SIAPA sangka kalau harga persahabatan berakhir di ujung maut. Untuk menghabisi nyawa rekannya, disewalah pembunuh bayaran. Murah lagi. Maka, tamatlah riwayat Eroh, 25, di Cianjur. Dan nasib serupa menimpa Gontar, 50, di Asahan. Bermodalkan Rp 2 juta, sehari-hari Eroh menjual ikan basah di Pasar Ikan, Tanjungpriok, Jakarta. Persahabatan Eroh dengan Mulya alias Juariah, 24, terjalin sejak berangkat dari Madura. Mereka sama-sama mengadu nasib ke Jakarta, jual ikan. Lalu sama-sama pula berkenalan dengan Iyan Sabrodin, 23. Sopir truk itu biasanya memasok ikan di situ, sekaligus dikenal sebagai pacar Eroh. Sebenarnya, saya tak mencintainya. Dia baik, sih. Jadi, dia saya pacarin," kata duda beranak dua, yang segala kebutuhannya dicukupi Neng Eroh itu. Tapi, tanpa diketahui Iyan, diam-diam Juariah menaruh hati pada lelaki ini. Padahal, Iyan sudah "telanjur" menghamili Eroh tiga bulan. Juariah sendiri sebenarnya punya suami, Freddy, yang sudah setahun bekerja di Arab Saudi. Sementara itu, Iyan sendiri menjalin asmara lagi dengan Fani, 21. Dan siapa nyana kalau Juariah juga bercintaan dengan Sanip, 25. Nah, cinta yang seru dan berbelit, 'kan? Akan hal Eroh yang berbadan dua, kemudian minta tolong pada Juariah untuk mengingatkan Iyan. Sebab, lelaki itu belum mau bertanggung jawab. Malangnya, Juariah tak berhasil membujuk Iyan. Ia malah didesak lelaki itu agar menghabisi nyawa Eroh. Ini belitan pertama. Sebab, justru Juariah kini yang diancam Iyan. "Kalau tak mau membunuh Eroh, kau akan kulaporkan pada suamimu," tukas lelaki berambut ikal itu. Tekanan itu mengguncangkan batin Juariah yang sedang mabuk kepayang pada Sanip. Lalu ia cari akal. Dengan dalih mencari dukun pelaris, 30 Juni tahun lalu itu, ia mengajak Eroh. Ditemani Sanip dan Nawi, malam itu dia berangkat ke desa Cisarandi, Cianjur, Jawa Barat. Tapi di kota tujuan ini, dalam gelap malam, Sanip dan Nawi menyerang Eroh. Nawi mencekik lehernya. Sanip meninju dada perempuan itu. Pembunuhan itu gagal. Eroh melawan dan menjerit-jerit minta tolong. "Yang mencekikmu itu hantu. Mereka gentayangan di sekitar sini," kata Juariah. Ia menenangkan Eroh. Tapi Eroh tak percaya. Sebaliknya, Eroh mengancam temannya itu. "Saya akan lapor pada polisi," teriaknya. Menyadari kedok bakal tersingkap, lalu mereka membujuk Eroh agar perjalanan dilanjutkan ke rumah dukun pelaris itu. Waktu itu sudah menjelang pukul tiga dinihari. Eroh, Juariah, dan Sanip berjalan beriringan. Mereka memang santai. Anehnya, Nawi, kedi golf di Rawamangun Jakarta, berjalan agak jauh di belakang sembari membawa alu. Mendekati sebuah sungai, Nawi sekonyong-konyong menghunjamkan alu itu ke kepala Eroh. Juariah yang melihat adegan itu diam saja. Bahkan dia tenang saja menyaksikan alu itu "berbak-buk", seperti menumbuk padi, menimpa tubuh Eroh. Mangsa itu tersungkur, kelojotan. Suasana gelap dinihari di jalan itu justn membikin Nawi tambah kerasukan setan. Eroh dilumatnya hingga remuk. Dan ta berhenti di situ. Perhiasan Eroh dipreteli lalu diserahkan pada Juariah. Begitu tega Juariah menghabisi nyawa sobat sekampungnya. Dalam persidangan, semua pelaku memang mengaku. Sebenarnya,Juariah ditekan Iyan melenyapkan Eroh, dengan mencarikan pembunuh bayaran. Iyan takut perkawinannya dengan Fani bisa batal lantaran Eroh telah dihamilinya. Sedangkan perhiasan itu, kata Juariah, yang bertubuh gempal dan berkulit kuning langsat, adalah miliknya yang dipinjamkan pada Eroh. Sanip? Penjual ikan itu menyanggupi permintaan Juariah, asal dibantu Nawi. Mereka dijanjikan imbalan masing-masing Rp 100.000. "Membunuh Eroh, sih, aman. Apalagi di sini dia tak punya keluarga," begitu bujuk Juariah, ibu tiga anak. Ketika itu, baru Sanip yang terima panjar, Rp 95.000. Pada 1 Juli, mayat Eroh ditemukan Rakhmat, petani, ketika ia ke sawah. Iyan, yang 23 hari ditahan bersama Juariah di Polsek Warungkondang, membantah. "Saya tak tahu menahu rencana pembunuhan itu," katanya di pengadilan. Tapi Pengadilan Negeri Cianjur, pekan lalu, menghukum Juariah enam tahun penjara. Jaksa L. Ketaren menuntut dia 16 tahun. Mengapa Iyan lepas? "Karena belum ada bukti kuat. Dia memang pemain watak," kata jaksa itu. Membunuh sahabat melalui pembunuh bayaran juga terjadi di Desa Buntu, Kabupaten Asahan, Sum-Ut. Latarnya, ya, asmara juga. Mereka adalah Yusuf Sirait, 40, bersahabat dengan Gontar Daulay, 50. Yusuf hidup menumpang di rumah keluarga Gontar sejak ia bekerja di kebun karet milik Ramli, Januari tahun lalu. "Pak Ramli yang membawanya kemari," kata Idaleli Daulay, 21, anak ketiga pasangan Gontar dan Juriah boru Manurung. Ibarat pagar mengunyah tanaman, Yusuf malah menaruh hati pada istri temannya itu. Sedap. Tepuk, hmmm, berbalas. Juriah menyambut hangat cintanya itu. Syahdan, ia mengaku sudah "elok" pula, gara-gara bersebadan dengan si Yusuf. "Saya sangat mencintainya. Saya ingin mengawini dia," kata Yusuf. Maklum. Ia sudah "berbulu" setelah diangkat sebagai pengawas lapangan di kebun milik iparnya itu. Dorongan melenyapkan Gontar, agaknya, bukan cuma lantaran asmara. "la juga berutang Rp 300.000 pada saya," kata Yusuf, ayah tujuh anak itu. Uang tersebut dipakai Gontar membayar harga tanah milik Ngatino, Rp 402.500, yang dibeli Ramli. Itu sewaktu Ramli naik haji. Gontar, sebagai pelaksana lapangan, baru membayar kepada Ngatino Rp 102.500. Kekurangan itu ia pinjam dari Yusuf. Kendati Ramli sudah dari Tanah Suci rupanya utang itu belum kunjung dibayar. Yusuf kesal. Bukan uang itu yang didapat. Ia malah didamprat Gontar. "Kau juga sering pakai uangku, mengapa ribut? Kau jangan datang ke rumah ini lagi. Apa maumu kuladeni," bentak Gontar, seperti dituturkan Yusuf Sirait. Menyimpan dendam yang makin bengkak, Yusuf kian gemas. Konon, ia ingat pada kehamilan Juriah, benihnya. Kalau terbongkar? Perempuan tersebut adalah mandor kepala di kebun itu. Sialnya, 24 November lalu, Ramli memberhentikan Yusuf. "Katanya, pengurangan tenaga itu lantaran kurang modal," ucap Yusuf mengutip Ramli. Tapi, sampai 3 Desember, Yusuf masih di rumah Juriah. Dan digeluti perasaan kalut kemudian Yusuf membujuk Duriani, 23, menantunya, dan Karsimin, 32, untuk menghabisi Gontar dengan imbalan Rp 35.000. Pagi 18 Desember itu, Gontar, dengan berkendaraan motor Yamaha L-2 berangkat kerja ke CV Balige - perusahaan yang memborong pembabatan di PTP V, Pulau Mandi. Di jalan sepi, Duriani dan Karsimin sudah menunggu. Setelah berhenti dan membalas sapaan mereka, Gontar tersungkur. Ia bermandikan darah. Ayunan cangkul Karsimin telak di tengkuk Gontar. Ia tewas. Malah Duriani berkali-kali mematukkan cangkulnya ke tengkuk Almarhum. Yusuf, dari balik rimbunan pohon, menyaksikan pembantaian terhadap ayah 5 anak itu dengan santai. Masya Allah. Ketiganya kini mendekam di tahanan Polsek Buntu Pane, 176 km di selatan Medan. "Motifnya bukan saja soal utang, tapi juga cinta," kata Letda Pol Muslim A.T, 53, Kapolsek Buntu Pane. Yusuf berasal dari Dusun Melayu, Simalungun, ditangkap 19 Desember lalu. Duriani dan Karsimin diciduk 13 Januari lalu. Kata Muslim, pekan ini berkas mereka siap dilimpahkan ke kejaksaan setempat. "Dunia akhirat saya menyesal," kata Yusuf. Suaranya, kini, pedih. Yulia S. Madjid, Laporan Biro Bandung & Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini