DORCE melangkah terburu-buru. Di depan pintu hotel ia terpeleset. Brettt.... rok mininya robek. Pahanya yang ditutup stoking putih kontan menganga. Mulutnya meringis sambil mengumpat. Begitu mau berdiri, ia ditubruk Kadir dari belakang. Keduanya jatuh bergulingan. "Kamu ngapain sih nongkrong di situ," kata Kadir pura-pura kesal. Dan Dono, di film yang lain, mengecat bangunan hotel yang sudah lama tak terurus. Tangganya melayang dan tubuh Dono pun terpelanting. Remuk? Tidak, karena pas di bawah itu ada kasur dijemur. Begitu merasa bahagia karena selamat, tiba-tiba kaleng cat menimpa mukanya sampai belepotan. Maka, Doyok pun belingsatan bersama istrinya, Ully Artha -- di film yang lain lagi. Soalnya, Kadir dan Paramitha Rusady masuk kamar dan bisik-bisik menggelikan seperti "kencan". Setelah intip-mengintip berakhir, ternyata tak ada yang kencan di kamar. Tiga film lawak ini merajalela mengisi hari-hari libur Lebaran yang lalu. Namun, ini bukan jenis film komedi seperti Kejarlah Daku Kau Kutangkap atau Cintaku di Rumah Susun, apalagi kalau dibandingkan film humor dari sono macam A Fish Called Wanda atau Gods Must Be Grazy. Tiga film nasional tadi yang sengaja diniatkan untuk memenuhi selera kaum menengah bawah mengandalkan dagelan gaya pelesetan -- baik kata-kata maupun fisik. Dalam film seperti ini, bintanglah memegang peran penting. Kadir dan Doyok kini sedang digandrungi, maka pasangan ini terus-menerus main sejak sukses pemasaran Kiri Kanan OK. Dorce, yang mendapat publisitas bagus setelah muncul di HUT TVRI tahun lalu, "ditangkap" produser film dan ceritanya segera dibuatkan tanpa perlu dipertimbangkan sedikit pun kemampuan akting Dorce untuk film bioskop. Dono, Kasino, dan Indro masih tetap bersatu dan warna filmnya tetap saja seperti itu, biarpun kali ini ditangani sutradara wanita: Ida Farida. Sayang sekali film-film ini menyepelekan cerita. Dorce Sok Akrab, misalnya, ceritanya tak keruan. Sudah itu, Dorce dan Kadir yang dibuat kembar, dan masing-masing punya kehidupan tersendiri, bisa membingungkan. Gaya Dorce di panggung, yang biasanya begitu hidup melawak sendirian jadi "mati" setelah "diatur" sutradara. Improvisasi Dorce -- kekuatannya di luar film -- sama sekali tak diberi tempat. Bahkan lagu yang dinyanyikan Dorce kurang menggigit biarpun film ini diputar di bioskop kelas satu dengan soundsystem canggih. Pada Makelar Kodok, Kadir terlalu tegang karena ia sadar bahwa ia bermain sebagai pemeran utama. Akibatnya, ia kaku dan celetukan dengan logat Maduranya jadi hambar. Film ini bercerita tentang keluarga miskin (Doyok dan istrinya yang diperankan Ully Artha) tempat Kadir, yang juga termasuk keluarga Doyok, menumpang tidur. Ada persoalan di keluarga itu setelah Kadir pulang-pulang membawa gadis kota yang manja. Gadis itu, Fifi (dimainkan Paramitha Rusady) kabur karena mau dipertunangkan dengan pemuda yang tidak ia sukai. Kesenjangan sosial yang kini ramai dibicarakan sebenarnya bisa diangkat sebagai sindiran tajam dalam film ini lewat Fifi, anak orang kaya yang terdampar di keluarga kere. Dan ada usaha menuju ke sana. Misalnya, Fifi melecehkan dan merendahkan hidangan makan pagi berupa singkong rebus. Di rumahnya, kata dia, paling tidak pizza. Tapi begitulah, peluang untuk menghadirkan "protes sosial" itu kandas karena Kadir, Doyok, bahkan Ully Artha kurang tanggap memberikan respons. Lantas apa hubungannya dengan makelar kodok? Ternyata, Kadir dalam usahanya mencari-cari pekerjaan, salah satu di antaranya menjadi penjual kodok ke sebuah restoran. Bahwa urusan kodok itu kemudian dijadikan judul film, entahlah. Siapa tahu karena latah saja -- apalagi sebelumnya TVRI menyiarkan sinetron tentang juragan kodok yang menipu yang dimainkan Kang Ibing. Kelompok Warkop sudah malang-melintang merajai film komedi Indonesia dalam sukses pemasaran. Kelompok "pelawak intelektual" ini sudah ditangani banyak sutradara. Kali ini tampil Ida Farida. Namun, leluconnya tetap di sekitar itu, saling meledek dan saling ngerjain. Jika pun dicari-cari kelebihan Ida Farida menangani Dono dkk., itu terlihat pada ceritanya yang mengalir utuh tanpa ada kesan "potongan-potongan anekdot". Kisahnya, tentang tiga serangkai ini yang memanfaatkan musim liburan untuk mengurus hotel tua di Puncak. Film komedi kita, apa boleh buat, pada akhirnya menjadi tragedi dalam perfilman nasional jika kita selalu mengakui bahwa film adalah sebuah karya kreatif di bidang kebudayaan. Film komedi kita baru pada tingkat barang dagangan untuk memperkaya produser dan para pialangnya di daerah-daerah. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini