Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Dendam mastur

Tiga marinir (istarno, endang, dianto) divonis penjara di semarang, terbukti membunuh sungkono, pengusaha mebel. mereka membunuh disuruh mastur yang menganggap korban sebagai pemeras. (krim)

7 Februari 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARENA uang, pikiran orang bisa pendek. Paling tidak, motif itulah yang menyeret tiga oknum marinir ke sidang. Sidang Mahkamah Militer II-10 Semarang, yang dipimpin Letkol (Laut) Aryoto S.H., pekan lalu memvonis Pratu Istarno 9 tahun, Kopda Endang dan Pratu Dianto masing-masing 8 tahun dan 7 tahun 6 bulan penjara dan dipecat dari dinas ABRI. Mereka dituduh membunuh Sungkono, 45, pengusaha mebel terkenal di Jepara, Jawa Tengah. Awal kejadian, 11 Oktober 1983. Istarno yang bertugas di Brigif 2 di Jakarta, siang itu didatangi sahabatnya, Rosyad. "Dua teman saya di Jepara minta tolong karena sering diperas," begitu kata Rosyad, 35. Orang yang dituduh memeras itu namanya Sungkono. Kata Rosyad, walau Sungkono pengusaha beken, dia seorang gali yang kebal hukum. Istarno langsung minta izin 3 hari pada atasannya. Alasannya: mengantar orangtuanya pulang kampung, ke Medan. Sewaktu ia tiba di rumahnya di Pondok Labu, Jakarta, dua rekan Istarno yang di satu kesatuan, Endang dan Dianto, sudah menunggu. Mereka datang bersama seorang tamu, Saripan, juga dari Jepara. Kelimanya sudah saling mengenal. Cuma, Istarno saja teman Rosyad. Sedangkan Endang dan Dianto dihubungi orang Jepara tadi. Mereka berbicara tentang pemeras, seperti yang sudah diceritakan Rosyad. Dan ketemu kata sepakat: menghabisi Sungkono. Pukul lima pagi, 12 Oktober, mereka tiba di Jepara. Kelima orang tadi disambut Mastur dan Kosir. Pembicaraan segera dimatangkan di pantai Kartini. Di tepi laut, mereka mengarang skenario. Jumlah komplotan bertambah dengan sopir mobil colt dan keneknya. Semuanya sembilan orang. Yang dibicarakan, juga alat dalam melakonkan rencana tadi, yaitu kawat, plester, dan tang. Tugas ini, ditambah meninjau lokasi ke rumah Sungkono, di Desa Senenan, merupakan bagian Pratu Dianto. Malam sekitar pukul 21.00. Tujuh orang menumpang colt menuju kediaman Sungkono. Mobil parkir rapi di depan Balai Desa Senenan, sebelum penumpang turun ke rumah Sungkono. Dan Watini, istri Sungkono, membuka pintu ketika Istarno berdiri di ambang rumah. "Sungkono dipanggil lurah," begitu tutur prajurit itu, ketika tuan rumah dibangunkan. Tanpa curiga, Sungkono dalam keadaan mengantuk ikut dengan tamunya. Begitu Sungkono naik ke mobil, secepat itu Istarno menyergap korbannya. Lalu merobohkannya ke jok. Kaki dan kedua tangan Sungkono dililit kawat. Mulut dan matanya ditutup plester, hingga tak bisa berkutik. Lalu, mobil melaju ke arah Kudus. Selama perjalanan, Dianto dan Endang menambah siksaan. Mereka menginjak-injak tubuh Sungkono. Di Desa Papringan, Sungkono dihabisi di tengah sawah. Batang lehernya ditekan dengan kawat dan kaki. Ketiga marinir itu melakukannya bersama-sama. Besoknya, mayat Sungkono ditemukan, dan disangka korban penembak misterius. Di Mahkamah Militer, ketiga marinir itu membuka mulut. "Kami perlu uang karena gaji tak cukup," tutur mereka, yang dijanjikan Rp 400.000 untuk menghabisi nyawa Sungkono. "Perbuatan mereka tidak ada sangkut paut dengan dirinya, " tutur Aryoto. Mendengar vonis Mahmil tadi, ketiga marinir itu, lewat penasihat hukum Lettu (Marinir) KM Sitinjak S.H., dan Letda (Marinir) Sunarto S.H., mengatakan pikir-pikir. "Tapi kemudian mereka menerima, sambil mohon grasi," ujar Letkol (CKH) Mansyur Yunus S.H., Kepala Mahmil II- 10, Semarang. Sementara itu, di Pengadilan Negeri Kudus, Mastur divonis 1 tahun 8 bulan penjara. Untuk Sulchan, pengemudi Colt, 6 bulan, dan Zaenuri, kenek, 6 bulan. Mereka diganjar karena ikut membantu membunuh. Tapi Rosyad dan Saripan masih buron sampai sekarang. Dendam Mastur pada Sungkono, ternyata, bukan soal pemerasan itu. Karena Sukarsih, gadis idaman pemuda Jepara itu, berhasil dipersunting Sungkono, sebagai istri ketiganya. Dan Sungkono telah tiada. Bunga Surawijaya, Laporan B. Amarudin (Biro Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus