dalam terapi khusus, kelompok lelaki yang menderita alkoholik, problem narkotika, depresi berat, hingga stres pasca-trauma, akan mendapatkan pelayanan terapi yang ekstra. Mereka sama-sama bercerita tentang hal yang biasanya tidak pernah disentuh, misalnya kemarahan dan perasaan mereka. Bahkan secara terbuka mereka membicarakan buruknya pengalaman kekerasan seks yang pernah terjadi dalam hidupnya. "Dan ini penting untuk mempelajari kembali hubungan antara pria dan wanita," tutur McCaughtry. Sehingga, jangan sampai pemisahan pasien berdasar jenis kelamin ini justru memperkuat stereotip tadi. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini