IA, tak penting siapa, mengalami kesulitan sejak kecil. Sifatnya yang kurang ajar membuat ia dibenci banyak orang. Pada usia 12 tahun, ia lari dari rumah, dan pada usia 15, dikeluarkan dari sekolah. Sudah sejak masa remaja ia menjadi pecandu kokain, mariyuana, LSD, dan alkohol. Umurnya belum 20 tahun ketika ia dipenjarakan berulang-ulang karena merampok, bikin ricuh, dan menjajakan narkotik. Pada umur 24 tahun, waktu pacarnya memutuskan hubungan, ia mencoba bunuh diri. Sejak itu, ia masuk perawatan psikiatris. Pengacau itu, seorang di antara 15 responden Dr. Howard Moss dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat. Ia memiliki kepribadian yang disebut kepribadian antisosial. Kelainan jiwa sangat kompleks inilah yang mendasari semua sifat buruk tadi. Dan kerusakan kepribadian itu pula yang membuat pengacau itu menjadi pecandu alkohol dan narkotik. Pemeriksaan neurologis menunjukkan, kelainan jiwa pada responden tersebut terpeta pada otaknya. Moss menemukan organisasi senyawa otak pengacau ini memang kacau. Terjadi defisit senyawa-senyawa otak serotonin dan monoamine oxydase. Yang menakjubkan, Moss menemukan alkohol dan narkotik mampu membangun keseimbangan otak akibat defisit kedua senyawa itu. Makanya, si pengacau menjadi kecanduan. Masih sulit dipastikan apa yang terjadi di otak si pengacau. Namun, dampaknya nyata. Menurut Moss, "Dengan minum, atau menyuntikkan morfin, ia merasa bisa mengendalikan keberangan, kebencian tanpa arah yang dirasakannya sebagai desakan yang sangat tak menyenangkan." Penelitian Moss dan sejumlah penelitian lain, yang dipublikasikan Science Times akhir Juni lalu, menunjukkan bahwa kecanduan alkohol dan narkotik berkaitan dengan kelainan patologis pada otak. Kelainan otak ini berhubungan secara kompleks dengan berbagai perilaku menyimpang. Seorang responden Moss yang lain tergolong mudah gelisah. Biodata menunjukkan, kegelisahan membayanginya sejak kecil. Responden ini, seorang akuntan, akhirnya jadi pecandu alkohol. Alkohol membuat dirinya bisa lebih tenang, karena membangkitkan keseimbangan organisasi senyawa otak. "Alkohol menaikkan jumlah senyawa otak GABA yang berfungsi mengurangi ketegangan," kata Moss. Moss memperkirakan defisit GABA pada akuntan itu bawaan lahir (bukankah si akuntan gelisah sejak kecil?). Penelitian Moss tahun lalu menunjukkan, tidak aktifnya GABA pada pecandu alkohol adalah kelainan genetik yang menurun. Rupanya, ayah akuntan itu memang pecandu alkohol kelas berat. Dalam penelitian lain, Dr. Roy King, psikiater dari Stanford Medical School, mengamati perilaku seorang eksekutif. Pemimpin perusahaan periklanan ini pecandu crack dan kokain. Sekilas tidak ada penyimpangan perilaku pada eksekutif ini. Ia periang dan mudah akrab dengan siapa saja. Sejak kecil, ia dikenal sebagai pelucu yang disayangi kawan-kawannya. Lalu, apa yang terjadi? Pemeriksaan neurologis menunjukkan, ada kelebihan senyawa dopamine pada otak. Kelebihan ini ditemukan King pada kebanyakan periang yang ribut dan ini tergolong kelainan perilaku juga. Crack terbukti menaikkan jumlah dopamine. Akibatnya, si eksekutif tadi mampu mencapai puncak keriangan. "Ketika saya pertama kali menghirup crack, rasanya seperti orgasme," katanya, mengakui. Makanya, ia kecanduan. Sebaliknya, kekurangan dopamine membuat seseorang menjadi penyedih. Penelitian biopsikologi menemukan penderita depresi umumnya mengalami defisit dopamine. Keadaan ini pula yang dialami seorang responden wanita Dr. Edward Khantzian, peneliti di Harvard Medical School. Sudah sejak kecil wanita itu mengalami depresi. Tubuhnya yang gemuk membuat ia menjadi pemalu dan penyedih. Sewaktu usia 17 tahun, ia berkenalan dengan narkotik. Pada usia 25 tahun, ia jadi pecandu berat kokain. Ketika tak mampu lagi membiayai kecanduan kokain, ia terjatuh ke kolam depresi berat, dan harus dirawat. Seperti juga crack, kokain menaikkan jumlah dopamine dalam otak. Inilah sebabnya mengapa kokain mampu mengurangi depresi pada wanita malang itu. Ketika Khantzian memberi obat Ritalin, yang mampu menaikkan jumlah dopamine, depresi pada pasien ini berkurang. Hampir otomatis kecanduan kokain terhenti. "Sudah delapan tahun ia bersih," kata Khantzian. Wanita itu sendiri mengakui: Kokain dapat membangun semacam kesenangan, sehinngga ia terbuai dan mampu melupakan kegemukan yang membuatnya depresif. Khantzian membenarkan, selain menaikkan jumlah dopamine, kokain (dan banyak narkotik lain) membangkitkan kesenangan. Di otak manusia terdapat sejenis opium alami. Senyawa otak inilah yang membangkitkan rasa senang, gembira, dan kenikmatan. Munculnya secara reguler dalam keadaan tertentu, dan berfungsi membangkitkan keseimbangan dalam kehidupan manusia. "Pada mereka yang mengalami banyak kesulitan hidup, jumlah opium alami tak cukup untuk membangun keseimbangan," kata Khantzian. "Karena itu, mereka berusaha mengisi kekurangan itu dengan narkotik." Upaya mengatasi defisit opium alami di otak, menurut Khantzian, adalah pangkal paling umum kecanduan narkotik. Seorang pasien Khantzian mengakuinya, "Opium bisa membuat saya merasa normal." Pasien ini seorang ahli farmasi, sadar betul narkotik bisa berfungsi sebagai pembangkit keseimbangan di otaknya. "Dengan narkotik, saya bisa mengendalikan rasa marah, kebencian, dan luapan emosi," katanya. Opium alami dalam jumlah normal tidak cukup bagi ahli farmasi itu. Ia mengenal penderitaan terlalu dini. Sebagai anak kecil, ia dihajar ayahnya hampir setiap hari. Ibunya, seorang wanita dengan perasaan majal, malah tak kenal kepedulian. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini